Sabtu, Agustus 15, 2015

Benteng Huraba dan Tapanuli Selatan 100 Persen Republik: Benteng di Angkola yang Mengawal Mandailing, Satu-Satunya Wilayah di Indonesia yang Tidak Berhasil Diduduki Selama Agresi Militer Belanda

*Dirgahayu Republik Indonesia, 17-8-2015

Benteng Huraba di Angkola
Banyak daerah penting di Indonesia, dua di antaranya adalah daerah Mandailing dan daerah Angkola. Kedua daerah ini sejak Belanda pertamakali memasuki Tapanuli (1833) hingga pendudukan Jepang (1942) disatukan dalam satu afdeeling (kabupaten) yang disebut Afdeeling Mandheling en Ankola. Ibukota afdeeling pertama kali adalah Kotanopan (pra Perang Bonjol), kemudian tahun 1841 (pasca Perang Bonjol) dipindahkan ke Panyabungan. Dua kota ini berada di Mandailing. Lalu kemudian tahun 1871 ibukota afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan lag ke Padang Sidempuan di daerah Angkola. Untuk ringkasnya, dalam hal ini Afdeeling Mandheling en Ankola meliputi  Mandheling (Groot Mandheling, Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten dan Natal); dan Ankola (Angkola, Sipirok, Padang Bolak/Padang Lawas dan Batangtoru).

Afdeeling Mandheling en Ankola Diperhitungkan Belanda Sejak 1841

Keutamaan Afdeeling Mandheling en Ankola adalah kabupaten yang pertamakali dibentuk di Sumatra Utara. Kabupaten ini menjadi satu-satunya daerah di Sumatra Utara yang mengalami koffie cultur-stelsel (tanam paksa) di Sumatra Utara. Di satu sisi daerah ini sejak dari awal sudah menjadi lumbung devisa (komoditi ekspor) bagi pemerintah colonial, sementara di sisi lain daerah yang terbilang lebih awal memulai pemberontakan terhadap kebijakan tanam paksa (menanam dan merawat sendiri, memanen dan mengangukut sendiri dengan cara dipikul ke pelbauhan). Banyak penduduk yang tidak senang dengan tanam paksa lalu melarikan diri ke Semenanjung Malaya.

Rumah Multatuli di Natal, 1842 (foto 1910)
Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1842 sempat direkam oleh Edward Douwes Dekker yang kala itu menjadi controleur di Natal. Melihat penderitaan rakyat Mandailing dan Ankola, Dekker berbalik arah dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena Dekker manjadi tempat curhat para pimpinan penduduk menyebabkan dirinya dipecat dan diombang-ambingkan bagaikan gelandangan selama setahun di Padang tanpa mendapat gaji dan dihalangi bertemu istri yang tinggal di Batavia. Kisah inilah yang menjadi pemicu awal mengapa Edward Douwes Dekker dikemudian hari novelnya diberi judul Multatuli (aku yang menderita).

Sejak kerusuhan itu, demi menjaga kepentingan pemerintahan (produksi komodi ekspor), pemerintah mulai ciut nyalinya lalu mulai dengan tatakelola pemerintahan yang berimbang (di satu tangan tetap dengan pengawasan senjata dan di tangan yang lain memberi stimulant yang mampu meredakan ketegangan. Stimulan itu dilakukan mulai pada era pemerintahan yang dijabat oleh Asisten Residen AP Godon (1847-1857). Kebijakan pertama AP Godon adalah membuka isolasi daerah dengan membuka transportasi (pembangunan jalan dan jembatan) antar Tanobato dengan pelabuhan Natal. Kemudian diikuti kebijakan menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pimpinan penduduk di Mandheling en Ankola. Formulasi sangat tepat dan hasilnya tidak terduga.

Pada tahun 1852 lambat laun produksi kopi mulai mengalir dari Mandailing dan Angkola ke pelabuhan Natal dan diteruskan ke Padang. Oleh karena kopi Mandailing dan Angkola terbilang unik dan memenuhi semua cita rasa di Eropa dan Amerika, maka harga kopi dari Mandailing dan Ankola pelan tapi pasti makin meningkat hingga kopi Mandailing dan kopi Angkola mendapat apresiasi harga tertinggi dunia sejak 1860-an hingga tahun 1920-an. Meski terus diawasi secara ketat, para petani makin bergairah karena harga kopi Mandailing dan kopi Ankola yang tinggi dapat dirasakan oleh petani hingga sampai ke lereng-lereng gunung. Sistem cultuur stelsel (tanam paksa) hilang sendirinya karena penduduk sendiri sudah proaktif menanam (bebas tanam).

Pada tahun 1854 dua lulusan sekolah yang didirikan oleh AP Godon kemudian direkomendasikan untuk mengikuti pendidikan kedokteran di Batavia (docter djawa school). Kedua anak itu ternyata mampu mengikuti pendidikan dengan baik dan lulus tepat waktu. Dua anak itu yang bernama si Asta dan si Angan kemudian diketahui adalah siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar jawa. Sejak itu, secara regular siswa yang berasal dari Mandailing en Angkola mengikuti pendidikan kedokteran. Sejak itu pula dokter djawa asal Mandailing dan Angkola menyebar ke berbagai daerah di Hindia Belanda. Rupanya daerah Mandailing dan Ankola tidak hanya surplus beras dan kopi tetapi juga surplus tenaga kesehatan (alumni docter djawa school).

Siswa-siswa lain setelah dinyatakan lulus menyebar di Mandailing dan Ankola dan berinisiatif mendirikan sekolah rakyat (swadaya bersama penduduk). Salah satu diantara guru-guru rakyat ini bernama Si Sati, Pada tahun 1857 Si Sati berinisiatif mengusulkan dirinya melalui AP Godon untuk melanjutkan sekolah guru (kweekschool) di Nederland. Keinginan Si Sati ini diteruskan oleh Godon ke Menteri Pendidikan di Batavia. Melalui suatu perdebatan di ‘Volksraad’ keinginan Si Sati dikabulkan dan dibiayai pemerintah. Si Sati adalah orang pribumi pertama yang studi ke Belanda.

Sulit dipahami mengapa Si Sati melanjutkan pendidikan guru ke Belanda, padahal waktu itu sudah ada dua sekolah guru di Hindia Belanda, yakni di Surakarta (didirikan tahun 1852) dan di Fort de Kock (didirikan tahun 1856). Yang lebih sulit dipahami adalah mengapa parlemen dan pemerintah mengabulkan dan memfasilitasi pendidikan Si Sati ke negeri Belanda. Apakah ini bentuk ‘bargaining’ penduduk Mandheling en Ankola atau politik pemerintah untuk mengendalikan penduduk Mandheling en Ankola?

Si Sati tahun 1861 berhasil mendapat akte guru di Harlem, Belanda dan kembali ke kampong halaman di Mandheling en Ankola. Pada tahun 1862 Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato. Siswa-siswa yang direkrut Willem Iskander adalah siswa-siswa lulusan sekolah rakyat, sekolah swadaya penduduk, eks murid-murid teman Willem Iskander. Oleh karena system pengajaran yang dilakukan oleh Willem Iskander sangat baik, maka tahun 1864 sekolah guru ini diakuisisi pemerintah dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri ketiga di Hindia Belanda. Lulusan sekolah guru ini menyebar di Mandailing dan Ankola.

Pada tahun 1875 sekolah guru di Mandheling en Ankola ditingkatkan kapasitasnya dengan melikuidasi kweekschool Tanobato dan membangun sekolah yang lebih besar di Padang Sidempuan. Untuk kandidat kepala sekolah baru yang akan dibuka tahun 1879 ditetapkan Willem Iskander tetapi harus dengan sertifikat kepala sekolah. Karena itulah Willem Iskander dikirim kembali ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Namun Willem Iskander tidak berumur panjang dan meninggal di Belanda tahun 1876. 

Lalu kemudian ketika Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tepat tahun 1879, kepala sekolah yang ditunjuk adalah bangsa Belanda bernama LK Harmsen yang kemudian digantikan oleh Charles Adrian van Ophuijsen tahun 1883. Sekolah ini pada tahun kelima sudah dianggap sebagai sekolah guru terbaik di Hindia Belanda. Lulusannya tidak hanya memenuhi guru-guru di Mandheling en Ankola tetapi juga dikirim ke Riau, Bengkulu, Sumatra Timur dan Aceh. Di Mandheling en Ankola sendiri, pada tahun 1892 dari 18 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli, 15 diantaranya berada di Afdeeling Mandheling en Ankola. Alumni sekolah guru Tanobato dan sekolah guru Padang Sidempuan sudah menyebar kemana-mana. hingga Afdeeling Mandheling en Ankola tidak hanya surplus beras dan kopi tetapi juga surplus tenaga kesehatan dan tenaga pendidikan.
Beberapa alumni Kweekschool Padang Sidempuan (murid Charles Adrian van Ophuijsen) yang terkenal, diantaranya: (1) Dja Endar Moeda, lulus 1884, setelah pensiun guru menjadi editor surat kabar Pertja Barat 1897 di Padang, penulis novel dan editor pribumi pertama di Hindia Belanda, Radja (pemilik) Persuratkabaran Sumatra, yakni di Padang (Pertja Barat, Insulinde dan Sumatra Nieuwsblad), di Sibolga (Tapian na Oeli, Sinar Tapanoeli), di Medan (Pewarta Deli), di Aceh (Pemberita Atjeh); (2) Soetan Casajangan, lulus 1887, setelah pensiun guru berangkat studi ke Negeri Belanda (1905), pendiri Perhimpunan Hindia Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908 yang menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) tahun 1920, editor Bintang Perniagaan di Belanda dan penulis pribumi pertama yang diterbitkan di Belanda, (3) Soetan Martoewa Radja, lulus 1892, setelah pensiun guru menjadi anggota dewan kota pribumi pertama di Pematang Siantar, penulis novel, ayah dari MO Parlindungan, (4) Mangaradja Salamboewe, hanya sampai tahun kedua, menjadi penulis di Kantor Residentie Tapanoeli di Sibolga, mantan jaksa di Natal yang menjadi editor surat kabar Pertja Timor di Medan (1903-1908), anak dari Dr. Asta (siswa dan alumni Docter Djawa School yang pertama berasal dari luar Jawa (masuk 1854).  
Para Perantau Memperkuat Positioning Angkola dan Mandailing

Kopi menjadi instrument penting dalam pembangunan ekonomi Mandheling en Ankola dan sekolah sebagai instrument penting dalam perkembangan social penduduk Mandheling en Ankola. Ekonomi kopi telah membentuk akumulasi modal di Mandheling en Ankola, modal untuk membiayai pendidikan lebih lanjut bagi anak-anak Mandheling en Ankola. Anak-anak Mandheling en Ankola tidak hanya ke Dokter Djawa School di Batavia, tetapi juga sudah banyak yang mengikuti Willem Iskander untuk studi di Negeri Belanda. Pada tahun 1905, Soetan Casajangan berangkat studi ke negeri Belanda, kemudian di susul oleh Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon (1910) dan Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (1911). Anak-anak Mandheling en Ankola juga memilih sekolah hukum di Batavia (dibuka 1910) dan sekolah kedokteran hewan (1911) dan sekolah pertanian (1914) di Buitenzorg. Berbagai sekolah baru yang dibuka di Batavia menjadi target para siswa-siswa di Mandheling en Ankola. Singkat cerita, sebelum pendudukan Jepang, sudah sangat masif (ratusan atau bahkan ribuan) anak-anak Mandheling en Ankola yang memiliki pendidikan memadai, tersebar di seluruh Hindia Belanda. Mereka mengisi berbagai posisi tidak hanya dokter dan guru, tetapi juga ahli hukum, wartawan, sastrawan, militer dan sebagainya.
Di Batavia, anak-anak Mandailing dan Angkola yang terbilang menonjol, antara lain: Mr. Radja Enda Boemi Siregar, PhD (meraih gelar doktor di Universiteit Leiden 1925, ahli hukum pertama orang Batak), Dr. Ida Loemongga Nasution, PhD (dokter pribumi pertama bergelar doktor, lulusan Universiteit Leiden, 1932), Parada Harahap (The King Of Java Press, Ketua Kadin pertama, anggota BPUPK), Adam Malik (pendiri kantor berita Antara), Mochtar Lubis, Sanusi Pane, Armijn Pane (wartawan/sastrawan), Sakti Alamsjah Siregar (penyiar radio, kelak menjadi pendiri Pikiran Rakyat Bandung), Panangian Harahap, Dr. Anwar Nasution (ayah Andi Hakim Nasution/mantan rektor IPB), Yahya Malik Nasution (salah satu pendiri PNI dan orang yang meminta Ir. Soekarno masuk PNI dan didaulat menjadi Ketua PNI, mertua dari Bob Tutupoli), empat anggota Volksraad (Dr. Alimoesa Harahap, Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid, Todoeng Harahap Soetan Goenoeng Moelia), Mr. Egon Nasution (ahli hukum lulusan Universiteit Leiden/menantu anggota Volksraad, M. Husni Thamrin) dan lain sebagainya. 
***
Mereka yang golongan terpelajar setelah pergi merantau ini jarang yang kembali dan lebih memilih menetap di berbagai kota di Hindia Belanda (perantau hanyut). Mereka terus berjuang di rantau, seperti kakek moyang mereka dahulu sejak era tanam paksa. Kini mereka berjuang tidak hanya melawan penguasa yang lalim, tetapi juga berjuang untuk demi keadilan dan berjuang untuk meningkatkan harkat para penduduk pribumi di Hindia Belanda. Jiwa pejuang turun ke anak-anak mereka, mereka berjuang dimana mereka berada.
Pada jelang masa kolonialisme berakhir, putra-putri terbaik Mandailing dan Ankola telah memainkan peran yang signifikan di berbagai bidang di berbagai kota bahkan di luar negeri. Saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia juga anak-anak Mandailing en Ankola turut aktif bahkan hingga pada fase agresi militer Belanda yang datang kembali untuk menguasai Indonesia. Salah satu tokoh penting lahirnya Republuk Indonesia adalah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, salah satu tiga founding father (Soekarno, Hatta dan Amir). Ayah Amir seorang mantan pejabat di Residentie Tapanoeli yang sebelumnya pernah menjabat sebagai jaksa di Tanjung Pura, Medan, Sibolga dan Sabang. Amir Sjarifoeddin menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di Belanda dan ketika ada masalah keluarga kuliahnya ditinggalkan di Belanda dan kemudian dilanjutkan sekolah hukum di Batavia.
Agresi Militer Belanda-II: Aksi Bumi Hangus di Padang Sidempuan

Afdeeling Angkola dan Mandailing tidak mengalami Agresi Militer Belanda-I karena sifatnya masih terbatas. Namun dampaknya sudah dirasakan karena militer dan para laskar yang terdesak dari Medan dan Sumatra Timur telah berkonsentrasi di Padang Sidempuan dan Sekitarnya. Pada Agresi Militer Belanda-II, Padang Sidempuan adalah salah satu kantong-kantong kekuatan militer dan pemeritahan republik yang masih tersisa.

Singkat cerita: Pasukan Belanda semakin menguat di Parapat dan lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai ibukota Keresidenan. Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan. Pasukan Belanda berharap dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali. 

Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949). PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga (bersamaan dengan Yogya) baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Dalam tahun 1948 ini tiga putra-putri terbaik Mandheling en Ankola dibunuh. Pertama, seorang kritikus dan esais terkenal bernama Ida Nasoetion diculik dan dibunuh tanggal 23 Maret 1948 di Bogor. Gadis berumur 26 tahun ini adalah Presiden PMUI (Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia). Kedua, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dibunuh pada tanggal 19 Desember 1948 di Surakarta. Amir Sjarifoeddin adalah mantan Perdana Menteri RI, mantan Menteri Penerangan dan mantan Menteri Pertahanan RI. Ketiga, Mr. Masdoelhak Nasution, PhD, diculik dan dibunuh militer Belanda di Yogyakarta 21 Desember 1948. Masdoelhak Nasution kelahiran Sibolga adalah doktor hukum 'cum laude' lulusan Universiteir Leiden yang menjadi penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta yang sebelumnya menjabat sebagai Residen Sumatra Tengah berkedudukan di Bukittinggi.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu, pemerintah RI memutuskan untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada. Pemerintah republik menugaskan pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo menahan serangan serdadu Belanda yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah Sibolga. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli.  Kedua pasukan ini akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.

Jembatan Batangtoru (foto 1936)
Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan.  Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan  melakukan taktik rintangan dan bumi hangus. Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi berlobang dimana-mana. Semua itu dilakukan agar kendaraan militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan. Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat Malaka berlangsung pembersihan. Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Sumatera,  Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota). Di Yogya sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri (penghianat republik)’.
Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘..Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan daripada di bagian utara’’
Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-01-1949: ‘di Tapanoeli TNI dan laskar republik telah mundur ke gunung..di sini tidak ada kebijakan bumi hangus yang diterapkan kecuali di Padang Sidempoean, Selatan Tapanoeli. Penduduk diminta meninggalkan kota, diancam dengan pembalasan jika mereka bekerja sama dengan Belanda’.
Setelah TNI dan laskar rakyat mengosongkan kota Padang Sidempuan, Pemerintah RI di Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Selanjutnya mereka ini akan meneruskan perjalanan ke Panyabungan.Di Sipirok sendiri perlawanan terhadap pasukan militer Belanda akan dilakukan oleh Angkatan Gerilya Sipirok (AGS) dibawah pimpinan Sahala Muda Pakpahan dan wakilnya Maskud Siregar.
Kalisati Siregar adalah alumni sekolah ekonomi di Batavia.yang kemudian berdinas di Kantor Statistik di Batavi, Pada masa pendudukan Jepang, Kalisati pulang kampung di Padang Sidempuan. Atas kemampuannya, pemerintah pendudukan Jepang di Padang Sidempuan mengangkat Kalisati menjadi Kepala Kantor Perdagangan. Kalisati Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (Ketua Dewan Mahasiswa UI dan tokoh penting peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974/Malari).
Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo. Anggota AGS ini diantaranya bekas para laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai dengan senapan locok yang ada ketika itu. 
Maskud Siregar kelak dikenal sebagai ayah dari Dr. Arifin Siregar, seorang ekonomi lulusan negeri Belanda. Setelah berkecimpung di lembaga-lembaga internasional diluar negeri Arifin Siregar diminta pulang ke tanah air untuk membantu tugas-tugas negear. Arifin M. Siregar (Arifin Maskud Siregar) pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perdagangan dan Dubes Indonesia untuk negara Belanda.  
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki  Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik. Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan terluka.

Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui diplomasi di PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.

Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman. Mengetahui pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar. Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.
Binanga Siregar setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1952 diangkat menjadi Residen Smatra Timur. Setelah masa tugasnya berakhir di Sumatra Timur diangkat menjadi Residen Tapanoeli.
Tapanuli Selatan 100 Persen Republik

Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang Sidempuan. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B  yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat. Dalam pertempuran yang direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-02-1949: ‘Wilayah di selatan Sibolga, yang dari Batang Toru ke Padang Sidempoean tampak telah banyak menderita. Di Padang Sidempoean hampir semua bangunan terbakar. Penduduk Indonesia dari Padang Sidempoean mengusngi dan belum kembali. Dari seluruh Tapanoeli adalah Batang Toroe mungkin wilayah yang paling mengkhawatirkan. Orang Jawa yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang berjumlah sekitar. 10.000 jiwa sebagian besar kurang gizi dan diabaikan. Sejumlah pemilik perusahaan penduduk telah ikut mengungsi. Sementara itu, di Bahge, utara dari Sibolga, sudah kembali ke situasi normal. Penduduk tampak cukup makmur dan berpakaian. Selain itu, salah satu daerah ini memiliki surplus berkelanjutan beras di sini. yang dapat didistribusikan ke Sibolga’.
Pesawat Belanda jenis Dornier di Pinangsori, skuadron Tapanuli
Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibu pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta Huraba.

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-03-1949 (Status Tapanoeli): ‘Padang Sidempoean yang dimiliki Indonesia yang menonjol di Selatan Tapanoeli mengadakan pertemuan untuk membahas status masa depan Tapanoeli. Dengan suara bulat telah menyatakan keinginan untuk Tapanoeli untuk meminta status "Darah Istimewa". Kemudian, panitia kerja ditunjuk untuk studi lebih lanjut dan melakukan persiapan. Demikian pula, dalam Taroetoeng pertemuan Indonesia terkemuka dari Utara Tapanoeli, dimana sebagian dari mereka yang hadir menyatakan diri untuk pondasi dari gatra Tapanoeli, sementara yang lain berpendapat untuk bergabung dengan Negara Soematera Timur. Akhirnya, pada pertemuan ini sejumlah orang Indonesia juga memberikan yang menyarankan bahwa Tapanoeli akan tetap republik’.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-03-1949 (Status Tapanoeli): ‘'Komite Status Tapanoeli secara keseluruhan melakukan pertemuan di Sibolga untuk menyetujui status sementara dari Tapanoeli selama masa transisi sebelum pembentukan negara independen dalam RIS. Sebuah resolusi yang ditandatangani oleh Presiden Mr. Abbas dan Sekretaris FL Tobing diadopsi yang mengatakan bahwa Tapanoeli dianggap sebagai Daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri, yang akan langsung di bawah pemerintah RIS atau pemerintah sebelumnya. Selain itu, keinginan diungkapkan, bagian untuk mengambil bagian dalam semua diskusi mengenai pembentukan RIS. Kata Panitia ‘Status seluruh Tapanoeli’ dibentuk oleh penggabungan dari Komite Status Tapanoeli dari Sibolga, Utara dan Selatan Tapanoeli Tapanoeli (Padang Sidempoean)’

Sejumlah putra-putri terbaik Mandailing en Ankola di rantau turut aktif berperang di seputar agresi militer ini, antara lain: Kolonel Abdul Haris Nasution di Jawa Barat (kelak menjadi Kasad dan Menteri Pertahanan), Kolonel Ir. MO Parlindungan Siregar di Jawa Timur (kelak menjadi kepala Pindad pertama di Bandung), Kolonel Zulkifli Lubis di Yogyakarta (kelak menjadi Kepala Intelijen RI). Selain itu, Letkol Mr. Gele Harun Nasution di Lampung (kelak menjadi Residen pertama di Lampung), Dr. Radjamin Nasution di Surabaya dan sekitarnya (walikota pribumi pertama Surabaya), Letkol Dr. Irsan Nasution di Surabaya dan sekitarnya (anak Radjamin Nasution), Kapten Marah Halim Harahap di Indragiri, Riau (kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara).Di Sumatra Utara sendiri yang menjadi Gubernur Militer adalah Mayor Jenderal Dr. Gindo Siregar (adik kelas Radjamin Nasution di STOVIA).
Pertempuran Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan

Pasukan Belanda yang sudah menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi lagi perlawanan balik. Pasukan Belanda menyusun rencana strategis baru untuk melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari Padang Sidempuan. Karena itu, pada tanggal 5 Mei 1949 sekitar pukul 04.00.WIB pasukan Belanda  mulai melakukan penyerangan terhadap lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba. Rencana penyerangan dimulai dari Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout) yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri. Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.

Peta Padang Sidempuan-Huraba (1945)
Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu pasukan Belanda waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membutuhkan waktu.  Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.

De vrije pers: ochtendbulletin, 08-07-1949: ‘Di Padang Sidempoean telah dilakukan pemilihan untuk dewan sementara dari Tapanoeli Selatan. Dewan ini terdiri dari 23 anggota termasuk 20 yang dipilih oleh rakyat; sementara 3 anggota ditunjuk oleh kelompok minoritas. Sebagai presiden terpilih Hasiboean, mengatakan dalam kata sambutan menyatakan bahwa Tapanoeli tetap memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri’.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.  Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Ketua delegasi ke KMB di Den Haag adalah Drs. Moh. Hatta. Salah satu penasehat dalam delegasi tersebut adalah Abdul Hakim Harahap, alumni sekolah ekonomi di Batavia, yang selama era Belanda pernah menjadi anggota dewan kota Medan (1932-1937), kepala kantor keuangan Indonesia Timur di Makasar (hingga pendudukan Jepang di Makassar).  Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Hakim pulang kampung di Padang Sidempuan. Pemerintah pendudukan Jepang di Tapanoeli mengangkatnya menjadi wakil residen. Keutamaan Andul Hakim sebagai penasehat ke KMB karena berpengalaman dalam keuangan selama pemerintahan kolonial Belanda dan fasih tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis). Setelah pengakuan kedaulatan diangkat menjadi gubernur Sumatra Utara (yang ketiga 1951-1953).
***
Benteng Huraba adalah pertahanan terakhir dari perlawanan rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap pasukan Belanda dalam agresi militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada masa ini berada di dekat Kota Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Benteng ini lokasinya sangat strategis yang berada di jalur lintas Padang Sidempuan ke Bukittinggi. Selama agresi militer Belanda, benteng ini tidak bisa ditembus pasukan militer Belanda hingga tiba waktunya penyerahan kekuasaan dan pengakuan Belanda terhadap NKRI (27 Desember 1949). Kini, benteng ini tidak hanya sebagai simbol perjuangan masyarakat Sumatera di kancah nasional dalam pertempuran selama Perang Kemerdekaan, tetapi benteng ini juga dulu telah menyelamatkan kota Penyabungan sebagai ibu kota pengganti Tapanuli Selatan setelah kota Padang Sidempuan dikuasai pasukan militer Belanda. Daerah Mandailing juga secara otomatis selama agresi militer Belanda tidak pernah berhasil mendudukinya.

***
Untuk menghormati para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan di Benteng Huraba dan untuk menunjukkan betapa pentingnya perjuangan rakyat Tapanuli bagian Selatan bersama-sama dengan TNI dan Polri maka dibangunlah monumen Benteng Huraba. Bangunan benteng yang  bentuknya layaknya ‘kastel’ dalam permainan catur ini diresmikan oleh Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin pada tanggal 21 November 1981.

Demikianlah eksistensi Benteng Huraba di Padang Sidempuan (sekarang masuk wilayah Tapanuli Selatan), sebuah benteng yang mampu menjaga pertahanan rakyat dalam perang melawan pasukan Belanda pada tanggal 5 Mei 1949. Skak mat! Pasukan Belanda kemudian keluar dari bumi pertiwi dan akhirnya mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Putra-putri Angkola dan Mandailing, baik di kampung halaman maupun di perantauan tetap konsisten sebagai republik: 100 Persen Republik. Merdeka!
***


Pahlawan Nasional asal Mandailing dan Angkola yang berjuang di berbagai bidang dan di berbagai tempat di Indonesia:

1. Tuanku Tambusai (Tuanku Haji Muhammad Saleh Harahap), 1784-1882
2. Zainul Arifin (Kiai Haji Zainul Arifin Pohan), 1909-1963
3. Adam Malik (H. Adam Malik Batubara), 1917-1984
4. A.H. Nasution (Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution), 1918-2000
5. Masdoelhak (Mr. Masdoelhak Nasution, PhD), 1912-1948

Tokoh lain asal Mandailing dan Angkola yang layak menjadi Pahlawan Nasional:

1. Willem Iskander (1840-1876)
2. Dja Endar Moeda (1860-1926)
3. Soetan Casajangan Harahap (1875-1930)
4. Radjamin Nasoetion (1892-1957)
5. Parada Harahap (1898-1959)
6. Gele Harun Nasution (1910-1975)--sedang proses di Lampung
7. Amir Sjarifoeddin Harahap (1905-1948)
8. GB Josua Batubara (1901-1970)
7. Ida Nasution (1922-1948)
9. Abdul Hakim Harahap (1905-1961)
10. Mochtar Lubis (1922-2004)
11. Mangaradja Soangkoepon Siregar
12. Madong Lubis
13. Gindo Siregar
14. Sanusi Pane
15. Soetan Goenoeng Moelia Harahap
16. Yahya Malik Nasution
17. Sakti Alamsjah Siregar
18. Zulkifli Lubis
19. Marah Halim Harahap
20. SM Amin Nasution
21. Abdullah Lubis
22. dan lainnya   


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

"..Maju Terus Pantang Mundur.."

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Pasukan Benteng Huraba yang legendaris