Minggu, Desember 09, 2012

Populasi Etnik Mandailing di Nusantara: Suatu Sketsa Daerah Aliran Migrasi

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini

Oleh Akhir Matua Harahap


Di Tapanuli bagian selatan terdapat dua subetnik Batak yakni: Etnik Angkola dan Etnik Mandailing. Hasil Sensus Penduduk 2010 populasi etnik Angkola di Tapanuli Bagian Selatan sebanyak  493,785 jiwa dan etnik Mandailing sebanyak  475,196 jiwa. Etnik Angkola dominan di Kabupaten Tapanuli Selatan (60.14 persen), di Kabupaten Padang Lawas Utara (73.18 persen) dan Kota Padang Sidempuan (44.81 persen). Sedangkan etnik Mandailing dominan di Kabupaten Mandailing Natal (77.71 persen). Ini berarti, secara spesifik daerah asal (origin) etnik Mandailing hanya satu-satunya di Kabupaten Mandailing Natal. Di Kabupaten Padang Lawas, populasi etnik Mandailing cukup besar dengan persentase sebesar 42.79 persen, sementara etnik Angkola sebesar 37.23 persen. Ini berarti wilayah Kabupaten Padang Lawas boleh jadi merupakan daerah tujuan migrasi etnik Angkola maupun Etnik Mandailing.

Populasi etnik Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal sesungguhnya hanya sebanyak 314.700 jiwa. Jika di wilayah Tapanuli Bagian Selatan populasi etnik Mandailing sebanyak 475,196 jiwa maka terdapat sebanyak 160.496 jiwa yang tersebar di empat kabupaten/kota lainnya di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Distribusinya adalah   sebanyak 19,462 jiwa di Kabupaten Tapanuli Selatan, sebanyak 5,857 jiwa di Kabupaten Padang Lawas Utara, sebanyak 96,396 jiwa di Kabupaten Padang Lawas dan sebanyak 38,502 jiwa di Kota Padang Sidempuan. Jika tiga kabupaten/kota yang dominan etnik Angkola dianggap sebagai gabungan daerah asal (origin) etnik Angkola, maka etnik Mandailing sesungguhnya telah bermigrasi ke wilayah etnik Angkola. Sebaliknya, jumlah etnik Angkola  di Kabupaten Mandailing Natal yang sekarang hanya terdapat sebanyak 2,088 jiwa. Ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Mandailing Natal bukanlah daerah tujuan utama migrasi bagi etnik Angkola.

Rabu, Desember 05, 2012

Bahasa Angkola vs Bahasa Mandailing di Tapanuli Bagian Selatan

*Semua artikel Budaya Angkola Mandailing dalam blog ini Klik Disini

Di Tapanuli Bagian Selatan terdapat dua subetnik Batak yakni etnik Angkola dan etnik Mandailing. Secara statistik dua etnik ini dianggap memiliki bahasa yang dapat dibedakan yakni: bahasa Angkola dan bahasa Mandailing. Penggunaan bahasa Angkola sebagai bahasa sehari-hari di rumah sebanyak 87.93 persen untuk etnik Angkola dan 7.52 persen untuk etnik Mandailing. Sementara bahasa Mandailing digunakan etnik Mandailing sebanyak 84.79 persen untuk etnik Angkola sebanyak 5.81 persen. Ini menunjukkan adanya pertukaran penggunaan bahasa di dalam dua subetnik serumpun. Selain kedua etnik ini bertukar tempat dalam pengguna bahasa serumpun, dalam kenyatannya masing-masing etnik Angkola dan etnik Mandailing juga mengadopsi bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di rumah. Etnik Angkola yang menggunakan bahasa Indonesia sebanyak 6.01 persen, sedangkan etnik Mandailing sebanyak 4.63 persen. Sementara itu, diantara etnik Mandailing juga ditemukan yang menggunakan bahasa lainnya, khususnya bahasa Pesisir (1.93 persen) dan bahasa Minangkabau (0.51 persen).


