Sabtu, Maret 19, 2011

Propinsi Tabagsel (Tapanuli Bagian Selatan)

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini

Masyarakat Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) sudah saatnya bersatu padu, menyamakan persepsi dan menyatukan langkah melakukan upaya-upaya yang nyata dalam meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan produktiftas dan meningkatkan kesejahteraan. Salah satu langkah kearah itu ialah membentuk daerah otonomi baru Propinsi Tabagsel. Langkah-langkah kearah itu nampaknya sudah bergulir. Dan sambutan semua tokoh-tokoh Angkola-Mandailing, di Jakarta dan Medan nampaknya sangat antusias.

Diskursus mengenai moratorium pemekaran yang akhir-akhir makin kuat disuarakan seyogianya tidak perlu mengurangi upaya pemerkaran yang murni bagi meningkatkan pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat yang jauh tertinggal seperti Tapanuli Selatan. Bagaimanapun pemekaran telah terbukti mampu memperpendek jarak rentang kendali dan membuat pelayanan publik lebih dekat pada masyarakat di beberapa daerah pemekaran.


Kita menyaksikan pemekaran Mandailing Natal dan Kota Padangsidimpuan telah mampu menunjukkan betapa pemekaran daerah yang memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan undang-undang telah mampu membuat perubahan yang mendasar. Mengakselerasi pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang terlihat dari peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang lebih menggembirakan.

Hampir semua daerah pemekaran baru Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dinilai berhasil. Sepanjang memenuhi syarat yang telah ditetapkan undang-undang dan secara riil memiliki potensi dan prospek, pemekaran daerah otonom baru, Propinsi, Kabupaten dan Kota sebaiknya diteruskan. Anggapan bahwa pemekaran diasumsikan hanya untuk segelintir elit dan meredistribusi praktek korupsi, saya kira itu terlalu berlebihan. Anggapan dan asumsi itu nampaknya dikembangkan sebagian kecil pengambil kebijakan di Jakarta yang menganut rezim sentralisasi sebagai cara yang paling efektif mengakselerasi pembangunan.

Padahal sistem pemerintahan yang sentralistik itu terbukti telah gagal mendistribusikan aset dan percepatan peningkatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Lebih-lebih daerah-daerah yang relatif jauh dari pusat pemerintahan Propinsi seperti daerah Tapanuli Bagian Selatan. Daerah paling selatan Sumatera Utara ini selain berjarak paling jauh dari Kota Medan, Ibukota Propinsi, juga memiliki beberapa daerah yang masih terisolir. Kantong-kantong kemiskinan dan infrastruktur yang sangat buruk, menjadi pemandangan sehari-hari.
                
Bukan Lagi Wacana

Pemekaran Propinsi Tapanuli Bagian Selatan dari Propinsi Induk Sumatera Utara, bukan lagi sekedar wacana. Pada beberapa kali pertemuan, sejumlah tokoh-tokoh masyarakat Tapanuli Selatan di Jakarta, Medan dan daerah Tapsel sendiri telah berulangkali membuat perteman difasilitasi Forum Masyarakat Peduli Tapanuli Bagian Selatan (Fomad Tabagsel). Terakhir pertemuan  beberapa hari yang lalu menyepakati penyusunan kajian akademis bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU).

Kajian akademis itu sebagaimana amanat UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007, pemekaran setiap daerah otonom yang baru perlu didasarkan kepada kajian akademis yang secara sosio-ekonomi memenuhi syarat untuk berdiri sendiri. Beberapa diantara aspek itu antara lain kemampuan ekonomi daerah yang akan dimekarkan, potensi Sumber Daya Daerah yang ada (SDA, SDB dan SDM), sosial budaya, sosio-politik, kondisi demografis, geografis serta hal-hal lain yang mendukung.

Dari segi geografis, Propinsi Tabagsel sedikitnya akan meliputi Lima Kabupaten dan Kota, masing-masing Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Luas kelima daerah otonom ini mencapai 18.899 Km2 (26,37 persen daripada luas Sumatera Utara. Potensi Sumber Daya Alam (SDA)-nya sangat kaya. Sebagian SDA-nya yang meliputi tambang, mineral dan kekayaan hayati belum tersentuh secara optimal.

Secara demografis, penduduk kelima daerah otonom tersebut mencapai 1,2 juta jiwa atau sekitar 10 persen daripada penduduk Sumatera Utara. Disinilah letak pentingnya pemekaran Propinsi Tabagsel. Jumlah kepadatan penduduk yang relatif jarang diharapkan dapat bertambah setelah dimekarkan seiring dengan meningkatnya aktifitas perekonomian yang mengikuti pemekaran itu.

Jarak Tabagsel yang relatif jauh, kinerja sektor riil yang rendah, investasi yang sangat kurang serta kurangnya perhatian pemerintah pusat dan propinsi, membuat daerah Tabagsel tertinggal sangat jauh dibandingkan daerah-daerah lain di pantai timur. Pemekaran kelima daerah ini menjadi Propinsi merupakan salah satu upaya percepatan pembangunan mengejar ketertinggalan daerah ini dari daerah lain di pantai timur. Telah cukup waktu yang tersedia bagi pemerintah pusat dan propinsi untuk mengakselerasi pembangunan namun itu hanya terjadi bila putra daerah Tabagsel yang duduk sebagai Gubernur. Kalau tidak, tetap saja jalan di tempat.

Tiga Opsi

Beberapa opsi yang tersedia bagi pemekaran Propinsi Tabagsel antara lain mengikutsertakan Kabupaten Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara dan Selatan, Tapanuli Tengah serta Kota Sibolga. Bila opsi ini dipilih, secara sosio kultural memang akan lebih kaya dan nama yang sesuai bagi propinsi baru ini ialah Propinsi Tapanuli Selatan Raya. Namun apabila mengikutsertakan Pulau Nias, maka nama yang lebih sesuai ialah Propinsi Sumatera Tengah. Nama ini pernah diusulkan oleh Alm.Sultan Baharuddin Harahap (Raja Najungal). Mengikutsertakan Labuhan Batu, Tapanuli Tengah dan Nias selain  akan memperkaya khazanah sosio kultural Propinsi Sumatera Tengah, juga akan lebih kaya secara geografis karena memiliki pantai baik di pesisir timur dan barat Sumatera Utara. Yang juga tidak kalah pentingnya ialah akan ada heterogenitas suku, agama dan budaya yang menjadi ciri daerah ini. Popinsi Sumatera Tengah akan lebih nasionalis inklusif.

Namun opsi manapun yang akan dipilih, Tabagsel saja dengan lima Kabupaten dan Kota (untuk sementara sebelum Panyabungan dijadikan daerah otonom kota dan Natal sebagai daerah Kabupaten Pemekaran yang baru), atau Propinsi Tapanuli Selatan Raya yang mengikutsertakan Labuhan Batu dan Tapanuli Tengah/Sibolga atau Propinsi Sumatera Tengah dengan mengikutsertakan Pulau Nias secara keseluruhan, akan sama baiknya. Yang penting pemekaran itu segera terwujud sebelum pemerintah pusat menerapkan moratorium pemekaran secara nasional.

Kemiskinan Struktural

Tidak berbeda jauh dengan daerah lainnya, kemiskinan, pengangguran dan buruknya infrastruktur merupakan masalah utama di Tabagsel. Namun yang membedakannya ialah struktur kemiskinan itu. Kemiskinan struktural itu diperburuk oleh budaya dan ketergantungan masyarakat terhadap birokrasi, APBD dan lemahnya entrepreneursif. Belum ada penelitian yang empiris mengenai ini. Namun persepsi yang hidup di masyarakat ialah lebih memberikan preferensi terhadap birokrat (baik sipil maupun militer) ketimbang pengusaha.

Kehidupan ekonomi Tabagsel sangat bertumpu kepada APBD. Kelambatan dalam menetapkan dan mengalokasikan APBD akan sangat besar pengaruhnya kepada kehidupan eknomi masyarakat. Dan dalam banyak hal, rebutan kue APBD itu selalu menjadi akar daripada konflik baik antara elit penguasa maupun diantara pengusaha. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap APBD inilah yang harus segera dikurangi melalui pemekaran Tabagsel menjadi Propinsi.

Kemiskinan terstruktur lainnya ialah preferensi yang sangat lemah terhadap kemajuan teknologi (know-how), terutama teknologi imformasi dan komunikasi. Semua aspek yang berbau teknologi dan komunikasi 'asing' sangat lamban diterima karena persepsi yang keliru tentang segala sesuatu yang berbau asing. Hal ini kemudian membuat masyarakatnya miskin inovasi dan prakarsa. Itu yang nampaknya membuat masyarakat resisten terhadap orang yang ingin membawa perubahan terhadap daerah ini apalagi kurang memahami bahasa 'tutur poda' yang menjadi kearifan lokal masyarakat Tapsel.                      

Kemiskinan yang terstruktur  pada entrepreneursif yang lemah, inovasi, prakarsa serta kearifan lokal lainnya yang belum tentu arif seperti resistensi terhadap semua yang berbau asing (know-how) dan bahkan bahasa asing (kecuali Bahasa Arab) membuat masyarakat kurang kompetitif. Padahal daya saing yang tinggi seharusnya menjadi modal utama kita untuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang di era globalisasi dan pasar bebas yang esensinya ialah persaingan sempurna. Pemekaran Tabagsel menjadi propinsi menjadi sangat penting untuk mengentaskan semua kemiskinan itu, baik yang elementer, esensial maupun yang structural***Oleh Ir. H. Chaidir Ritonga, MM

                                                           



[i] Dimuat di Harian Waspada,19 November 2008. Atas izin penulis dimuat di blog ini
[ii] Penulis adalah Wakil Ketua Partai Golkar Sumut

Tidak ada komentar: