Jumat, Oktober 09, 2015

Sejarah Kota Medan (6): Anak-Anak Padang Sidempuan 100 Persen Republik dan Peran Mereka dalam Indonesia Merdeka




Djabangoen (1931)
Orang Padang Sidempuan di Kota Medan, sesungguhnya sudah sejak lama ada. Bahkan orang-orang Padang Sidempuan sudah ada sejak didirikannya Deli Maatschappij (1869). Pionir perusahaan tembakau inilah yang menjadi pemicu munculnya kota Medan. Ini berawal dari pusat aktivitas Deli Mij, yang berada persis di tengah area kampung Medan Poetri, ciri perkampungan sebagai awal lambat laun berubah menjadi ciri perkotaan (urban) yang pada berikutnya muncul sebuah kota (town). Nama asal Medan Poetri lambat laun lebih populer disebut Medan (menjadi suatu nomenklatur).

‘Kota’ Medan pada awalnya adalah sebuah tempat dengan ciri perkotaan (town) yang terdiri dari sejumlah fasilitas dari perusahaan perkebunan tembakau Deli Maatschappij. Fasilitas tersebut terdiri dari beberapa bangunan kantor Administratur, bangunan untuk fasilitas kesehatan (rumahsakit dengan seorang dokter bangsa Belanda), bangunan untuk fasilitas pendidikan bagi anak-anak para kuli (sekolah dengan guru-guru yang didatangkan dari Mandheling en Ankola), bangunan untuk berbagai outlet kebutuhan sehari-hari, bangunan gudang dan bangunan pengolahan tembakau, bangunan mes untuk tamu dan bedeng-bedeng yang diperuntukkan untuk para kuli (dan keluarganya).

Ketika Medan, sebuah kampung; Padang Sidempuan, sebuah kota
Jalan setapak yang menghubungkan kota Laboehan Deli dengan kampung Medan Poetri lambat laun semakin diperlebar sehubungan dengan semakin tingginya intensitas pemanfaatan jalan darat untuk menggantikan jalan sungai yang tidak praktis lagi. Jalan ini semakin ramai, dan kota Medan ‘ala’ Deli Mij ini juga dijadikan para planter lain (tetangga Deli Mij) sebagai tempat persinggahan (beristirahat atau bermalam) dari dan ke area kebun masing-masing. ‘Kota’ Deli Mij ini menjadi sangat penting ketika terjadi pemberontakan kuli di perkebunan Soengai Pertjoet (empat jam perjalanan dari kota Medan yang mana pos militer yang awalnya berada di kota Laboehan Deli dipindahkan ke kota Medan agar lebih dekat dengan TKP. ‘Kota’ Medan lalu menjadi satu-satunya wilayah paling aman di Deli, lebih-lebih satu detasemen militer yang didatangkan untuk mengatasi pemberontakan tidak kembali tetapi justru menetap dan awal dibangunnya garnisun militer di Medan. Lalu kemudian menyusul ditempatkannya seorang controleur (sipil) di kota Medan (1875). Tidak lama kemudian, setelah adanya pemerintahan sipil di kota Medan (yakni setingkat controleur) segera pula menyusul dibangun kantor pos dan Hotel Deli di Laboehan Deli membangun hotel (cabang) di kota Medan. Sejak itu, kota Medan tumbuh kembang bagaikan deret ukur. Pertumbuhan kota menjadi lebih masif, karena kampung-kampung (komunitas) Tionghoa di sepanjang jalan poros antarakota  Laboehan Deli dan kota Medan melakukan migrasi (urbanisasi) ke kota Medan yang disusul kemudian urbanisasi orang-orang Melayu, Batak dan Atjeh yang sudah lama ada di kota Laboehan Deli dan orang-orang Batak yang dari dataran tinggi (pedalaman). Itu semua terjadi begitu cepat. Dan percepatan itu semakin kencang dengan pindahnya ibukota Asisten Residen Deli dari kota Laboehan Deli ke kota Medan (1879) dan Deli Mij mandapat konsesi untuk membangun dan mengoperasikan kereta api di Medan dan sekitarnya (1881).

Pada tahun 1880 titik nol kota Medan ditetapkan dengan membangunan esplanade (aloon-aloon kota) yang dimasa kini disebut Lapangan Merdeka. Dari pusat kota ini (esplanade) lanskap kota mulai diatur sedemikian rupa kota Medan (ala Deli Mij) menjadi Kota Medan (planologi ala pemerintah kolonial). Ketika ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust pindah dari Tebing Tinggi di Bengkalis ke Medan di Deli tahun 1887, kebutuhan aparatur pemerintah menjadi membengkak. Untungnya, Kota Medan secara fisik sudah sangat siap. Berbagai fasilitas pemerintah diperbanyak, jalan dan jembatan semakin ditingkatkan kualitasnya. Aparatur pemerintah juga seakan ‘bedol desa’ dari Tebing Tinggi, Bengkalis ke Medan, Deli. Para pegawai pemerintah yang ada di Bengkalis yang selama ini banyak didatangkan dari Sumatra’s Westkust (Padangsche dan Tapanoeli) juga turut migrasi ke Medan. Jumlah para pegawai Residen ini semakin banyak, meski tidak semua pegawai di Bengkalis ikut pindah tetapi sejumlah pegawai berpengalaman (pejabat) didatangkan langsung dari Sumatra’s Westkust khususnya dari Residentie Tapanoeli.

Salah satu pejabat dari Tapanoeli yang terdeteksi adalah seorang djaksa senior yang bernama Soetan Goenoeng Toea (kakek dari Amir Sjarifoedin--mantan Perdana Menteri). Djaksa ini dipindahkan dari onderafdeeling Sipirok, Residentie Tapanoeli tahun 1893. Kebutuhan aparatur peradilan ini sebagai prioritas sangat masuk akal, karena tingkat kriminal (yang juga disertai tingkat prostitusi dan tingkat ‘narkoba’) sudah sangat membahayakan. Aparatur djaksa dan mantri polisi kala itu masih kerap ganti posisi (mungkin karena sifat pekerjaannya mirip dan bersifat komplemen). Djaksa-djaksa setelah Soetan Goenoeng Toea dan mantri polisi banyak yang berasal dari Mandheling en Ankola. Selain itu, Mandheling en Ankola yang sudah sejak lama surplus tenaga pendidikan (guru) dan tenaga kesehatan (dokter) semakin melihat Kota Medan dan Afdeeling Deli sebagai wilayah kerja tujuan yang baru. Para pemuda yang ‘terpelajar’ dari Mandheling en Ankola lulusan sekolah negeri semakin banyak yang merantau ke Deli untuk mengadu peruntungan apakah sebagai pegawai pemerintah atau pegawai perkebunan (krani).

Dalam perkembagan selanjutnya, sejak 1900, yang sejak terkesan ada secara ekonomi ‘degradasi’ di Padang (Sumatra’s Westkust) relatif terhadap adanya ‘promosi’ di Medan (Sumatra’s Oostkust), para pebisnis Mandheling en Ankola yang selama ini berbasis di Padang dan Sibolga mulai melirik dan mengalihkan sebagian atau seluruh investasinya ke Medan dan Deli. Pebisnis-pebisnis yang awalnya terbatas pada bidang perdagangan komoditi dan barang, kemudian menyusul bisnis percetakan dan bisnis pers. Para pebisnis ini umumnya membawa anak buah masing-masing yang mengakibatkan semakin ramainya orang-orang Mandheling en Ankola yang merantau ke Deli.

***

Gelombang kedua anak-anak Mandheling en Ankola ‘merantau’ ke Medan dan Deli dimotori oleh golongan berpendidikan yang dalam hal ini sudah mulai disebut anak-anak Padang Sidempuan. Mereka itu adalah para alumni Kweekschool plus siswa-siswa ELS dan HIS di Padang Sidempuan yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi di Batavia, Buitenzorg, dan Belanda baru kemudian menuju (migrasi) ke Medan dan Deli. Gelombang kedua ini sudah menggunakan jalur baru: Batavia-Medan. Mereka ini kelak yang akan banyak tampil (sebagai pemimpin) di berbagai bidang keahlian di Medan khususnya dan Deli umumnya.

Pada tahun 1901 dua anak Padang Sidempuan lulus di Docter Djawa School: Haroen al Radjid Nasoetion ditempatkan di Padang lalu dipindahkan ke Sibolga dan Mohamad Hamzah Harahap ditempatkan di Telok Betong lalu dipidahkan ke Pematang Siantar tahun 1905. Kemudian tahun 1905 dua anak Padang Sidempuan lulus di Docter Djawa School: Abdul Karim Harahap ditempatkan di Sawahlunto lalu dipindahkan ke Goenoeng Sitoli dan Abdul Hakim Harahap ditempatkan di Padang Sidempuan lalu dipindahkan tahun 1910 ke Bindjei (Sumatra’s Oostkust). Di Medan sendiri kala itu, dokter yang ada adalah dokter-dokter berbangsa Belanda (dokter pribumi selalu ditempatkan di pelosok). Pada tahun 1907 satu lagi anak Padang Sidempuan, Mohamad Daoelaj lulus di Docter Djawa School dan ditempatkan di Semarang lalu dipindahkan ke Laboehan Deli 1911. Pada tahun 1916, setelah pensiun menjadi dokter memberantas kusta di Deli, Dr. Mohamad Daoelaj mendirikan rumahsakit swasta khusus kusta di Poelo Sitjanang (Bataviaasch nieuwsblad, 22-04-1916). Besar kemungkinan Dr. Mohamad Hamzah Harahap, Dr. Abdoel Hakim Harahap dan Dr. Mohamad Daoelaj adalah tiga dokter pribumi terawal yang ditugaskan di wilayah kerja Deli. [Pada tahun 1902 Docter Djawa School berubah nama menjadi STOVIA dengan kurukulum pendidikan yang lebih lama]. Angkatan awal STOVIA awal yang berasal dari Padang Sidempuan (Radjamimn, Soeib Prahoeman, Abdul Rasjid, R. Djoengdjoengan dan lainnya) hanya Radjamin Nosoetion yang dipindahkan ke Medan Deli di Perbaungan tetapi tidak sebagai dokter tetapi petugas bea dan cukai (1914). Radjamin Nasoetion yang lulus STOVIA tahun 1912, dan pernah berkunjung ke Medan sebagai pemain Docter Djawa Voetbal Club tahun 1907 melawan Tapanoeli Voetbal Club  baru tahun 1923 menjadi pejabat di Kota Medan (sebagai kepala bea dan cukai di pabean Belawan).

Nama-nama yang disebut di atas hanya beberapa dari banyak nama asal Padang Sidempuan yang datang ke Medan dan Deli (sebelum tahun 1920). Mereka itu tidak hanya alumni Docter Djawa School atau STOVIA tetapi juga alumni sekolah hukum di Batavia, sekolah kedokteran hewan dan sekolah pertanian di Buitenzorg dan yang studi di Belanda. Mereka inilah anak-anak asal Padang Sidempuan bersama para guru asal Padang Sidempuan (alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang kemudian diikuti alumni Kwekschool Fort de Kock) yang sudah terlebih dahulu berkiprah dan masih terus berdatangan ke Medan dan Deli.

Singkat cerita: antara tahun 1920-1940 tokoh-tokoh asal Padang Sidempuan yang cukup berpengaruh di Medan, sebagian sudah meninggal dan sebagian pindah ke tempat lain. Yang sudah meninggal migran terawal seperti seperti djaksa Soetan Goenoeng Toea (kakek Amir Sjarifoedin), editor Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Djawa, 1854), Radja persuratkabaran Sumatra, Dja Endar Moeda, Oloan Soripada pejabat di kantor Residen di Medan (mantan Demang di Sibolga). Yang pindah tempat seperti Dr. Radjamin Nasoetion, pejabat bea dan cukai Medan yang berkiprah di Surabaja, Djamin Soripada (ayah Amir Sjarifoedin) yang berkiprah di Sibolga, Radja Pandapoetan (ayah Mochtar Lubis) yang berkiprah di Kerintji, Djambi, Abdul Hakim Harahap, kelahiran Saronlangoen mantan anggota dewan kota Medan selama tujuh tahun berkiprah di Batavia, Parada Harahap dan lainnya yang tidak disebut satu per satu.

Sementara yang tetap berkiprah di Medan, antara lain: guru Radja Goenoeng (mantan anggota dewan kota), guru GB Josua pendiri dan direktur Josua Institite, Dr. Gindo Siregar, Mr. Loeat Siregar, Abdullah Loebis (direktur koran Pewarta Deli), Abdul Azis (direktur koran Sinar Deli), guru Madong Loebis, Dr, Alimoedin Pohan, Dr. Suleiman Hasiboean, notaris Soetan Pane Paroehoem (mantan anggota dewan), dan sebagainya. Satu lagi yang memiliki pengaruh kuat di Medan adalah Dr. Djabangoen Harahap yang telah berhasil mengatasi wabah TBC di Medan dan Sumatra’s Oostkust.

Mereka yang berada di Medan ini dapat diperluas di sekitar  Medan, seperti Dr. Mohamad Hamzah, guru Soetan Martoewa Radja, Dr. Alimoesa Harahap, Dr. Diapari Siregar dan lainnya di Pematang Siantar; Mangaradja Soeangkoepon di Tandjoengbalai, Soetan Batang Taris anggota dewan pribumi pertama di Tebing Tinggi, Djohan Nasoetion ahli pertanian, Dr. Pangariboean Siregar gelar Soetan Namora di Perbaungan, Dr. Koempoelan Pane di Loeboek Pakam  dan sebagainya yang tidak bisa disebut satu per satu.

Sedangkan anak-anak asal Padang Sidempuan yang tidak pernah berkiprah di Medan tapi memiliki koneksi kuat dengan di Medan antara lain di Batavia: Mr. Amir Sjarifoedin, guru Panangian Harahap, wartawan Adam Malik, Dr. Sorip Tagor, Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, PhD, Sanusi Pane, Armijn Pane dan sebagainya yang tidak bisa disebut satu per satu; di Padang: Mr. Egon Hakim (pengacara), Soetan Kenaikan (guru, pendiri sekolah pertanian dan anggota dewan Minangkabau) dan sebagainya; di Lampoeng: Gele Haroen; di Jawa Timur: Soeib Prahoeman, Dr. Irsan Nasoetion, apoteker Ismail Harahap; di Bogor: Dr. Aboebakar Siregar, Dr. Anwar Nasoetion. Juga dalam daftar tokoh ini dapat dimasukkan mereka yang tengah bermukim di luar negeri, tahanan politik di Digul dan anak-anak Padang Sidempuan dan anak-anak para tokoh yang disebut di atas yang tengah studi di perguruan tinggi di Batavia, Buitenzorg dan Eropa. Tentu saja banyak yang berkiprah di Residentie Tapanoeli khususnya di Sibolga dan Padang Sidempuan.