Senin, Desember 03, 2012

Bahasa Ibu Menurut Etnik di Sumatera Utara

Penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu lambat laun semakin menyusut. Sementara penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di rumah semakin meningkat. Ini seakan mempertegas bahwa telah terjadi promosi bahasa Indonesia dan degradasi bahasa daerah. Perubahan penggunaan bahasa tersebut terdapat perbedaan diantara beberapa etnik di Sumatera Utara. 


Minggu, Desember 02, 2012

Lulusan Perguruan Tinggi Menurut Etnik di Kota Medan

Lulusan Perguruan Tinggi menurut etnik di Kota Medan persentase tertinggi adalah etnik Karo sebesar 19.94 persen. Kemudian persentase tertinggi berikutnya adalah etnik Simalungun (17.60 persen) dan etnik Toba (15.63 persen).


Minggu, November 18, 2012

Redistribusi Etnik di Kabupaten Mandailing-Natal: Suatu ‘Game Theory’


Pembentukan  ‘Kabupaten Pantai Barat Mandailing’

Sejarah Kabupaten Pantai Barat Mandailing yang beribukota Kota Natal adalah sejarah yang panjang dan berliku. Perjalanannya dimulai dari Kota Padang Sidempuan sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan (dibentuk tahun 1952). Untuk lebih memajukan pembangunan di wilayah Natal, karena alasan wilayah tertinggal, dibentuk kecamatan baru di wilayah Natal. Kecamatan Natal yang wilayahnya sangat luas dimekarkan tahun 1992 dengan membentuk Kecamatan Batahan dan Kecamatan Muara Batang Gadis. Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai kabupaten tunggal di wilayah Tapanuli Bagian Selatan berlangsung selama 42 tahun sampai akhirnya harus dimekarkan. Pada tahun 1998 tujuh kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan (Natal, Batang Natal, Kotanopan, Panyabungan, Siabu dan Muara Sipongi, Batahan dan Muara Batang Gadis) dibentuk menjadi sebuah kabupaten pemekaran yang diberi nama Kabupaten Mandailing-Natal yang beribukota di Panyabungan. Mandailing-Natal sebagai nama kabupaten diusulkan untuk menonjolkan eksistensi etnik Mandailing di satu sisi dan mengakomodir nama Natal (dari dua kecamatan yang berada di arah barat/pesisir tanah Mandailing: Kecamatan Natal dan Kecamatan Batang Natal).

Jumat, November 16, 2012

Populasi Etnik Angkola di Provinsi Jawa Timur: Terbanyak Ketiga Diluar Penduduk Asli


Oleh Akhir Matua Harahap


Berdasarkan hasil Sensus Penduduk, 2010 di Provinsi Jawa Timur tercatat sebanyak 707 etnik. Hanya lima etnik asli yang menjadi penduduk asli Jawa Timur, selebihnya adalah etnik pendatang (perantau). Lima etnik asli tersebut adalah Jawa, Madura, Osing, Bawean, dan Tengger. Dari 37,476,757 jiwa penduduk Jawa Timur, persentase terbesar adalah etnik Jawa (79.58 persen) yang disusul kemudian etnik Madura (17.53 persen). Tiga etnik asli lainnya, persentasenya terbilang sangat kecil: Etnik Osing di Banyuwangi (0.76 persen), etnik Bawean (0.19 persen) dan etnik Tengger (0.13 persen). Persentase keseluruhan etnik asli adalah   sebesar 98.19 persen. Ini berarti Provinsi Jawa Timur dominan dari etnik Jawa dan etnik Madura.


Tabel-1. Persentase etnik di Provinsi Jawa Timur
Etnik
Persen
Etnik
Persen
Etnik
Persen
Jawa
79.58
Bajao
0.07
Melayu
0.03
Madura
17.53
Bugis
0.06
Betawi
0.02
Osing
0.76
Bali
0.05
Rajabasa
0.02
Tionghoa
0.73
Lampung
0.05
Mandar
0.02
Bawean
0.19
Ambon
0.04
Sibolga
0.02
Tengger
0.13
Banjar
0.03
Minang
0.02
Sunda
0.12
Karo
0.03
Lainnya
0.41
Angkola
0.08
Flores
0.03
      


Etnik pendatang sendiri hanya sebanyak 1.81 persen saja dari total penduduk Provinsi Jawa Timur. Persentase etnik pendatang terbesar adalah etnik Tionghoa (0.73 persen)  dan kemudian pada urutan berikutnya adalah etnik Sunda (0.12 persen) dan Etnik Angkola (0.08 persen). Ini berarti etnik Angkola merupakan penduduk terbanyak ketiga di luar penduduk asli Provinsi Jawa Timur. Etnik Angkola adalah sub etnik Batak yang jumlahnya dominan terdapat di empat kabupaten/kota di wilayah Tapanuli Bagian Selatan, Provinsi Sumatera Utara, yakni di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan.

Jumat, November 09, 2012

Keragaman Etnik di Tapanuli Bagian Selatan: Damai Itu Indah

*Semua artikel Budaya Angkola Mandailing dalam blog ini Klik Disini

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) terdapat sebanyak 72 etnik. Ada delapan etnik yang persentasenya terbilang cukup berarti (signifikan) yaitu: Angkola, Mandailing, Jawa, Toba, Nias, Minangkabau dan Melayu. Persentase etnik terbanyak adalah etnik Angkola (37.72 persen), disusul etnik Mandailing (36.30 persen), etnik Jawa (9.01 persen) dan etnik Toba (7.64 persen). Selain etnik Angkola dan Mandailing, terdapat tiga etnik yang juga merupakan etnik asli namun terbilang persentasenya kecil adalah etnik Ulu di Muarasipongi, Siladang di Panyabungan dan Pesisir di Natal. Semoga tercipta kedamaian di atas keragaman tersebut. Damai itu indah, bukan?



Sabtu, Oktober 20, 2012

Data Etnik Angkola-Mandailing di Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan

Etnik Angkola-Mandailing adalah dua sub etnik Batak di Provinsi Sumatera Utara. Etnik Angkola-Madailing umumnya mendiami wilayah Tapanuli Selatan (yang kini terdiri dari lima kabupaten/kota: Kab. Mandailing Natal, Kab. Tapanuli Selatan, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan). Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 12.985.075 orang, terdapat sebanyak 13,54 persen yang berafiliasi atau mengidentifikasikan diri sebagai etnik Angkola-Mandailing. Persentase etnik Angkola-Mandailing ini merupakan etnik ketiga terbanyak di Provinsi Sumatera Utara setelah etnik Toba (20.63 persen) dan etnik Jawa (33,47 persen). Tiga etnik besar Sumatera Utara ini, juga memiliki distribusi yang relatif sama dengan distribusi etnik di Kota Medan: Angkola-Mandailing (10.16 persen); Toba (17.12 persen); dan Jawa (33.19 persen). Dengan komposisi etnik tersebut, keragaman penduduk Kota Medan juga mencerminkan tipikal penduduk Sumatera Utara. 

Sabtu, Agustus 11, 2012

Mayjen TNI Erwin Hudawi Lubis, Pangdam Jaya: Congratulation

*Untuk melihat semua artikel Tokoh Tabagsel Masa Kini dalam blog ini Klik Disini

Mayjen TNI Erwin Hudawi Lubis, kini menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai Pangdam XII/Tanjungpura. Erwin Hudawi Lubis lahir di Padang Sidempuan, 7 Agustus 1956 dan menamatkan sekolah menengah di SMA Negeri 1 Padang Sidempuan tahun 1975. Setelah tamat SMA, pemuda bersahaja ini diterima di AKABRI tahun 1976 dan lulus tahun 1980.

Mayjen TNI Erwin Hudawi Lubis diangkat sebagai Pangdam Jaya berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/504/VIII/2012 tanggal 1 Agustus 2012. Sebelum menjabat Pangdam Tanjungpura, Mayjen TNI E Hudawi Lubis adalah Komandan Pusat Kesenjataan Infantri (Pussenif) 2011.
***
Pada tanggal 27 Juni 2012 Irjen Pol Saud Usman Nasution menjadi  Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Wakabareskrim) Polri. Saud Usman Nasution yang alumni SMA Negeri 2 Padang Sidempuan (lulus 1977) sebelumnya menjabat sebagai Kadiv Humas Polri.

Dua junior mereka, yakni Kombes Pol Drs Marsuli Siregar kini menjabat sebagai Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulawesi Tengah dan Kolonel Inf Syamsul Rizal bertugas di Kodam Tanjungpura. Marsauli Siregar dan Syamsul Rizal adalah sama-sama alumni 1980 SMA Negeri 1 Padang Sidempuan.Kolonel Syamsul Rizal Harahap sebelumnya adalah Komandan Korem 052/Wijayakrama Jakarta.

Rabu, Juli 18, 2012

Topografi ‘Sosial Ekonomi’ Tapanuli Selatan: Situasi dan Kondisi Jelang Kemerdekaan Republik Indonesia


Oleh Akhir Matua Harahap

Permukaan bumi (topografi) Tapanuli Selatan pada dasarnya tampak sebagai laut, pantai, pegunungan dan lembah-lembah yang diantaranya terdapat sungai-sungai dan danau-danau. Kondisi umum di atas permukaan bumi Tapanuli Selatan sekitar kemerdekaan Indonesia adalah vegetasi yang terdiri dari hutan (jungle dan forest), kebun-kebun rakyat (tanaman keras dan tanaman pangan) dan persawahan (padi). Yang sering terlupakan adalah situasi sosial dan ekonomi wilayah yang direpresentasikan oleh area-area pemukiman penduduk (kota/urban dan desa/rural); jembatan dan jalan yang menghubungkan arus orang dan barang; dan bangunan-bangunan lain (perumahan, perkantoran, perpasaran, candi-candi dan lain sebagainya).

Pada masa seputar kemerdekaan Indonesia, Tapanuli Selatan adalah bagian dari Provinsi Sumatera. Pada tahun 1946. Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi yakni: Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara terdiri dari tiga keresidenan yaitu: Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Keresidenan Tapanuli dibagi lagi menjadi empat kabupate yakni Nias, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan dengan ibukota berkedudukan di Sibolga. Pada saat perang kemerdekaan (angresi Belanda ke dua) Kabupaten Tapanuli Selatan sempat dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu:

  • Kabupaten Padang Sidempuan dengan ibukota Padang Sidempuan (terdiri dari Kewedanaan Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok).
  • Kabupaten Batang Gadis dengan ibukota Panyabungan (terdiri dari seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal),
  • Kabupaten Padang Lawas dan Barumun dengan ibukota Gunung Tua (terdiri dari Padang Lawas dan Barumun).

Rabu, Juli 11, 2012

Kecamatan Batahan: Sumatera Utara vs Sumatera Barat

Pantai pasir putih Batahan, latar P. Tamang
Nama Kecamatan Batahan tidak hanya terdapat di Provinsi Sumatera Utara tetapi nama Kecamatan Batahan juga terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Sungguh sangat unik. Mungkin di tempat lain boleh jadi ditemukan nama kecamatan atau nama desa yang sama. Akan tetapi nama Batahan adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diperhatikan. Bahkan sangat menarik sekali untuk diperbandingkan. Dua kecamatan ini berada di daerah aliran sungai (DAS) Batang Batahan.  Sungai ini berada di perbatasan dua provinsi (Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Barat) yang bermuara ke pantai barat Sumatera. Kecamatan Batahan, Sumatera Utara terletak di hilir (pantai/laut) merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Pantai Barat Mandailing, sementara Kecamatan (ranah) Batahan, Sumatera Barat terletak di hulu (gunung) merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Pasaman Barat. Persamaan kedua kecamatan ini hanya satu: Mayoritas penduduknya beragama Islam. Lantas apa yang membedakan?


Minggu, Juli 01, 2012

Kabupaten Pantai Barat Mandailing: Data dan Informasi

Oleh Akhir Matua Harahap


Kabupaten Pantai Barat Mandailing dan Kabupaten Mandailing Natal (induk)
DATA dan INFORMASI. Kabupaten Pantai Barat Mandailing adalah kabupaten pemekaran dari induknya Kabupaten Mandailing Natal yang berada di Tapanuli Bagian Selatan. Pada saat ini, pembentukan kabupaten baru ini baru tahap pengesahan oleh DPRD Parovinsi Sumatera Utara. Langkah selanjutnya dalam proses pembentukan ini adalah pengesahan oleh Departemen Dalam Negeri yang selanjutnya diproses di DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang.

Dalam rangka proses pembentukan Kabupaten Pantai Barat Mandailing ini sudah barang tentu banyak pihak yang membutuhkan data awal untuk memperhatikan secara spesifik mengenai situasi dan kondisi yang ada saat ini di kabupaten baru tersebut. Artikel ini menyediakan data sejumlah aspek tahun 2008 yang diolah berdasarkan data Potensi Desa (Podes) yang dikeluarkan BPS. Kepada pembaca, semoga data yang disajikan berikut ini dapat membantu. Mari kita bangun Kabupaten Pantai Barat Mandailing agar sejajar dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Tapanuli Bagian Selatan.

Minggu, Juni 24, 2012

Letnan Sahala Muda Pakpahan (‘Jenderal Naga Bonar’) vs Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (Sipirok, 1949): Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer Utama di Indonesia


*Dikompilasi dari berbagai sumber: Akhir Matua Harahap




Prakondisi di Tapanuli Selatan dan Padang Sidempuan

Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan tahun 1833 dari arah Natal yang ketika itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah Pasaman. Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis. Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan  kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat  mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah pengaruh siapapun. Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola, Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal, Sipiongot dan Pakantan.

Selasa, Juni 19, 2012

Pertempuran ‘Benteng Huraba’ di Padang Sidempuan: Peran Laskar dan Rakyat Tapanuli Selatan dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap


Prakondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Benteng Huraba, latar hutan

Pembentukan pemerintahan dan pertahanan Republik Indonesia terjadi hampir bersamaan waktunya. Ini sangat mungkin, karena Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Jepang) dalam suasana euphoria pasukan Sekutu, dimana Belanda yang dikalahkan Jepang yang bernafsu kembali untuk menjajah telah datang kembali dengan memanfaakan kehadiran pasukan Inggris ketika tengah melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang yang ada di Indonesia. Dengan situasi dan kondisi tersebut, maka pembentukan dan penyusunan struktur pemerintahan RI dilaksanakan dari pusat ke daerah-daerah (top down), tetapi tidak demikian dalam proses terbentuknya struktur pertahanan RI, justru pertahanan rakyat sudah dimulai dan terbentuk dari kalangan rakyat (bottom up) yang kemudian disempurnakan dan dilegitimasi oleh pemerintah pusat..

Pada awalnya, inisiatif membentuk pertahanan rakyat muncul sporadis. Mereka yang dulunya eks pasukan militer/polisi penjajah (Jepang/Belanda) dan rakyat--pihak yang paling menderita selama penjajahan spontan mengangkat senjata dan mempersenjatai rakyat. Semua yang disebut para ‘pentolan’ rakyat ini bercermin pada pahlawan-pahlawan pendahulu dan tentu saja karena di depan mata adanya potensi ‘chaos’ karena kurang jelasnya estafet kaum penjajah, yang mana pasukan penjajah Jepang sudah ‘lesu darah’ sementara pasukan Inggris mewakili sekutu tampaknya kurang berminat terhadap keelokan bumi Indonesia—mungkin dengan dalih untuk menjaga rasa hormat terhadap mantan penjajah Belanda yang boleh jadi terus ‘merayu’ atau ‘dirayu’ untuk masuk kembali ke Indonesia. Situasi dimana Belanda ingin menjajah kembali dan pasukan Jepang sudah mati kutu di markas masing-masing, maka kesempatan inilah yang ingin diraih oleh rakyat untuk membentuk kekuatan bersenjata dimana-mana.