Minggu, Agustus 30, 2015

Ali Moechtar Hoeta Soehoet, Pendiri IISIP Jakarta: Seorang ‘Letnan’ yang Menjadi Wartawan, Komandannya adalah Parada Harahap dan Mochtar Lubis

*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini
 
*Untuk melihat Sejarah Lengkap Ali Mochtar Hoeta Soehoet dalam blog Klik Disini


Ali Mochtar Hoeta Soehoet (AM Hoeta Soehoet) adalah seorang mantan tentara pelajar di Afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) pada masa agresi militer Belanda. Ketika Parada Harahap memimpin majalah Detik di Bukittinggi (September 1947) berkesempatan pulang kampong halaman di Padang Sidempuan, merekrut  Ali Mochtar Hoeta Soehoet untuk membantu Detik. Pada masa agresi militer kedua, Padang Sidempuan yang telah diduduki pasukan militer Belanda, Ali Mochtar Hoeta Soehoet pulang kampong untuk turut bergerilya melawan pasukan militer Belanda.

Demonstrasi Kebebasan Pers (Java Bode 6 Juni, 1953)
Setelah pengakuan kedaulatan RI, Ali Mochtar Hoeta Soehoet hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan. Ketika, Parada Harahap mendirikan Akademi Wartawan, tanggal 2 Maret 1951, Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendaftar sebagai mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Pada tanggal 5 Desember 1953, Ali Mochtar Hoeta Soehoet menjadi Ketua  Perhimpunan Mahasiswa di kampusnya yang berlokasi di Decapark, Jakarta. Pada tanggal 05-08-1953 terjadi demosntrasi kebebasan pers di Jakarta dari kalangan wartawan dan para mahasiswa. Pimpinan demonstrasi dari kalangan mahasiswa adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Ketua panitia aksi demonstrasi ini adalah Mochtar Lubis. Inilah awal kedekatan Ali Mochtar Hoeta Soehoet yang sebelumnya ‘di tangan’ Parada Harahap berpindah ‘ke tangan’ Mochtar Lubis. Setelah lulus, Ali Mochtar Hoeta Soehoet ‘melamar’ dan bekerja sebagai reporter di harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. Inilah awal karir Ali Mochtar Hoeta Soehoet di bidang jurnalistik hingga menjadi Rektor IISIP Jakarta.

Jumat, Agustus 28, 2015

Jong Tapanoeli: Dari Abdoel Moenir Nasoetion kepada Parada Harahap hingga Kongres Pemuda




De Sumatra post, 17-01-1918
Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917 di Batavia oleh sejumlah pemuda dari kalangan siswa dan mahasiswa asal Sumatra (Tapanoeli, Oostkust Sumatra dan Sumatra’s Westkust). Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intesitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Sementara itu sudah berdiri sebelumnya asosiasi dari siswa sekolah menengah dan kejuruan di Weltevreden yang disebut Jong Java. Susunan pengurus Jong Sumatranen adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).

Pada saat pendirian Sumatrabond ini sejumlah mahasiswa asal Mandheling en Ankola di STOVIA, antara lain adalah Raba Nasoetion, Soetan Loebis, Daliloedin dan Amir Hoesin, Soleman Siregar, Gindo Siregar, Pang Siregar (persiapan tahun 1); Kasmir Harahap, Ida Loemongga Nasoetion (persiapan tahun 2); Diapari Siregar (persiapan 3); Abdoel Moerad Loebis, Alimoedin Pohan (tingkat 1); Dja Bangoen (tingkat 2); Amir Nasoetion (tingkat 4); Abdoel Moenir Nasoetion (tingkat 5). Abdoel Moenir Nasoetion setelah lulus STOVIA, pada akhir 1922 diangkat menjadi dokter pemerintah (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-12-1922).

Sabtu, Agustus 15, 2015

Benteng Huraba dan Tapanuli Selatan 100 Persen Republik: Benteng di Angkola yang Mengawal Mandailing, Satu-Satunya Wilayah di Indonesia yang Tidak Berhasil Diduduki Selama Agresi Militer Belanda

*Dirgahayu Republik Indonesia, 17-8-2015

Benteng Huraba di Angkola
Banyak daerah penting di Indonesia, dua di antaranya adalah daerah Mandailing dan daerah Angkola. Kedua daerah ini sejak Belanda pertamakali memasuki Tapanuli (1833) hingga pendudukan Jepang (1942) disatukan dalam satu afdeeling (kabupaten) yang disebut Afdeeling Mandheling en Ankola. Ibukota afdeeling pertama kali adalah Kotanopan (pra Perang Bonjol), kemudian tahun 1841 (pasca Perang Bonjol) dipindahkan ke Panyabungan. Dua kota ini berada di Mandailing. Lalu kemudian tahun 1871 ibukota afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan lag ke Padang Sidempuan di daerah Angkola. Untuk ringkasnya, dalam hal ini Afdeeling Mandheling en Ankola meliputi  Mandheling (Groot Mandheling, Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten dan Natal); dan Ankola (Angkola, Sipirok, Padang Bolak/Padang Lawas dan Batangtoru).

Afdeeling Mandheling en Ankola Diperhitungkan Belanda Sejak 1841

Keutamaan Afdeeling Mandheling en Ankola adalah kabupaten yang pertamakali dibentuk di Sumatra Utara. Kabupaten ini menjadi satu-satunya daerah di Sumatra Utara yang mengalami koffie cultur-stelsel (tanam paksa) di Sumatra Utara. Di satu sisi daerah ini sejak dari awal sudah menjadi lumbung devisa (komoditi ekspor) bagi pemerintah colonial, sementara di sisi lain daerah yang terbilang lebih awal memulai pemberontakan terhadap kebijakan tanam paksa (menanam dan merawat sendiri, memanen dan mengangukut sendiri dengan cara dipikul ke pelbauhan). Banyak penduduk yang tidak senang dengan tanam paksa lalu melarikan diri ke Semenanjung Malaya.

Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910)
Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Edward Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Edward Douwes Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).

Sejak kerusuhan itu, demi menjaga kepentingan pemerintahan (produksi komodi ekspor), pemerintah mulai ciut nyalinya lalu mulai dengan tatakelola pemerintahan yang berimbang (di satu tangan tetap dengan pengawasan senjata dan di tangan yang lain memberi stimulant yang mampu meredakan ketegangan. Stimulan itu dilakukan mulai pada era pemerintahan yang dijabat oleh Asisten Residen AP Godon (1847-1857). Kebijakan pertama AP Godon adalah membuka isolasi daerah dengan membuka transportasi (pembangunan jalan dan jembatan) antar Tanobato dengan pelabuhan Natal. Kemudian diikuti kebijakan menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pimpinan penduduk di Mandheling en Ankola. Formulasi sangat tepat dan hasilnya tidak terduga.

Senin, Agustus 03, 2015

Orang Batak Naik Haji Sejak 1871: Dja Endar Moeda, Penyusun Pertama Pedoman Perjalanan Haji di Hindia Belanda (1903)



Orang Batak di Mekkah tahun 1887
Buku berjudul ‘Orang Batak Naik Haji’ karya Baharudin Aritonang yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2002 telah merebut perhatian banyak orang—laris manis dan banyak pembacanya. Ketika orang mendengar judul buku tersebut, sepintas mungkin orang berpikir: ada juga orang Batak naik haji! Persepsi serupa itu jelas keliru. Yang mungkin tidak terduga, ternyata orang Batak termasuk kloter awal penduduk Hindia Belanda yang berhasil menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi tentang kapan pertamakali orang Batak naik haji tidak ditemukan dalam buku best seller Baharudin Aritonang. Artikel ini coba melengkapinya, ternyata orang Batak naik haji secara masif sudah terjadi sejak 1871.

Baharudin Aritonang, anak Padang Sidempuan telah berhasil menyadarkan banyak pihak  bahwa orang Batak juga telah naik haji. Kisah bagaimana orang Indonesia di jaman Hindia Belanda pergi naik haji ke Mekkah tidak banyak diketahui. Dari sedikit informasi yang ada, ternyata orang yang pertama memiliki inisiatif unbtuk menyusun panduan (pedoman) perjalanan haji adalah orang Batak. Pedoman ini lalu dibuat secara rinci dan lengkap, lalu kemudian dipublikasikan di surat kabat. Pedoman ini kemudian diajukan oleh penulisnya kepada pemerintah colonial agar diterbitkan secara massif dan diberikan kepada semua calon haji di Hindia Belanda. Kementerian Pendidikan, Budaya dan Agama Hindia Belanda mengadopsinya tahun 1903. Lantas, siapa penulisnya? Dia adalah orang Batak berasal dari Padang Sidempuan bernama Dja Endar Moeda.