***
Praktis saat berakhirnya kolonial Belanda di Indonesia, orang-orang Padang Sidempuan sudah sangat menyebar di Indonesia dan tokoh-tokohnya muncul dimana-mana di berbagai bidang. Pada masa pendudukan Jepang diantara mereka dengan keahlianya direkrut militer Jepang untuk dikaryakan. Sejumlah pemuda baik di kampung halaman maupun di rantau, karena sistem pendidikan tinggi tidak jelas, banyak diantaranya yang masuk militer untuk sekedar mempertahankan kehidupan di rantau (misalnya Zulkifli Loebis, Abdoel Haris Nasoetion). Oleh karena lambat laut kehidupan semakin sulit, para mahasiswa banyak yang harus pulang kampung demikian juga secara pelan-pelan untuk menyiasati hidup yang semakin sulit dan tidak menentu, para perantau banyak yang terpaksa pulang kampung (termasuk tokoh), karena di kampung masih cukup tersedia lahan pertanian yang subur yang dapat diusahakan untuk menyambung kehidupan. Sebagian tokoh yang pulang kampung, diminta militer Jepang untuk berpartisipasi menjalankan pemerintahan. Diantara para tokoh ini termasuk Abdul Hakim Harahap, Kalisati Siregar, Hasan Basjaroedin Nasoetion dan sebagainya.

***
Kehadiran Jepang ini untuk menggantikan Belanda dipandang dengan sikap beragam: ada yang apatis, ada yang terpaksa ikut bergabung dan tentu saja ada yang berpandangan ekstrim dengan menunjukkan sikap perlawanan terhadap Jepang. Salah satu dari mereka yang menunjukkan sikap tegas adalah Mr. Amir Sjarifoedin. Ahli hukum yang satu ini sejak awal tidak suka degan fasis (sejak mahasiswa). Untuk menjalankan sikapnya, Amir Sjarifoedin terpaksa melakukan perlawanan bawah tanah. Ketika Amir Sjarifoedin tertangkap dan dipenjara, sikapnya tetap tidak berubah dan hanya dua pilihan: merdeka atau mati. Ini yang membedakan dengan ketokohan Soekarno dan Hatta yang masih mau berkolaborasi. Mentor Soekarno dan Hatta yakni Parada Harahap, mati langkah. Parada Harahap di satu sisi anti Belanda dan pro Jepang. Namun kapabilitas Parada Harahap di bidang bisnis pers tidak dibutuhkan oleh militer Jepang. Parada Harahap mati langkah, akibatnya bisnis pers Parada Harahap berantakan. Situasi ini tidak diinginkan oleh Parada Harahap sebagai satu-satunya tokoh pers yang kritis di jamannya (era Belanda). Parada Harahap tidak bisa menyuarakan sikap seperti Amir Sjarifoedin. Sikap politik Parada Harahap menjadi tergadai, karena Parada Harahap adalah sebelumnya adalah ‘penyambung suara’ Jepang di era kolonial Belanda. Parada Harahap adalah pemimpin rombongan orang Indonesia pertama ke Jepang (termasuk di dalamnya M. Hatta, mahasiswa baru lulus sarjana di Belanda dan Abdullah Loebis pemimpin Pewarta Deli di Medan).

***
Namun tidak terduga, masa hidup Jepang di Indonesia ternyata tidak lama. Jepang telah menyerah kalah kepada sekutu, akibatnya konfigurasi keamanan dan politik di Indonesia mengalami setengah chaos. Kesempatan inilah yang diambil oleh sejumlah tokoh di Jakarta untuk mengambil alih kekuasaan yang vakum dengan cara memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, Jepang memfasilitasi untuk kemerdekaan Indonesia dengan dibentuknya BUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ke dalam tim ini, Parada Harahap termasuk yang direkomendasikan Jepang (satu-satunya orang Batak anggota BPUPKI). Dal tim ini tidak terdapat nama Amir Sjarifoedin, karena Amir masih berada di dalam bui Jepang (satu-satunya tokoh penting Indonesia yang kebebasan politiknya di masa vakum yang masih terbelenggu di dalam penjara).

***
Semua persiapan kemerdekaan pada dasarnya sudah beres. Namun kemerdekaan tidak kunjung datang. Jepang tampaknya tetap mengulur-ulur waktu yang diajukan BPUPKI. Para pemuda militan, seperti Adam Malik (anak Pematang Siantar asal Padang Sidempuan) menganggap waktu sudah masuk injury time. Soekarno, Hatta dan Parada Harahap yang menjadi anggota BPUPKI seakan mati langkah: satu kaki sudah ditarik rakyat Indonesia untuk merdeka, tetapi satu kaki lagi masih tertahan oleh tangan-tangan Jepang (sebagai kolaborator). Tinggal satu pilihan bagi pemuda militan, yakni: Amir Sjarifoedin. Namun untuk membawa Amir tidak mudah, karena Jepang sangat rahasia dimana tempat penjara Amir dibelenggu. Sekali lagi, andaikan diketahui, melepaskannya oleh para pemuda militan tidak mudah, sebab kekuatan militer Jepang masih kuat (cuma tidak bisa bergerak, karena patuh terhadap perjanjian Jepang-Sekutu).

Dalam masa vakum ini, orang Indonesia satu-satunya yang memiliki portofolio paling tinggi untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia hanya Amir Sjarifoedin. Sebab Amirlah yang paling layak untuk membacakan teks proklamasi yang sudah dipersiapkan itu. Inilah buah dari sikap tegas Amir yang anti fasis dan tentu saja anti Jepang serta tidak sedikitpun ada keinginan untuk berkolaborasi dengan Jepang. Di pikiran Amir, dalam berjuang hanya ada satu kata: republik Indonesia yang merdeka.

Inilah untuk kali kedua anak-anak Padang Sidempuan kehilangan haknya untuk menjadi yang pertama. Amir Sjarifoedin kehilangan hak untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, karena kaki dan tangannya masih terbelenggu di penjara rahasia militer Jepang yang terkenal ketat sistem pengamanannya. Kesempatan pertama adalah soal siapa yang menjadi pemenang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata pemenangnya adalah gubahan WR Supratman, bukan gubahan Nahoem Sitoemorang. Padahal ketua panitia lomba adalah Parada Harahap, anak Padang Sidempuan kelahiran Pargaroetan (yang saat itu Parada adalah sekretaris PPPKI, yang mana ketuanya M. Hoesni Thamrin).

Nahoem Sitoemorang anak Padang Sidempuan kelahiran Sipirok tentu saja kecewa (lalu menulis dan menggubah lagu Batak yang sangat harmoni..cek sendiri judul lagunya). Mungkin dialog kedua pemuda yang kampungnya bertetangga ini di afdeeling Padang Sidempuan kira-kira begini: Nahum: ‘Bang, kenapa lagu saya tidak jadi pemenang, cam mana ini ?’. Parada: ‘Ah, aku kan sendiri, tidak bisa menentukan sendiri. Tapi, kau malah lebih bebas menciptakan jumlah lagu sebanyak yang kau suka!’. Nahum: ‘Jadima, Bang. Horas be!’. Tentu saja Parada Harahap tidak terlalu kecewa dengan terpilihnya pemenang WR Supratman. Sebab, WR Supratman adalah karibnya Parada Harahap juga. WR Supratman adalah anak buah Parada Harahap ketika tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama (Alpena). WR Supratman diangkat sebagai editor yang juga merangkap sebagai watawan. Begitu akrabnya, WR Supratman tinggal di rumah Parada Harahap.

Akhirnya para tokoh pemuda militan, Adam Malik dkk setengah berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta dan sisanya dipenuhi dengan setengah menculik keduanya untuk dibawa ke Pegangsaan Timur tempat dimana teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan. Tepat pada pukul sepuluh pagi, proklamasi dibacakan  oleh Ir. Soekarno disamping Drs. M. Hatta dihadapan para kerumunan patriot bangsa yang telah hadir di Pegangsaan Timur Jakarta tanggal 17 Agustus tahun 1945.

Adam Malik adalah anak Pematang Siantar asal Padang Sidempuan…pernah ditangkap dengan dalih politik dan dibui di penjara Padang Sidempuan…hijrah ke Batavia menjadi wartawan, mendirikan kantor berita Antara (suksesi kantor berita yang pernah didirikan oleh Parada Harahap, Alpena.



Namun urusan teks proklamasi belum tuntas, karena yang mengetahui hanya para hadirin yang hadir di lapangan Pegangsaan Timur. Tidak ada relay di radio, semua koran yang berkolaborasi dengan Jepang diawasi ketat oleh militer Jepang. Akibatnya, isi proklamasi tidak diketahui secara luas. Tidak diketahui di dalam negeri dan juga tidak diketahui di luar negeri. Alat komunikasi cepat hanya telegram, tapi itu juga di bawah pengawasan militer Jepang. Satu-satunya cara yang efektif untuk menyebarluaskan isi proklamasi itu hanya melalui radio agar bisa lebih cepat, lebih luas dan lebih jauh dan dapat ditangkap di luar Indonesia. Lantas radio apa?, dimana?

Dilaporkan bahwa isi proklamasi tersebut ternyata dapat disiarkan melalui radio. Tidak segera, justru baru malam hari. Radio yang menyiarkan rekaman isi Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan Soekarno itu adalah Radio Malabar di Bandung, radio yang juga dikooptasi oleh militer Jepang dan juga mendapat pengawasan yang merupakan satu-satunya corong propaganda Jepang di daerah Priangan. Siaran kata pengantar dan rekaman isi proklamasi yang dibacakan Soekarno itu cukup jelas diterima radio penduduk pedesaan dan warga Kota Bandung dan mengenal baik siapa nama penyiarnya itu. Penyiar ini dalam mengantarkan rekaman proklamasi tersebut menyebut: ‘Di sini Radio Republik Indonesia….’ (padahl RRI sendiri belum ada, sangat futuristik). Di Jawa Barat lalu menjadi heboh, lalu Indonesia menjadi heboh dan diluar negeri juga menjadi heboh karena siaran radio Bandung itu telah ditangkap radio lain di berbagai tempat dengan menggunakan frekuensi gelombang pendek (SW). Inilah kontribusi Radio Bandung yang berada di Gunung Malabar (dekat Bandung).

Siapa yang melakukan tindakan patriot itu semua. Ternyata tiga orang itu adalah anak asal Padang Sidempuan. Siapa mereka? Mereka adalah tiga pemuda yang profesinya wartawan dan pernah sama-sama bekerja di radio militer di awal pendudukan Jepang di Batavia, yakni: Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah. Hanya Sakti Alamsjah Siregar yang terus bertahan di radio hingga rekaman isi proklamasi itu disiarkan melalui radio. Sakti Alamsjah adalah orang yang menyiarkan isi rekaman itu dengan memulai kalimat ‘Di sini Radio Republik Indonesia’ (sekali lagi, padahal RRI belum ada). Bagaimana rekaman ini diperoleh itu adalah peran Adam Malik yang turut ‘meminta’ dan ‘menculik’ Soekarno dan Hatta untuk membacakan isi proklamasi di Pegangsaan Timur. Mochtar Lubis menjadi penghubung antara Jakarta-Bandung dimana Mochtar Lubis berangkat ke Bandung dengan kereta api untuk berdiskusi dengan Sakti Alamsjah bagaimana isi proklamasi tersebut dapat disiarkan. Dari banyak radio militer Jepang, Radio Malabar adalah radio paling mudah disusupi karena letaknya di gunung, terpencil, jadi kurang pengawasan. Antara Jakarta dan Bandung bagaikan gayung bersambut, antara Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah. Mereka bertiga tampaknya mengambil risiko itu. Sakti Alamsjah adalah penyiar pavorit kala itu di udara kota Bandung, selain suaranya yang berat, juga Sakti Alamsjah penulis lirik lagu-lagu dari musisi yang manggung di Radio Bandung (waktu itu musik dilakukan dengan siaran langsung alias live).

Meski ketiga orang ini lahir di tempat yang berbeda tetapi mudah akrab dan kebetulan memiliki jiwa pers yang sama. Adam Malik Batubara kelahiran Pematang Siantar, Simaloengoen asal Huta Tanobato, Mandailing adalah mentor bagi Mochtar Lubis di dunia pers (di Kantor Berita Antara). Mochtar Lubis kelahiran Soengai Penuh, Kerinci, Jambi asal Huta Pakantan, Mandailing ini seumur dengan Sakti Alamsjah kelahiran Sungai Karang, Deli Serdang asal Huta Parau Sorat, Sipirok. Kedekatan Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah karena tugas mereka sebagai wartawan cetak sering melaksanakan tugas ke tempat yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, Mochtar Lubis mendirikan koran Indonesia Raya terbit di Jakarta dan Sakti Alamsjah menirikan koran Pikiran Rakyah terbit di Bandung. Motto kedua koran ini sama: ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat’. Hal serupa ini pernah terjadi antara koran Pertja Barat di Padang dan koran Pewarta Deli di Medan dengan motto yang sama: ‘Organ Oentoek Segala Bangsa’.

***
Di Medan, rupanya siaran radio Bandung ini tidak dapat ditangkap. Oleh karenanya, bahwa Indonesia telah merdeka sebagaimana telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak segera diketahui. Karena itu, wakil dari Medan yang menghadiri proklamasi tersebut harus membawa langsung salinan isi Proklamasi Kemerdekaan itu ke Medan. Meski, para pembawa kabar proklamasi itu (Mr. T. Hasan dan Dr. Amir) sudah berada di Medan, tetapi tetap tidak kunjung disebarluaskan. Padahal keduanya sudah diangkat di Jakarta sebagai perwakilan pusat pasca proklamasi sebagai Gubernur Sumatra dan Wakil Gubernur Sumatra. Di Medan para pihak tidak mau mengambil risiko, karena memang militer Jepang secara defacto masih berkuasa. Ini berbeda dengan Sakti Alamsjah Siregar dan kawan-kawan di Bandung yang berani mengambil risiko.

Apa yang sesungguhnya terjadi di Medan? Sulit dipahami. Langkah-langkah yang dilakukan di Medan adalah baru tanggal 3 September 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Setelah itu, isi proklamasi kemerdekaan Indonesia,  baru sebulan kemudian tepatnya tanggal 17 September 1945 diproklamirkan kembali di Medan yang dilakukan sebuah panitia. Bagaimana bisa menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan dan upaya mengambil alih kekuasaan dapat dilaksanakan sesingkat-singkatnya, jika isi proklamasi sendiri tidak segera disebarluaskan kepada masyarakat luas.

Setali tiga uang, kabar bahwa Indonesia telah merdeka juga tidak diketahui di Tapanoeli, karena tidak ada perwakilan yang datang. Padahal jarak dari Medan ke Sibolga dan Padang Sidempuan dapat ditempuh dalam dua atu tiga hari jika harus terpaksa dilakukan dengan jalan kaki bagi kurir yang akan mengabarkan berita kemerdekaan itu. Dengan demikian, kemerdekaan Indonesia di Medan sudah sempat ‘masuk angin’ duluan. Padahal, Amir Sjarifoedin, anak Medan mati-matian sudah berjuang habis-habisan demi kemerdekaan republik Indonesia. Bahkan Amir masih berada dibelenggu didalam bui saat mana proklamasi itu berlangsung. Padahal pemuda militan, Adam Malik dkk sudah mengambil risiko dengan ‘memaksa’ Soekarno dan Hatta untuk menggantikan posisi Amir Sjarifoedin untuk membacakan isi proklmasi. Padahal MochtarLubis dan Skati Alamsjah sudah mengambil risiko untuk menyiarkan isi rekaman proklamasi itu di Radio Bandung.


(tunggu deskripsi lengkapnya)

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: