Selasa, September 22, 2015

Sejarah Kota Medan (2): Ibukota Deli Pindah ke Medan; Pembangunan Kota dan Peran Besar Deli Maatschappij



J. Nienhuys di Deli dengan kuda Batak, 1865
Pada tahun 1879  berdasarkan beslit tanggal 28 Juni 1879 nomor 12 ibukota Asisten Residen Deli pindah dari Laboean Deli ke Medan. Pada saat perpindahan ini, lokasi ibukota yang ditetapkan bukanlah ruang kosong, tetapi suatu area yang awalnya adalah suatu kampong benama Medan Poetri, yang kini menjadi lokasi dimana pusat aktivitas perusahaan perkebunan (plantation), Deli Maatschappij (DM). Siapa yang menjadi penghuni kampung Medan Poetri ini pada saat DM memulai aktivitas tabakskultuur (budidaya tembakau) dapat dibaca pada artikel kedelapan Sejarah Kota Medan (dalam blog ini)..

Pada tahun 1865, secara de jure, seorang controleur ditempatkan di Laboehan Deli. Selama berkedudukan di Laboehan Deli, controleur didukung oleh tiga sersan dan enam kopral polisi yang dibantu oleh 80 orang Melayu.  Pada tahun ini juga, J. Nienhuys, seorang Belanda tiba di Deli dan menuju ke Medan Poetri dan membuka perkebunan tembakau (persis di sisi timur pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baboera). Pada tahun ini juga kuli Cina mulai didatangkan. Sukses perkebunan tembakau mengakibatkan sejumlah investor Eropa berdatangan.

Inilah sebuah keajaiban yang terjadi di Deli, Nienhuys telah memicu segalanya. Hal yang sama terjadi sebelumnya di Mandheling en Ankola, yang mana Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar tahun 1857 berangkat studi ke Belanda (orang pribumi pertama studi ke Negeri Belanda). Sati Nasoetion yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander (diambil nama dari Radja Willem) setelah mendapat akte guru tahun 1861 pulang ke kampung halaman dan mendirikan sekolah guru tahun 1862 di Tanobato (Mandheling en Ankola). Willem Iskander telah memicu segalanya [kelak di Bataklanden (Silindoeng en Toba) dengan kehadiran Nommensen].

Nienhuys meningkatkan usahanya dengan mendirikan NV. Deli Maatschappij pada tahun 1869 dengan saham separuh Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Tahun ini juga tahun dimana Terusan Suez dibuka. Tidak lama (dalam 10 tahun), pada tahun 1875 status controleur di Laboehan Deli ditingkatkan menjadi Asisten Residen, sementara di onderafdeeling Medan ditempatkan seorang controleur. Sebelum controleur ditempatkan di Medan, sudah terlebih dahulu dibangun sebuah garnisun militer (pindahan dari Laboehan Deli).

Namun yang jelas, pada tahun 1879 di sekitar kampong ini jumlah bangunan modern/Eropa lambat laun semakin bertambah. Sejak 1875 kampung ini tumbuh dan berkembang, seiring dengan dibangunnya sebuah garnisun, dan penempatan seorang controleur di Medan (Poetri). Sejak 1875, sebutan tempat, lebih kerap ditulis Medan daripada Medan Poetri.

Hal yang sama pernah terjadi pada nama kampung Sidimpoean. Ketika controleur Ankola pertamakali ditugaskan, rumah dan kantor yang dibangun adalah di dekat kampung Sidempuan (sebelumnya sudah terlebih dahulu ada garnisun pindahan dari Pijorkoling). Lalu nama yang kerap disebut selanjutnya menjadi Sidempoean dan kemudian didepannya ditambahkan kata Padang sehingga menjadi Padang Sidempoean. Besar kemungkinan pejabat pemerintah pertama di suatu tempat (seperti kampung Sidimpoean dan kampung Medan Poetri) melakukan penyesuaian dengan lidah Eropa, kebutuhan praktis administrasi serta nomenklatur (dokumen dan peta). Kemiripan lainnya, antara (Padang) Sidempuan dengan Medan (Poetri) adalah soal posisi dimana lokasi garnisun: Garnisun Padang Sidempuan berada diantara (dan tidak jauh dari) pertemuan dua sungai, yakni Sungai Batang Ajoemi dan Batang Angkola, sedangkan garnisun Medan berada diantara (dan tidak jauh dari) pertemuan dua sungai, yakni: Sungai Baboera dan Sungai Deli.Secara teknis posisi serupa itu sudah menunjukkan fungsi pertahanan (benteng alam). . 

Kondisi Awal Kota Medan

Rumah Asisten Residen di Medan, 1879 (kini lokasi kantor PTP)
Pada tahun 1879 bangunan termewah yang ada di Medan adalah rumah (huis) kepala administratur dari NV. Deli Maatschappij. Rumah ini sudah sering digunakan oleh Asisten Residen di Bengkalis ketika berdinas di Deli. Rumah inilah yang ditawarkan oleh para Planter yang menjadi rumah asisten residen atau residen jika Medan ditetapkan sebagai ibukota. Bangunan modern lainnya di Medan adalah komplek garnisun, kantor controleur dan selebihnya adalah bangunan-bangunan yang dimiliki oleh Deli Maatschappij yang telah difungsikan sebagai tempat layanan kesehatan, pendidikan, mes dan lainnya.

Hotel Deli di Laboehan Deli
Hotel sendiri baru ada di Laboehan Deli (Hotel Deli). Laboehan Deli sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan dan juga pelabuhan ekspor, sudah jauh lebih ramai karena di kota tersebut berada sejumlah kantor cabang dari berbagai plantation di Deli dan Langkat dan kantor-kantor perusahaan dagang (ekspor-impor).

Rumah Sakit Deli Maatshappij di Medan
Dalam sebuah artikel pada Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad edisi 14-08-1879 disebutkan bahwa penduduk Deli terdiri dari uit Maleieis, en verder uit Bataks, Atjeneezen, uenige Javanen, Boegineczen en Chineezen. Para penduduk (komunitas) ini masih hidup sederhana dengan bangunan tempat tinggal bersahaja. Sebaliknya, lahan-lahan konsesi perkebunan, Planter berasal dari Eropa, yang terdiri dari Perancis, Inggris, Jerman, Swiss, dan lainnya serta tentu saja Belanda. Di dalam kebun sendiri, pekerja sudah banyak yang didatangkan dari berbagai tempat yang disebut kuli Cina dan sebagian kecil kuli dari Jawa (Bagelen/Poerworedjo)). Kedudukan Asisten Residen dan Sultan berada di Laboehan Deli.

Sungai Deli di Medan (1876)
Di Medan sendiri yang menjadi tempat yang ditentukan sebagai ibukota, lanskapnya bertopografi datar yang disana-sini masih banyak ditemukan semak dan hutan, jalan-jalan tanah yang buruk dan berlumpur di kala hujan, dan tergenang di waktu banjir, yang mana Sungai Deli dapat meningkat debit air setinggi lima meter yang menyebabkan genangan terjadi dimana-mana. Di sekitar Medan ini, selain penduduk pribumi seperti berbagai etnik yang disebut sebelumnya, terdapat sebanyak 10.000 orang yang bekerja di berbagai unit bisnis Deli Maatschappij. Jika mengacu pada laporan tahun 1875, kuli Cina diperkirakan sebanyak 6.000-7.000 orang di berbagai plantation, maka para pekerja di berbagai perusahaan perkebunan (semua unit) adalah perpaduan yang dapat disebut penduduk lokal (Melayu, Batak, Atjeh) dan kuli yang didatangkan (Cina dan Jawa).

Sebelum ditetapkan perpindahan ibukota ini, didahului oleh suatu ‘negosiasi’ antara Sultan Deli dengan Gubernur Jenderal. Dalam hal ini, Sultan diundang ke Batavia. Untuk menyatakan niat baik, Sultan berangkat ke Batavia dengan membawa hadiah empat kuda asal Tanah Batak (kuda terbaik di Nederlansch Indie). Sepulang dari Batavia, Sultan cukup puas karena selama kunjungan juga diberi kesempatan melihat beberapa tempat penting di Java. Rumah dan mesjid sudah dihias dengan semarak dan di pelabuhan, dari kapal naik sekoci ke pantai dan disambut dengan sangat meriah sebelas tembakan dari kapal dan disambut oleh Asisten Resieden dan komandan militer berpangkat mayor serta kerumunan rakyat yang terdiri dari Maleiers, Bataks, Clingen, Chineezen en Atjeneezen.

Dengan ditetapkannya Medan sebagai ibukota Deli, maka area Medan ibarat magnit yang akan menarik berbagai elemen yang sudah ada di Deli menjadi pusat pertumbuhan penduduk, pusat perkembangan bisnis, pusat perdagangan (komoditi utama: tembakau) dan menjadi pusat-pusat layanan strategis. Urbanisasi akan cepat terjadi.

Afdeeling Deli adalah salah satu afdeeling di Residentie Oostkust van Sumatra yang beribukota di Bengkalis (Tebing Tinggi). Residentie ini dimekarkan afd. Siak Sri Indrapoera, Residentie Riaouw. Residentie Oostkust van Sumatra meliputi meliputi afd. Bengkalis, Laboehan Batoe, Asahan, dan Deli. Residen berkedudukan di Bengkalis (Tebing Tinggi), Asisten Residen di Deli dan afdeeling lainnya masih setingkat controleur. Ketika status controleur  di tingkatkan menjadi asisten residen di Deli yang berkedudukan di Laboehan Deli 1875, seorang controleur ditempatkan di onderafdeeling Medan. Pada tahun 1879, Asisten Residen berkedudukan di Medan dan controleur di Laboehan Deli (tukar tempat). Disamping itu di Langkat juga telah ditempatkan seorang controleur.   

Asisten Resident mulai bekerja di ibukota yang baru ini. Pekerjaan pertama adalah melakukan perpindahan itu sendiri. Rumah yang berada di Soeka Moelia, pemberian Deli Maatschappij akan menjadi rumah sementara kediaman Asisten Residen. Pembangunan jalan menjadi prioritas utama, yakni: Laboehan Deli (dan pelabuhan Belawan) ke Medan dan dari Medan ke Timbang (Bindjei) dan Deli Toea.

Dalam memulai pemerintahan di Medan ini, pemerintah akan membutuhkan anggaran besar. Sepintas tampaknya pemerintah tidak terlalu khawatir. Hasil ekspor tembakau Deli sejak tahun 1875 hingga 1878 telah meningkat (hampir tiga kali lipat). Pada tahun 1875 tercatat sebanyak 11.831 pak yang setara dengan f 2.650.000, tahun 1876 sebanyak 15.355 pak (f 3920.700), tahun 1877 sebanyak 29.031 pak (f 6.504.000) dan tahun 1878 sebanyak 35.967 (f 6.721.000). Pendapatan pemerintah sebelumnya (1878) sebesar f 535 000 dari ekspor dan f 145.000 dari impor plus pendapatan dari pos f 6.000. Untuk proyeksi pendapatan tahun 1879 ditaksir dapat mencapai satu juta gulden. Namun bagian pendapatan yang dialokasikan untuk pemerintahan tidak sepenuhnya untuk pembangunan fisik (jalan jembatan dan bangunan fasilitas pemerintah lainnya) tetapi juga untuk gaji dan lainnya termasuk gaji para pimpinan-pimpinan pribumi.

Sultan sendiri selama ini menerima gaji sebesar f 40.000 per tahun. Tentu saja jumlah gaji Sultan ini cukup besar jika dibandingkan di tempat lain, bahkan dengan Sultan Siak sendiri. Penentuan besaran gaji selalu mempertimbangkan pendapatan pemerintah dan kinerja para pimpinan pribumi. Di Mandheling en Ankola tidak ada sultan, tetapi para pemimpin masyarakat adat yang diangkat pemerintah sebagai koeria. Gaji seorang koeria pada tahun 1871 hanya antara f 650 hingga f 960 per tahun dengan total keseluruhan koeria sebesar f 28.800 per tahun.

Titik Nol Medan: Esplanade, 1881 (kini Lapangan Merdeka)
Namun pembangunan kota baru ini (Medan), bukanlah pembangunan kota sekelas Kota Padang Sidempuan. Pembangunan kota Medan adalah sebuah project masa depan yang dapat diproyeksikan dan bersifat radikal. Kecepatan tumbuhnya dapat diprediksi. Ini berbeda dengan pembangunan kota-kota lain di Nederlansche Indie seperti Padang, Semarang, Soerabaija, Bandoeng. Kota Medan telah dikelilingi oleh perusahaan-perusahaan besar, perusahaan jangka panjang. Perusahaan-perusahaan inilah yang akan memicu pertumbuhan kota ke depan dan secara kontinu terus memperkaya kota. Perusahaan-perusahaan itu pula yang akan menarik dan menjadi daya tarik penduduk berdatangan dari berbagai tempat. Paling tidak di Medan dan sekitarnya tumbuh dan berkembang lapangan kerja baru. Secara teknis, akan dibutuhkan tenaga-tenaga terdidik dan profesional-profesional untuk memenuhi tuntutan sebuah kota yang tengah tumbuh dan berkembang.

Dua wilayah terdekat Deli yang sudah sejak lama siap untuk itu adalah Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli (Mandheling en Ankola). Dua wilayah ini telah lama mengirimkan guru-guru dan penulis-penulis ke Atjeh, Bengkulen, Djambi dan Riaou. Pegawai-pegawai pribumi di Riaou (era Siak Sri Indrapoera) hingga Bengkalis (era Sumatra van Oostkust) banyak yang berasal dari Fort de Kock dan Padang Sidempuan. Oleh karenanya, ibukota Sumatra van Oostkust sudah satu kaki berada di Deli dan satu kaki lagi masih tertinggal di Bengkalis. Hanya soal menunggu waktu kapan Medan menjadi ibukota Residentie Sumatra van Oostkust.

Migran dari Tapanoeli (Mandheling en Ankola) dan Minangkabouw sudah sejak lama menuju semenanjung karena perang Padri (via darat) dan karena pemberontakan terhadap ketidakadilan pemerintah Belanda di Padangsche dan Tapanoeli (via laut). Jalur laut adalah melalui Sibolga, Singkel, Sabang ke Penang terus ke Selangor dan Negeri Sembilan (di bawah pemerintahan kolonial Inggris). Migrasi itu terus mengalir meski situasi dan kondisi sudah lebih damai karena kehidupan lebih baik di Semenanjung Malaya. Dengan adanya perubahan besar di Deli, migran ini pada dasarnya telah memutar haluan dan berlabuh ke Laboehan Deli lalu menuju Medan. Migran spontan dari Tapanoeli khususnya Mandheling en Ankola yang sudah menerima pendidikan modern (baca tulis dalam bahasa Melayu dan sedikit-sedikit bahasa Belanda dalam aksara latin), akan mudah terserap di industri perkebunan di Tanah Deli). Pada berikutnya migran Mandheling en Ankola akan mengisi kebutuhan tenaga-tenaga guru, dokter, djaksa, polisi dan sebagainya baik yang datang mellui Mandheling en Ankola maupun yang langsung dari Batavia.

Hotel Deli juga membangun di Medan 1879
Di Medan sendiri, setelah menjadi ibukota baru, perusahaan-perusahaan perkebunan terus tumbuh (jumlah perusahaan semakin bertambah) dan terus berkembang (perusahaan tidak hanya fokus pada komoditi tembakai saja). Hal yang paling mudah diduga terjadi adalah ketersediaan hotel. Pada tahun 1879 di Medan sudah berdiri Deli Hotel yang mana pengusaha hotel ini sebelumnya hanya beroperasi di Laboehan Deli.

Untuk kebutuhan moda transportasi kereta mulai dioperasikan oleh Deli Maaatschappij dengan mendirikan anak perusahaan yang diberi nama Deli Spoor Maaatschappij (DSM). Pada tahun 1878 perusahaan ini sudah merintis spoor untuk kebutuhan sendiri (dan tengah menunggu untuk mendapat lisensi dari Batavia untuk operator tunggal). Jalur kereta api yang mendampingi jalan darat sebelumnya akan selesai pembangunannya pada tahun 1886: Laboehan Deli, Medan, Deli Toea dan Timbang.

Membangun rel kereta api di Medan, 1876
Pemerintah dan swasta bahu membahu membangun kota Medan. Dalam membangun kota ini sudah dirancang sedemikian rupa dimana fasilitas akan dibangun. Bangunan-bangunan yang sudah ada sebelumnya di era controleur, seperti rumah controleur, garnisun dan kantor post mengalami relokasi. Kini, di era Asisten Residen, pusat pemerintahan ditetapkan sebagai titik nol dalam pengembangan wilayah kota. Titik nol ini Kantor Asisten Residen yang di depannya menyediakan ruang terbuka umum yang kemudian disebut Esplanade (kini Lapangan Merdeka).

Pada tahun 1881 terjadi perubahan pemerintahan di Deli. Selain sudah terdapat controleur di Medan, Langkat (Tandjoengpoera) dan Laboehan Deli serta Serdang, juga ditempatkan seorang controleur di onderafdeeling Tandjoeng Djati (Bindjei) dan Tamiang. Dalam pemerintahan juga kemudian tahun 1881 dimasukkan dalam pemerintahan dari kalangan Tionghoa di Sumatra van Oostkust termasuk kapten di Medan dan Laboehan Deli;  letnan di Medan, Laboehan Deli, Tandjongpoera, dan sersan Cina di Tandjong Djati dan Serdang (Rantau Pandjang).

Witte Societeit, 1879
Pada sisi-sisi lapangan ‘aloon-aloon’ ini dibangun sejumlah fasilitas, seperti kereta api (rel dan peron), hotel (Vink Hotel di sisi utara, Medan Hotel di sisi timur, Hotel de Boer di sisi barat aka menyusul kemudian,1898). Di sisi selatan terdiri dari bangunan-bangunan pemerintah seperti kantor Asisten Resident, lokasi baru garnisun. Fasilitas pemerintah lainnya seperti kantor pertemuan masyarakat (Witte Societeit, 1886) di sisi barat. Di seputar Esplanade ini kemudian bermunculan pemukiman-pemukiman baru selain pemukiman lama yang sudah ada sebelumnya seperti perkampungan Tionghoa. Di luar itu ada tiga titik penting yang lain: Belawan di dekat Laboehan Deli sebagai pelabuhan, Timbang dan Deli Toea.

Fasilitas lainnya yang muncul kemudian adalah kantor pos (1882), sehingga di Deli terdapat dua kantor pos (sebelumnya sudah ada di Lanoehan Deli). Kantor pos Medan ini akan memberi layanan pos antara Laboehan Deli dan Medan. Kantor pos ini didirikan di sebelah kantor pertemuan masyarakat (Witte Societeit). Dalam tahun ini juga berdasarkan Staatsblad 18 tahun 1882 yang mengistruksi departemen PU menerima anggaran pembangunan jalan di kota-kota (antara lain): Buitenzorg, Semarang, Medan, Padang Sidempoean. Pada tahun 1885 surat kabar pertama diterbitkan di Medan yaitu Deli Courant. Untuk layanan kesehatan sendiri baru ditangani oleh dua dokter, satu dokter militer dan satu dokter DM yang masing-masing juga membuka praktek dokter di luar dinas.


***
Deli Maatschappij telah memainkan peran yang penting dalam ‘penetapan’ ibukota dan ‘mengatur’ pembangunan Medan sebagai kota masa depan. Secara teoritis (alamiah), kota-kota besar di Nederlansch Indie yang bermula di pantai kemudian berkembang ke belakang (pedalaman), seperti Batavia, Semarang, Soerabaija, dan Padang.  Untuk Medan adalah kekecualian. Penetapan Medan sebagai kota dan ibukota cenderung bersifat konspiratif.

Sebelum ditetapkan ada relasi-relasi yang terkait satu sama lain: antara Nienhuys (Deli Maatschappij) dengan Sultan Deli, antara pemerintah (Asisten Residen) dengan Deli Maatshappij dan dengan Sultan Deli, antara pemerintah (Residen) dengan Sultan Siak dan antara Sultan Deli dengan Sultan Siak. Kemudian, antara Deli Maatschappij (Belanda) dan perusahaan lainnya yang non Belanda (utamanya Inggris di Langkat) serta antara Sultan Deli (Melayu) dengan penduduk Batak.

Konspirasi antara Deli Maatschappij dengan Asisten Residen di Laboehan Deli, Residen di Bengkalis dan Gubernur Jenderal di Batavia sangat kuat. Namun itu sangat dilematis bagi pemerintah karena ada relasi antara Sultan Deli dengan Sultan Siak sebelumnya. Sultan (Siak) masih mengganggap (Sultan) Deli di bawah kekuasaan tradisionalnya, sebaliknya Sultan Deli menganggap Sultan Siak adalah masa lalu. Sultan Deli ingin melihat masa depan Deli bersama yang lain. Sultan Deli menganggap kolaborasi dengan penduduk Batak yang lebih dekat akan lebih produktif jika dibandingkan dengan sesama Melayu nun jauh di Siak dan Bengkalis. Inilah saatnya Deli ingin mengungguli Siak.

Boleh jadi area sikitar Medan Poetri selama ini secara defacto adalah wilayah abu-abu (grey area). Di wilayah ini sulit dipahami siapa mendesak siapa. Boleh jadi MOU Sultan Deli dengan Gubernur Jenderal di Batavia perpindahan ibukota juga satu paket dengan akan dipindahankannya istana Deli di Laboehan Deli ke Medan. Secara teoritis (alamiah) perpindahan istana juga tidak lazim. Istana selalu menyatu dengan tanah (sakral) dimana bangunan itu didirikan. Untuk urusan perpindahan istana, pemerintah sangat siap (ini juga tidak lazim). Namun pemerintah memiliki perhitungan sendiri: Tanah Deli sangat prospektif (game theory kolonial tetap berlaku).

Deli, Langkat, Serdang dan Tamiang, 1873
Konspirasi terus berlanjut, ketika Sultan Deli menghadap Gubernur Jenderal di Batavia, hadiah utama yang dibawa adalah empat kuda Batak (kuda terbaik di Nederlansch Indie). Ini boleh jadi sebuah simbol kepada dua sisi: kolaborasi dengan penduduk Batak dan pemisahan dengan Melayu di Siak dan Bengkalis. Pemisahan Siak dan Bengkalis dengan Deli (yang memiliki hubungan tradisi), berbeda dengan sebelumnya pemisahan Mandheling en Ankola (Tapanoeli) dengan Residentie Air Bangies (bersifat independent). Ketegangan yang timbul pemisahan Deli dan Siak Bengkalis bukan hanya soal hubungan tradisi (siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai dalam sistem aristokrasi), tetapi lebih pada soal fulus. Selama ini, Siak hanya melihat di Pantai Timur Sumatra hanya ada satu matahari. Sementara rumor yang berkembang, dalam dekade terakhir, Deli menjadi lebih makmur daripada Bengkalis, dan Sultan Deli sudah jauh lebih kaya daripada Sultan Siak sendiri (gaji Sultan Deli jauh lebih tinggi dari gaji Sultan Siak). Rumor pemindahan ibukota residentie ke Medan di Deli, oleh para sultan-sultan di Siak (Riaouw) terutama di Bengkalis dianggap sebagai isyarat Deli akan lebih diperhatikan dan Bengkalis/Riaouw mulai diabaikan (tidak ditemkan irfomasi apa isi perjanjian antara Sultan Siak dengan otoritas Belanda pada tahun 1858 dengan para sultan-sultan di Laboehan Batu, Asahan, Batoebara dan Deli). [Ketegangan ini tidak ditemukan ketika Mandheling en Ankola meninggalkan Air Bangies, ketika Singkel meninggalkan Tapanoeli dan ketika Tamiang meninggalkan Deli di Sumatra van Oostkust yang dimasukkan ke Atjeh].

Konspirasi (ketegangan) juga muncul pada relasi yang lain. Deli Maatschappij bukan berarti nyaman. Deli Maatschappij memang telah memainkan peran dalam perpindahan ibukota, dan bermimpi akan membangun kota. Deli Maatschappij akan menarik keuntungan dalam hal ini, unit-unit bisnisnya akan lebih berkembang (paling tidak Deli Spoor Maatschappij anak perusahaan Deli Maatschappij sudah dibentuk). Apa yang akan diperoleh Deli Maatschappij akan menjadi sumber ketegangan dengan perusahaan-perusahaan lain yang bukan perusahaan Belanda. Perusahaan Inggris juga cukup dominan, terutama di wilayah Langkat. Hubungan Belanda dan Inggris selalu terjadi pasang surut. Semenanjung dan Singapore di bawah kekuasaan Inggris didominasi oleh perusahaan-perusahaan Inggris.

Deli, 1883
Pemerintah kolonial Belanda dalam hal ini pada intinya menganggap Deli sebagai multi sisi. Ke sisi luar, membangun hegemoni Deli dimaksudkan untuk mengimbangi hegemoni Inggris di Tanah Semenanjung (diantara negara kolonial juga ada kompetisi). Ke sisi dalam, masih ada persoalan lama yang masih tersisa: kekuatan perlawanan di afd. Bataklanden (Silindoeng dan Toba) dan afd. Atjeh (Tamiang sudah masuk afd. Deli). Membangun ekonomi Deli adalah juga membangun kekuatan militer di Deli. Peran militer yang dikonsentrasikan di Deli (Medan) pada waktunya akan memberikan kontribusi dalam Perang Toba dan Perang Atjeh. Peningkatan kekuatan militer ini juga dapat dianggap suatu indikasi bahwa pemerintahan sipil akan lebih diperkuat untuk memisahkan 'hubungan manis' antara para Planter dengan Sultan dan memperkuat positioning Deli Maatschappij. Tidak ada istilah terlambat bagi Batavia untuk hadir di Deli. Kini di Deli, pemerintahan sudah mulai meluas: selain Asisten Residen di Medan, juga terdapat empat controleur di Serdang, Langkat Hulu (Timbang/Bindjei), Langkat Hilir (Klambir/Tanjoengpoera) dan Tamiang.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-10-1882 melaporkan bahwa konsesi pembangunan dan operasi kereta api Laboehan Deli ke Medan dan Delitor serta cabang ke Timbang (Langkat) di residentie Sumatra's Oostkust telah diberikan kepada Deli Maatschappij dengan modal awal dua juta pada saat registrasi di Batavia. Konsesi ini tertuang dalam beslit no 23 tahu 1883.

Sumatra van Oostkust, Nedcrlandsch-Oostindisch California

Kepindahan ibukota ke Medan, lambat laun pemerintah mulai dapat mengatasi diri sendiri, mulai dari bangunan kantor, pembangunan penjara batu, kamp militer dan barak, kantor pos. Kualitas bangunan pemerintah selalu kalah jauh dari bangunan swasta. Pemerintah seakan-akan berada di tengah ‘anak tiri’ yang kaya-kaya. Anak kandung sendiri hanya ada di Bengkalis, dua hari perjalanan dengan steamboat. Upaya pengadaan kereta api telah dirintis (pengukuran, land clearing dan pemasangan rel) oleh Deli Mij untuk memudahkan angkutan komoditi dan orang yang selama ini sangat buruk (berdebu di musim kemarau, berlumpur di musim hujan). Deli Mij juga mulai merintis telegraf. Deli Mij juga membuka toko untuk berbagai kebutuhan (tidak hanya untuk para karyawannya, tetapi juga seluruh orang Eropa di Deli dan Langkat). Kebijakan perdagangan ritel bagi Deli Mij lebih daripada sekadar mengisolasi agresivitas pedagang Tionghoa dan praktik rentenir.

Masalah yang belum teratasi adalah penyediaan rumah sakit dan sekolah. Meski sudah ada dua dokter di Medan, satu dokter militer dan satu dokter Deli Mij, namun itu hanya baru bisa mencakup orang-orang Eropa (sebagaimana selama ini). Dokter pertama yang hadir di Medan adalah dokter yang bekerja untuk Deli Mij, bagian dari layanan Deli Mij, dokternya disediakan villa sendiri yang di ekatnya terdapat apotik yang dikelola dengan baik dan juga tidak jauh dari tempat dokter terdapat rumah sakit yang menjadi milik Deli Mij.

Dengan kehadiran pemerintah tentu saja layanan juga harus mencakup penduduk pribumi. Dengan dua dokter yang ada jelas tidak memadai dan kedua dokter tersebut hanya terbatas pada orang-orang Eropa. . Ada usul pada tahun 1883 untuk merekrut dokter alumni Docter Djawa School yang dapat diposisikan sebagai asisten dokter yang ada. Kebutuhan itu tampaknya sangat mendesak, mengingat baru-baru ini pernah berjangkit kolera di empat perusahaan secara bersamaan di Deli. 
Di Mandheling en Ankola sebelumnya, sekitar tahun 1860an awal pernah beberapa kampung terjangkit kolera, namun dengan cepat tertangani oleh dokter Belanda dan dua dokter pribumi, alumni Docter Djawa School. Dua dokter pribumi tersebut adalah Dr. Si Asta dan Dr. Dja Bodie. Kedua dokter ini kebetulan asli.anak Mandheling en Ankola. Docter Djawa School adalah sekolah kedokteran cikal bakal STOVIA yang dibuka pada tahun 1851. Pada tahun 1854, dua siswa asal Mandheling en Ankola bernama Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia (kedua siswa ini adalah siswa yang pertama yang diterima dari luar Djawa). Si Asta dan Si Angan lulus tahun 1856. Kemudian menyusul dua siswa lagi dari Mandheling en Ankola lalu lulus pada tahun 1859. Kedua dokter baru itu adalah Dr. Si Toga gelar Dja Dorie dan Dr. Si Napang gelar Dja Bodie. Dr. Asta dan Dr. Dja Bodie ditempatkan di Mandheling en Ankola, sedangkan Dr. Angan dan Dr Dja Dorie ditempatkan di luar Mandheling en Ankola. Selanjutnya secara reguler, siswa-siswa asal  Mandheling en Ankola direkrut untuk studi di Docter Djawa School.  . 
Untuk menyediakan sekolah di Deli belum terlaksana. Anak-anak Eropa sendiri sudah mulai bertambah banyak, tidak hanya di Medan, Deli, juga sebagian di Atjeh. Ada sebelas anak-anak Eropa di Bengkalis, seandainya pada waktunya ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan ke Medan. Sekolah Eropa (untuk anak-anak Belanda) yang terdekat baru ada di Padang Sidempuan (Tapanoeli). Di Deli, untuk sekolah bagi pribumi belum terpikirkan. 
Pada tahun ini, 1883, di Mandheling en Ankola melakukan wisuda pertama sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan. Sekolah guru ini mulai menerima siswa pada tahun 1879/1880 dengan kapasitas 25 siswa. Diantaranya tiga siswa dari Silindoeng eks murid Nommensen tetapi dikabarkan tidak selesai karena ketiganya sakit pada waktu yang berbeda-beda. Direktur Kweekschool Padang Sidempuan adalah Charles Adrian van Ophuijsen (nama yang lebih dikenal sebagai penyusun tatabahasa dan ejaan melayu Ophuijsen). Siswa-siswa yang diterima sangat selektif, selain test kemampuan akademik juga dikombinasikan dengan kemampuan ekonomi orangtua. Umumnya siswa-siswa yang diterima adalah anak-anak atau kerabat dari para koeria dari berbagai tempat di Mandheling en Ankola, karena mereka adalah yang mampu membiayai siswa sekolah (uang sekolah dan keperluaan belajar, pemondokan, dan biaya hidup sehari-hari). Dalam wisuda pertama ini bernama Si Saleh yang kelak lebih dikenal sebagai Dja Endar Moeda.Ini berarti Mandheling en Ankola memulai lagi babak baru u8ntuk menghasilkan guru-guru berkualitas. Sebelum Kweekschool Padang Sidempuan dibuka (1879) jauh sebelumnya Kweekschool Tanobato yang didirikan Willem Iskander tahun 1862 telah benyak menghasilkan guru, namun sekolah guru ini ditutup tahun 1875 karena Willem Iskander berangkat lagi ke Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah (namun Willem Iskander tidak kembali, karena meninggal di Belanda tahun 1876).
1876: Ini bukan Los Angeles, Bung!
Deli semakin banyak dibicarakan, publisitasnya semakin kencang. Yang meliput sudah hampir semua koran, selain koran-koran yang terbit di Jawa, juga koran yang terbit di Padang. Sumatra Courant yang terbit pertama kali tahun 1862 di Padang cukup intens mengabarkan dan mengulas perkembangan situasi dan kondisi di adf. Deli, Sumatra’s Oostkust. koran lokal di Medan berbahasa Belanda, Deli Courant (diterbitkan Deli Mij) tidak sampai ke Sumatra’s Westkust, tetapi Sumatra Courant, koran Sumatra’s Westkust yang juga beredar luas di Tapanoeli sirkulasinya sudah lama sampai di Medan. Koresponden Sumatra Courant sudah sejak lama mangkal di Laboehan Deli dan Medan. Meski Sumatra’s Oostkust dan Sumatra;s Westkust bagai dua sisi koin, tetapi secara moda transportasi cukup jauh. Belum ada moda transportasi darat, dari Sumatra’s Westkust (termasuk Tapanoeli) untuk menuju Medan di Deli harus melalui dua jalur: (1) Padang, Sibolga, Singkel, Sabang dan Pidie dan Belawan, Laboehan Deli dan Medan, (2) Sibolga, Padang, Bengkulen, Telok Betong, Batavia dan kemudian dilanjutkan ke sisi timur Sumatra, Muntok, Singapore, Malaka dan Belawan.

1876: Ini benar-benar di Laboehan Deli, Bung!
Singkat cerita (seorang wartawan Sumatra Courant yang berkunjung ke Deli menurunkan laporannya pada Maret 1883): Pada awal tahun 1880an, Tanah Deli bagaikan California yang mana Medan adalah Los Angeles. Kehidupan penduduk lokal (pribumi) dan timur asing (kuli Cina) dan petualang dari Eropa barat bertemu di Deli bagaikan Wild West (California). Ada kuda, ada gerobak tarik, ada bandit (terutama kuli Cina) ada pemabuk (terutama Clingen) yang kerap mengacaukan keadaan dan tidak segan-segan merampok dan membunuh orang kaya, ada sejumlah insinyur dengan kuli Cina yang tengah mengukur, land clearing dan pemasangan rel; banyak Planter (Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan lainnya) dengan senjata di pinggang yang memiliki kebun-kebun yang luas, rumah di tengah halaman yang luas yang didiami seorang istri Eropa dan anak-anaknya yang setia menunggu suami pulang dari ladang tembakau (perpaduan kekayaan dan kebahagiaan). Kehadiran pemerintah dan militer belum sepenuhnya menyentuh setiap sudut-sudut plantation yang jumlahnya sudah mencapai 70-100 planter. Dollar yang beredar dalam bentuk gulden dan pounsterling. Deli, Langkat, Serdang di Sumatra van Oostkust bagaikan Nedcrlandsch-Oostindisch California.




Bersambung:


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap. Semua bahan berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe (koran-koran berbahasa Belanda). Foto bersumber dari KITLV.

Tidak ada komentar: