Jumat, Desember 30, 2016

Sejarah Tapanuli (Bag-8): Kapur Barus, Hanya Ditemukan di Tanah Batak, Sudah Disebut dalam Al Quran dan Injil

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tapanuli dalam blog ini Klik Disin


Kapur Barus, atau kamper hanya ditemukan di Tanah Batak. Paling tidak hal itu disebutkan dalam buku-buku kuno. Buku paling kuno yang menyebutkan kapur barus adalah ‘Den rosegaert van den bevruchten vrouwen. Ghecorrigeert ende…’ terbitan tahun 1560. Dalam buku ini kapur barus disebut kafura (champora). Sejak tahun itu ratusan buku telah membicarakan komoditi kuno ini. Umumnya, para penulis menyatakan kapur barus berasal dari Barus (Baroesh) dan juga dari Sumatra (De Kamferboom van Sumatra, (Dryobalanops camphora Colebr. Terbit tahun 1851). Tidak pernah disebutkan kapur barus berasal dari Tanah Batak, namun semua penulis mendeskripsikannya bahwa kapur barus tersebut diproduksi (sebagai hasil hutan) di daerah antara Batahan dan Singkel (1’10'N-20’20’) dengan ketinggian 1.000-1.200 meter dpl yang lebih dikenal sebagai Tanah Batak. Jung Huhn bahkan menyebut aliran kapur barus ini bermula di Loemoet dan Hoeraba (dua wilayah terluar Angkola).

Selasa, November 29, 2016

Sejarah Kota Medan (54): Lapangan Merdeka Medan, 17-8-1951 dan Lapangan Medan Merdeka, 17-8-1950; Dua Lapangan Pertama di Indonesia Sukarno Pidato



Perayaan pertama HUT RI di  Lapangan Merdeka, 1950
Lapangan Merdeka Medan dan Lapangan Medan Merdeka adalah dua lapangan yang sangat emosional dijadikan sebagai simbol kemerdekaan Indonesia. Lapangan Merdeka Medan adalah eks Esplanade di Medan. Sedangkan Lapangan Medan Merdeka adalah eks Koningsplein di Jakarta. Presiden Sukarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1950 di Lapangan Medan Merdeka. Presiden Sukarno berpidato pada tanggal 17 Ahustus 1951 di Lapangan Merdeka Medan. Dua lapangan (field) ini adalah dua lapangan pertama di Indonesia tempat dimana Sukarno berpidato pada saat hari Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Lapangan Medan Merdeka, 17 Agustus 1950

Secara resmi Belanda mengakuai kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949. Sejak itu kemerdekaan Indonesia tanpa hambatan. Untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI yang kelima (yang pertama setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) akan dipusatkan di depan istana negara di Jakarta, tepatnya di lapangan Koningsplein. Nama lapangan ini awalnya disebut Lapangan Gambir (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1950).

Di Medan, peringatan Hari Kemerdekaan RI yang kelima (yang pertama setelah pengakuaan kedaulatan RI) akan dipusatkan di Lapangan Esplanade. Ketua panitia peringatan adalah Mr. GB Josua.

Minggu, November 27, 2016

Sejarah Kota Medan (53): Monumen Tamiang di Esplanade, 1894; Simbol Kekalahan Militer Belanda di Tamiang; Hulubalang Deli Juga Turut Gugur

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Monumen Tamiang di Esplanade Medan, 1910
Pada masa ini Tamiang adalah bagian dari Provinsi Aceh, tetapi Tamiang tidak termasuk dalam Perang Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berakhir tahun 1904. Perang Tamiang tahun 1893 adalah perang yang setara dengan Perang Sunggal (1974). Perang Tamiang telah membawa korban banyak diantara tentara Belanda dan para hulubalangan Kesultanan Deli. Untuk mengenang perang tersebut di Esplanade (kini Lapangan Merdeka) tahun 1894 dibangun sebuah monument yang diberinama Monumen Tamiang.

Ketika peringatan Hari Proklomasi Kemerdekaan RI yang kelima (1950) di Esplanade monumen ini masih ada. Ketua Panitia Perayaan adalah GB Josua (Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1950). GB Josua adalah salah satu dari empat orang republik yang menjadi pimpinan komite penyerahan kedaulatan dari Negara Sumatera Timur (NST) ke Republik Indonesia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949). Pada peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang keenam (1951) yang diketuai oleh Gubernur Sumatra Utara sempat muncul keinginan untuk membongkar Monumen Tamiang ketika Esplanade diubah namanya menjadi Lapangan Merdeka. Gubernur Sumatra Utara yang pertama setelah pengakuan kedaulatan RI adalah Abdul Hakim Harahap (1951-1953). Monumen Tamiang ini baru dibongkar pada tahun 1958 pada era Gubernur Gubernur Sumut Sutan Komala Pontas.

Monumen Tamiang Dibangun

Pada tahun 1893 Afdeeling Tamiang masih bagian dari Residentie Sumatra’s Oostkust (seperti halnya Afdeeling Singkel bagian Residentie Tapanoeli). Perang Aceh adalah perang yang relatif bersamaan dengan Perang Batak (Sisingamangaradja). Perang Aceh dalam hal ini tidak termasuk wilayah Tamiang dan Singkel, tetapi sebaliknya menjadi wilayah luar Perang Batak.

Kamis, November 24, 2016

Sejarah Kota Medan (52): Banjir Besar 1910, 1925 dan 1931; Pemerintah Kota Membuat Master Plan



Menara air kota Medan baru setahun (1909) selesai rampung dibangun. Tiba-tiba pada Februari 1910 reservoir  Waterleiding-Mij. Ajer Beresih di Roemah Soemboel di Sibolangit jebol, akibat batu besar jatuh. Ini terjadi Februari 1910. Di Medan sempat dikhawatirkan akan terjadi banjir akibat kecelakaan tersebut. Namun segera dapat ditanggulangi: banjir tidak terjadi dan aliran air bersih segera dapat tersambung kembali (lihat De Sumatra post, 17-02-1910).

Sungai Belawan, 1878
Pada bulan Januari surat kabar berbahasa Melayu, Pewarta Deli di Medan. Surat kabar kedua berbahasa melayu di Medan ini dipimpin dan merangkap editor Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Surat kabar ini muncul untuk mengambil posisi surat kabar berbahasa Melayu yang pertama di Medan, Pertja Timor yang tengah goyah. Surat kabar investasi Belanda dan terbit sejak tahun 1902 tersebut kini tanpa jiwa, setelah meninggalnya Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe tahun 1908. Mangaradja Salamboewe adalah editor Pertja Timor sejak awal pendiriannya.  Sedangkan Dja Endar Moeda adalah pemilik surat kabar Pertja Barat di Padang sejak 1897. Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe adalah sama-sama alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempuan.

Berita jebolnya reservoir Ajer Beresih di Sibolangit, warga yang sempat cemas boleh jadi karena Medan sudah sejak lama rawan banjir. Sudah beberapa kali terjadi banjir sejak kota Medan didirikan tahun 1875. Meski kerap banjir tetapi banjir yang ada selama ini masih dapat ditanggulangi dan air menyusut segera.

Senin, November 21, 2016

Sejarah Kota Medan (51): Menara Ajer Beresih Sejak 1905; Waterleiding-Maatschappij, Kini PDAM Tirtanadi



Menara air Medab (1930)
Menara air Tirtanadi Medan, sudah direncanakan sejak 1905 dan masih berfungsi hingga masa kini. Pada era Belanda, menara air ini awalnya dioperasikan oleh NV. Waterleiding-Maatschappij ‘Ajer Beresih’. Menara air ini terbilang tertinggi di Hindia Belanda. Tingginya 42 meter dengan berat 330 ton. Sumber airnya berasal dari Roemah Soemboel di Sibolangit (37 Km dari Medan).

NV. Waterleiding-Maatschappij Ajer Beresih

Namanya berbau lokal tetapi perusahaan yang mengoperasikannya berada di Amsterdam. Perusahaan ini muncul karena melihat kebutuhan air bersih di Medan semakin meningkat. Sistem air bersih yang selama ini dikelola oleh Deli Mij (untuk kalangan sendiri dan terbatas). Deli Mij (yang dalam hal ini Deli Spoor) akan terbantu dengan kehadiran NV. Waterleiding-Maatschappij.

Kehadiran perusahan air bersih Waterleiding-Maatschappij Ajer Beresih muncul kali pertama di surat kabar Algemeen Handelsblad, 14-04-1906 yang terbit di Batavia dalam sebuah iklan pendek: Waterleiding-Maatschappij “Ajer Beresih”.    

Iklan pertama (lgemeen Handelsblad, 14-04-1906)
Perusahaan ini didirikan secara formal di Amsterdam tanggal 8 September 1905 dengan modal f500.000 (De Telegraaf, 25-04-1906). De Sumatra post, 26-05-1906 telah menerima laporan tahunan pertama Waterleiding-Maatschappij “Ajer Beresih”. De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-02-1907 menyebutkan kantor Waterleiding-Maatschappij “Ajer Beresih satu gedung Heerengracht No. 164 Amsterdam dengan Nederlandsch-Indische Tramweg-Maatschappij; Madoera Stoomtram Maatschappij; Deli Spoorweg Maatschappij  dan  Electriciteit Maatschappij „Medan".

Minggu, November 20, 2016

Sejarah Kota Medan (50): Penduduk Kota Medan, Kota Melting Pot; Kini, Persentase Tertinggi Etnik Batak



Persentase etnik di Kota Medan, 1930 dan 2010 (diolah sendiri)
Secara dejure, cikal bakal kota Medan dimulai tahun 1875, ketika onderafdeeling Medan dibentuk dan menempatkan seorang controleur yang berkedudukan (rumah/kantor) di Soekamoelia. Sejak itu Medan tumbuh dan berkembang layaknya kota. Pada tahun 1879 Medan menjadi ibukota afdeeling Deli, asisten residen yang sebelumnya berkedudukan di Laboehan (onderafdeeling Laboehan) pindah ke Medan. Pada tahun 1887 Medan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dimana Residen berkedudukan (sebelumnya di Bengkalis). Kota Medan yang terus tumbuh dan berkembang, pada tahun 1909 Medan dibentuk menjadi sebuah kotamadya (gemeente). Pada tahun 1915 Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province dan ibukotanya di Medan.

Era Deli

Kota Medan belum ada ketika di Laboehan dilaporkan terdapat adanya komposisi penduduk. Menurut laporan Netscher (Resident Riaou) yang kali pertama pemerintah datang ke Deli di Laboehan hanya terdapat beberapa ratus penduduk.

Warga Medan pertama: Nienhuys dan asistenya (1865)
Netscher (1863): ‘Masyarakat: Satu pemandangan yang aneh, diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Batakscbe seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah’. Masih di dalam laporan Netscher. ‘Penduduk: Populasi Deli ada di pantai dari Maleijers, di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat.

Dari laporan ini paling tidak sudah terdeteksi, selain Batak ada Melayu, Tionghoa, India dan Atjeh. Jika dibandingkan dengan laporan Anderson (1823) yang hanya menyebut Batak dan Melayu, maka kehadiran Tionghoa, India dan Atjeh adalah suatu yang baru. Komposisi penduduk di Deli semakin bertambah ketika 1864 Nienhuys (pionir perkebunan tembakau di Deli) mendatangkan kuli dari Penang. Kuli pertama yang didatangkan Nienhuys adalah kuli Jawa yang diperoleh di Penang. Kemudian Nienhuys mendatangkan kuli Cina dari Singapore. Kuli lainnya didatangkan dari Siam dan India (Kling). Diantara kuli yang menyusul yang paling banyak didatangkan dari Cina dan kemudian disusul dari Jawa.

Jumat, November 18, 2016

Sejarah Kota Medan (49): Nama Deli Bukan Berasal dari India? Peta Portugis Menyebutnya Dilli

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Nama Deli yang sekarang tampaknya bukan nama sesuai aslinya. Nama Deli adalah akhir dari suatu proses yang panjang sejak kali pertama dipetakan oleh Portugis (1750). Dalam peta Perancis (1752) nama Deli teridentifikasi sebagai nama Delli. Orang-orang Inggris kemudian mengikuti nama Prancis ini. Pada peta buatan Belanda (1818) nama Delli menjadi Deli. Nama yang disebut Belanda inilah yang digunakan hingga sekarang.

Deli Tidak Ditemukan Pada Peta Kuno

Sejauh yang diketemukan, peta paling tua adalah peta yang disusun pelaut Portugis diterbitkan pada tahun 1619. Dalam peta ini empat tempat yang teridentifikasi adalah: di pantai barat Sumatra adalah Baros (baca: Barus) dan Bathan (baca: Batahan); di pantai timur Sumatra adalah Daru (baca: Ara atau Aru) dan Ambuara (kemudian menjadi Jamboe Ajer/Perlak).

Peta kuno Kerajaan Aru, 1619 (peta Portugis)
Empat tempat ini terhubung dengan jalur perdagangan komoditi kuno ke daerah pedalaman dimana penduduk Batak berada. Baros adalah bandar komoditi kemenyan, benzoin dan kamper (kapor barus) dari penduduk Batak di Silindoeng dan Toba; Batahan adalah bandar komoditi emas (tampaknya Batahan lebih terkenal dari Natal) dari penduduk Batak di Mandailing. Aru (Daru) di sepanjang DAS Baroemoen adalah jalur komoditi emas. kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Angkola. Ambuara atau Jamboe Ajer/di Perlak adalah bandar komoditi kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Alas dan Gajo (Bandar sisi barat adalah Singkel).


Untuk sekadar diketahui nama Batak (sebagai bangsa dan teritori) sudah terpetakan dalam sketsa perjalanan Cornelis de Houtman (1595). Dalam peta ini nama Batak ditulis sebagai Bata (sesuai aksara asli Batak). Peta de Houtman ini besar dugaan menjadi salah satu sumber permbentukan peta Portugis 1611. Sebab peta Portugis ini dicetak dan diterbitkan di Belanda.

Peta-peta buatan Portugis itu (yang menjadi rujukan pembuatan peta-peta selanjutnya) besar kemungkinan didasarkan pada laporan Tome Pires (1512-1515) yang pernah mengunjungi Malacca.

Sejarah Kota Medan (48): Nama Medan Bukan Asli Tetapi Nama yang Diadopsi dari Eropa?



Sejauh ini belum ada yang mempertanyakan dari mana asal nama Medan. Sepintas semua tulisan berasumsi bahwa nama Medan asli dari tempatnya sendiri. Ada yang mengaitkan dengan Karo, ada juga yang mengaitkannya dengan Melayu. Meski demikian, tidak ada alasan yang kuat. Hanya menduga-duga. Soal ini tidaklah terlalu penting, tetapi menarik untuk ditulis.

Peta 1873
Hal ini juga terjadi pada nama Batak pada akhir-akhir ini. Ada yang menulis ‘Nama Batak Bukan dari Orangnya’. Tulisan lainnya menyebutkan ‘Nama Danau Toba Bukan Sebutan Berasal dari Orang Batak Tapi Buatan Jerman’. Semua itu menarik untuk ditulis dan mengundang pembaca untuk tertarik membacanya.

Nama-nama seperti Batavia, Buitenzorg, Depok tidak ada orang yang peduli. Semua orang hanya menganggap itu apa adanya, meski setelah itu namanya berubah menjadi Jakarta, Bogor. Depok ya tetap Depok. Tidak ada yang gaduh. Lantas bagaimana dengan nama Medan? Juga tidak menarik perhatian. Kecuali beberapa mengaitkan dengan Karo dan Melayu. Jika begitu, dari mana asal nama Medan? Mari kita lacak!

Nama Medan Dilaporkan Kali Pertama oleh de Caet, 1866

Nama Medan sebagai nama sebuah kampong disebut oleh de Caet, Controleur Deli ketika pada akhir tahun 1866 melakukan ekspedisi ke Bataklanden. Ekspedisi ini dilaporkan oleh de Caet pada tahun 1875.

Kamis, November 17, 2016

Sejarah Kota Medan (47): Esplanade, Alun-Alun Kota; Titik Nol Kota Medan, Kini Disebut Lapangan Merdeka



Peta Medan 1873
Esplanade, alun-alun kota Medan adalah milestone terbentuknya Kota Medan. Esplanade ini bermula dari suatu ruang terbuka yang cukup luas yang di empat sisi sebelum dan sesudahnya berdiri berbagai bangunan kota. Esplanade sendiri dibangun pada tahun 1880, setahun setelah Medan dijadikan sebagai ibukota afdeeling Deli, tempat dimana Asisten Residen berkedudukan (sebelumnya di Laboehan). Pada tahun 1895 di lapangan Esplanade ini diadakan pertandingan sepakbola antara kesebelasan dari Penang melawan kesebelasan Medan, suatu pertandingkan yang kali pertama dilaporkan di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Antara tahun 1900 hingga 1907, Esplanade merupakan homebase klub pertama kota Medan bernama Medan sport Club (oleh pemerintah kota klub pribumi dilarang menggunakannya). Esplanade ini pada masa kini disebut Lapangan Merdeka, yang namanya muncul ketika diadakan perayaan Hari Kemerdekaan RI yang pertama tahun 1950. Sebagai ketua panitia adalah GB Josua (pemilik Josua Instituut/Perguruan Josua).

Kronologi

Sebelum ada Esplanade, aktvitas hanya ada di sekitar kantor Deli Mij (seberang Kampoeng Medan Poetri). Aktivitas Deli Mij ini dimulai tahun 1870 (yang kini menjadi jalan Jalan Tembakau). Adapun bangunan yang ada adalah kantor, gudang, bangunan fermentasi. Kemudian dibangun sebuah klinik kesehatan (kelak menjadi RS Tembakau).

Garnisun militer Medan, 1876
Pada tahun 1873 militer membangun garnisun di arah hulu (di ujung Jalan Bukit Barisan yang sekarang). Awal munculnya garnisun ini, dimulai ketika terjadi kerusuhan di sebuah perkebunan di Pertjoet yang dilakukan oleh para kuli asal Tiongkok yang membunuh para majikannya. Untuk mengantisipasi dampak yang lebih luas, satu datasemen militer didatangkan dari Riau yang ditempatkan di dekat Deli Mij (perusahaan Belanda). Saat itu ibukota Sumatra’s Oostkust masih di Bengkalis. Namun dalam perkembangannya, kampament detasemen militer ini ditingkatkan menjadi sebuah garnisun militer (yang seiring dengan meningkatnya eskalasi perang di Bataklanden dan Atjeh.

Pada tahun 1875 kantor/rumah Controleur Medan dibangun di Sukamulia. Penempatan kantor/rumah Controleur ini agar lebih dekat dengan penduduk di Kampong Polonia dan Kampong Kesawan. Di sekitar kantor/rumah controleur ini kemudian dibangun rumah administrator Deli Mij (kelak dihibahkan menjadi kantor Residen, saat ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan dari Bengkalis).

Selasa, November 15, 2016

Sejarah Kota Medan (46): Warenhuis, Pasar Modern Tempo Doeloe; Rajanya Huttenbach, Sisa Bangunan Masih Ada Sekarang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini


Nama-nama jalan di Medan (Peta 1895)
Pada tahun 1875 di Medan sudah berdiri perusahaan perdagangan Huttenbach & Co. Perusahaan ini adalah perusahaan (organisasi) bisnis tertua di Sumatra’s Oostkust (Pantai Timur Sumatra). Bisnis perusahaan memusat di lokasi dimana kemudian disebut sebagai nama jalan Huttenbach (lihat Peta 1895). Bisnis Huttenbach semakin berkembang. Tahun 1910 Huttenbach mempelopori pembangunan ritel modern dengan nama Huttenbach Warenhuis. Inilah kali pertama pembangunan department store di Medan.

Jalan Huttenbach, 1915
Pada Januari tahun 1910 surat kabar Pewarta Deli di bawah editor Dja Endar Moeda kali pertama terbit. Surat kabar ini diterbitkan di bawah Sjarikat Tapanoeli yang didirikan oleh Dja Endar Moeda dan Sjech Ibrahim pada tahun 1905. Penerbitan surat kabar ini besar kemungkinan untuk mengantisipasi perkembangan bisnis di Medan yang semakin marak terutama dikaitkan dengan pembangunan dept. store Huttenbach. Pewarta Deli dijadikan sebagai sumber pencerdasan warga pribumi juga untuk media promosi dari pengusaha-pengusaha Tapanuli di Medan.

Sejak 1900, usaha-usaha perdagangan eceran hanya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, Jepang, Jerman dan Tapanuli. Namun dalam perkembangannya, pengusaha Jerman muncul ke permukaan dan menjadin leader untuk bisnis ritel yang mengambil segmen pasar orang-orang ETI (Eropa/Belanda). Sebaliknya, pengusaha-pengusaha asal Tapanuli (yang umumnya dari Mandailing dan Angkola) memfokuskan pada segmen pembeli orang-orang pribumi di Medan.

Perdagangan Eceran Bermula di Laboehan

Sebelum dimulai perkebunan di area Medan, perdagangan eceran sudah berkembang di Laboehan. Perdagangan eceran ini dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang datang dari pantai-pantai Timur Sumatra atau Penang. Mereka ini juga melakukan perdagangan keliling ke berbagai tempat di Deli. Saat itu daerah aliran sungai (DAS) Deli dibawah pengaruh Atjeh dan Batak.

Sabtu, November 12, 2016

Sejarah Kota Medan (45): Nama-Nama Kampung Tempo Doeloe di Medan; Perkembangan Kota Dimulai dari Kampung Medan, Meluas ke Kampung Kesawan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin

.
Kota-kota yang ada pada masa ini di Indonesia umumnya berproses sejak dari sebuah kampong kecil hingga menjadi kota metropolitan, Proses pertumbuhan dan perkembangan kota ini dapat diperhatikan secara horizintol terjadi perluasan dan secara vertikal terbentuknya level pemerintahan. Hal ini juga yang terjadi dengan Kota Medan. Satu hal yang masih penting masa ini, meski kota-kota tersebut sudah menjadi metropolitan, tetapi nama-nama yang ada di dalamnya masih ditemukan nama-nama lampau. Nama-nama masa lampau ini tidak hanya menunjukkan adanya sejarah masa lampau tetapi juga kisah-kisah yang menyertainya.

Nama kampong tempo doeloe di Medan (1866)
Dalam pertumbuhan dan perkembangan Kota Medan sejak awal, orang-orang afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afdeeling Mandailing dan Angkola) turut di dalamnya. Ketika afdeeling Deli ditemukan dan dibentuk (1863) penduduk afdeeling Padang Sidempuan sudah mengecap pendidikan modern. Pada tahun 1862 di sudah ada sekolah guru dan pada tahun 1870, dari 10 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli, delapan diantaranya berada di afdeeling Padang Sidempuan. Lulusan sekolah-sekolah ini banyak yang merantau ke Deli dan menjadi krani. Salah satu perantau generasi pertama adalah Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan yang datang tahun 1875.  Setelah pulang haji, Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan atau Sjech Ibrahim atau Sjech Ibrahim menjadi tokoh penting di kota Medan. Ketika Medan menjadi kota (kotamadya) tahun 1909, Sjech Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe pusat kota Medan (Kesawan). Sjech Ibrahim adalah kepala kampong pertama (kamponghoofd) di kota Medan.     

Cikal Bakal Kota Medan Dimulai Kampong Medan Poetri

Kota Medan bemula dari suatu area di sisi kanan sungai Deli. Area tersebut adalah bagian (tanah ulayat) dari kampong Medan Poetri yang berada di sisi kiri sungai Deli. Pada area yang kosong yang sebagian masih tertutup oleh hutan itu Deli Mij membuka kebun tembakau dalam skala besar. Nienhuys awalnya membuka kebun di Laboehan tahun 1865. Pembukaan kebun baru Deli Mij (Kongsi Nienhus dkk) di sekitar pertemuan sungai Babura dan sungai Deli ini terjadi pada tahun 1669. Kantor Deli Mij dan berbagai bangunan perusahaan (gudang, tempat pengeringan dan bedeng-bedeng untuk kuli) berada di sisi jalan poros antara Laboehan dan Deli Toea.

Jumat, November 11, 2016

Sejarah Kota Medan (44): Orang-Orang Jepang di Medan Sejak 1900; Mendapat ‘Teman Duduk’ Selama Pendudukan Jepang



Orang-orang Jepang di Medan sesungguhnya sudah ada sejak doeloe. Mereka ini jauh lebih awal datang ke Medan dibandingkan para serdadu Jepang yang datang kemudian (semasa pendudukan Jepang). Orang-orang Jepang generasi pertama ini bahkan telah menyebar ke berbagai kota di Sumatra Timur dan Tapanuli jauh sebelum masa pendudukan Jepang. Orang-orang Jepang generasi pertama ini datang dari Singapura (suatu pelabuhan yang sangat popular bagi pelaut-pelaut Jepang ketika berlayar ke Asia Tenggara).

De Sumatra post, 21-01-1903
Orang-orang Jepang yang awalnya stay di Singapura mulai tertarik menuju Sumatra Timur karena kota Medan sudah menjadi kota penting tempat dimana banyak orang Eropa.Belanda berbisnis (perkebunan). Arus orang-orang Jepang ini semakin massif sejak 1900. Mereka terbagi dalam dua grup: perdagangan (bisnis) dan pelayan (service) baik di café maupun hotel yang begitu banyak di Medan. Dalam hal berbisnis, orang-orang Jepang kalah gesit jika dibandingkan dengan orang-orang Tionghoa yang sudah sejak lama ada dan telah membangun jaringan bisnis yang kuat antara Singapura/Penang dan Medan.

Orang Jepang Semakin Banyak di Medan

Orang-orang Jepang datang ke Medan mengikuti orang-orang Tionghoa. Kedua bangsa dari timur Asia ini menganggap Singapura adalah pelabuhan transit terpenting di Asia Tenggara, khususnya yang menuju ke Sumatra Timur. Kala itu, daya tarik Sumatra Timur khususnya kota Medan bahkan telah melampaui daya tarik Singapura sendiri.

Jumat, November 04, 2016

Sejarah Kota Medan (43): Nama Jalan di Kota Medan; Nama Belanda dan Tionghoa Dihilangkan dan Kini Diperebutkan


*Sejarah Kota Medan artikel 1-56 Klik di Sini. (Artikel 57 selanjutnya Klik di Sana)
.
Tidak ada lagi nama jalan di era Belanda yang masih eksis hingga ini hari di Kota Medan. Semua telah berganti. Nama-nama Belanda telah diganti, nama-nama Tionghoa juga telah digeser bahkan nama-nama yang terkait kesultanan juga telah diubah. Yang ada sekarang umumnya nama-nama pahlawan. Pahlawan lokal diantaranya Abdullah Lubis (editor Pewarta Deli, anggota dewan kota Medan, salah satu pribumi pertama ke Jepang), Madong Lubis (guru, anggota dewan kota, senior ahli bahasa), Muhamad Nawi Harahap (dewan kota Medan, ketua front nasional di Sibolga pada masa agresi militer Belanda), Arif Lubis editor revolusioner di Sibolga, editor Mimbar Umum di Medan) dan lainnya. Pahlawan nasional seperti Sisingamangaraja (pemimpin perang Batak), Zainul Arifin Pohan (komandan Hisbullah di Jawa), Adam Malik Batubara (menteri luar negeri RI, wakil presiden), Abdul Haris Nasution (KASAD RI, Jenderal Besar RI), Masdulhak Nasution (Residen pertama Sumatra Tengah, tokoh pertama RI yang ditangkap di Jogjakarta pada agresi Militer Belanda dan ditembak mati) dan lainnya.
Buka jalan baru di Medan, 1879
Kota Medan adalah sebuah kota metropolitan yang secara dejure pembangunannya dimulai ketika dibentuk onderfadeeling (kecamatan) Medan dengan menempatkan seorang controleur di kampong Medan pada tahun 1875. Sejak itu pembangunan di Medan tidak pernah berhenti hingga ini hari bagaikan deret ukur yang menjadikan kampong Medan terus tumbuh dan berkembang yang kini menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota Medan di awal pembangunannya sudah menjadi kota melting pot, para contributor orang-orang Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling, keluarga kesultanan dan orang-orang Padang Sidempuan. Diantara ras/etnik di Kota Medan, hanya orang-orang Padang Sidempuan (sudah bermigrasi sejak 1883) yang tergolong berpendidikan dan bergelut di bidang pendidikan (guru), kesehatan (dokter), media (jurnalis), justitie (jaksa dan mantra polisi), dakwah (ulama) dan tentu saja di bidang niaga (pengusaha) dan bisnis (krani). Namun anehnya, hingga tahun 1928 tak satu pun nama-nama yang terkait dengan Padang Sidempuan yang ditabalkan sebagai nama jalan di Kota Medan. Nama-nama yang ditabalkan adalah nama-nama yang terkait dengan Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling dan kesultanan. Di luar itu ada beberapa nama yang terkait dengan Pulau Jawa (gunung Sindoro, gunung Salak) dan nama-nama daerah (Bangka, Madura, Seram, Ambon dan lainnya). Tanpa mengurangi rasa hormat, nama Kartini ditabalkan sebagai nama jalan tetapi tidak ada nama Willem Iskander (guru, pribumi pertama studi ke Belanda, 1857). Nama gunung Lubuk Raya dan gunung Sorik Marapi di afdeeling Padang Sidempuan tidak kalah penting (sumber produksi kopi terbaik di pasar dunia) dari nama gunung yang lain. Nama daerah Sipirok, tidak hanya sumber kopi terbaik juga simbol adanya toleransi beragama yang dijadikan para misionaris sebagai tempat/kantor pengembangan misi di Bataklanden. Di afdeeling Padang Sidempuan, banyak yang layak, tapi tidak satu pun yang ditabalkan sebagai nama jalan di Medan. Singkat kata: ada diskriminasi.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah ko
Baru setelah kemerdakaan, khusunya pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, nama-nama yang terkait dengan afdeeling Padang Sidempuan ditabalkan sebagai nama jalan di Medan, seperti gunung Lubuk Raya, gunung Sorik Marapi dan Willem Iskander. Ironisnya, pada masa kini, di Medan seakan terjadi perebutan nama jalan. Banyak nama jalan, baik yang lama maupun yang baru yang kapabilitasnya tidak lebih baik jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Sjech Ibrahim, Dr. Djabangoen, Radja Goenoeng, Parada Harahap, Dr. Gindo Siregar, Sutan Parlindoengan, Abdul Abbas, SM Amin Nasution dan sebagainya. Bagaimana itu semua terjadi mari kita lacak!

Era Awal Kota Medan: Nama Jalan Sesuai Situs Setempat

Secara teknis lanskap Kota Medan mulai dibangun tahun 1881. Ini terkait pindahnya ibukota afdeeling Deli dari Laboehan (di onderafd. Laboehan) ke Medan (onderafd. Medan) tahun 1879. Pindahnya ibukota, berarti Kantor Asisten Residen Deli juga pindah dari Laboehan ke Medan. Pada tahun 1881 Esplanade (kini Lapangan Merdeka) dibangun sebagai alun-alun kota. Dari alun-alun kota inilah Kota Medan berkembang ke segala arah. Dari alun-alun kota ini pula arah sejumlah jalan yang baru diproyeksikan.

Kamis, November 03, 2016

Sejarah Demonstrasi di Indonesia: Kebebasan Pers Awal Mula Berdemokrasi; Demonstrasi Kali Pertama Dilakukan Tahun 1952



Tiga tokoh demonstran: Nasution, Lubis dan Siregar
Di era penjajahan kolonial Belanda tidak pernah ditemukan demonstrasi, yang ada adalah perang. Demonstrasi bukanlah perang yang ingin menghancurkan satu dengan yang lainnya. Di era penjajahan colonial Belanda domonstrasi dianggap penguasa sebagai perang. Di masa damai di era kemerdekaan Republik Indonesia adalah wajar (meski belum diundangkan). Demonstrasi adalah intrumen alternatif di masa damai untuk memberikan koreksi bagi yang satu terhadap yang lainnya. Demonstrasi selalu dikaitkan dengan pengerahan massa, mengambil tempat di ruang terbuka (halaman, jalanan atau lapangan) untuk menyampaikan pendapat atau tuntutan.  Demonstrasi memiliki garis ‘demarkasi’ yang jelas. Melewati garis dapat berpotensi untuk memicu kekacauan dan bahkan timbulnya ‘perang’. Demonstrasi adalah instrumen koreksi dalam bernegara..

Kebebasan Pers 1951

Munculnya demonstrasi selalu dimulai dari adanya masalah, suatu perbedaan penafsiran apa/bagaimana yang yang terjadi dengan apa/bagaimana yang seharusnya (normative). Demonstrasi dilakukan jika protes (tertulis atau lisan) yang mendahuluinya tidak memenuhi harapan. Demonstrasi yang baik adalah menyuarakan pendapat/tuntutan rakyat banyak (bukan segilintir orang yang mengerahkan massa). Demonstrasi yang bernuansa massa dengan arti demonstrasi itu sendiri.

Gejala serupa inilah yang menimbulkan adanya demonstrasi pada tahun 1952, suatu demonstrasi yang kali pertama ada di Indonesia. Situasi saat itu, situasi dan kondisi sosial-ekonomi sangat buruk (ketersediaan pangan kurang) tetapi pemerintah (baca: penguasa) tidak sejalan dengan harapan rakyat banyak. Saat itu yang menjadi presiden adalah Sukarno. Saat itu roda pemerintahan baru mulai berjalan setelah perang. Pasca perang dengan adanya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, situasi dan kondisi tidak mengalami perbaikan yang signifikan di bidang ekonomi (pangan), politik (munculnya disintegrasi) dan tatacara bernegara yang dipandang sebagian pihak tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Para jurnalis melihat situasi dan kondisi mangalami krisis dan semakin kritis. Mochtar Lubis menyindir Sukarno lewat tulisan di surat kabar Indonesia Raya. Maksud Mochtar Lubis untuk menjaga tidak terulang pada masa pendudukan Jepang dimana rakyat banyak cukup menderita dan bahkan tidak sedikit mati sia-sia untuk kepentingan penguasa (baca: pemerintah militer Jepang). Tulisan Mochtar Lubis tampaknya telah menyinggung perasaan Sukarno. Pemerintah mulai melakukan tindakan represif.

Selasa, November 01, 2016

Abdul Abbas dan Gele Harun: Pemimpin Republik yang Tetap Setia Terhadap Penduduk Lampung




Residen Lampung pertama: Abdul Abbas dan Gele Harun
Mr. Abdul Abbas adalah residen pertama Lampung. Mr. Abdul Abbas dikudeta di Lampung ketika masih menjabat sebagai Residen. Mr. Abdul Abbas lalu digantikan oleh Badril Munir. Namun dalam perkembangannya, tokoh-tokoh Lampung mengoreksinya dengan mengangkat Gele Harun sebagai residen baru menggantikan residen yang lama Rukadi Wiryoharjo.

Mr. Abdul Abbas dan Mr. Gele Harun adalah dua ahli hukum, pemimpin republik yang selalu setia terhadap penduduk Lampung. Meski mereka berdua bukan asli Lampung, tetapi kepedulian mereka terhadap penduduk Lampung tidak ada yang menandinginya sekalipun tokoh asli Lampung sendiri. Oleh karenanya penduduk Lampung seharusnya mengapresiasi kedua tokoh ini. Jika keduanya bukan ‘wong kito’ Lampung, lantas siapa kedua ahli hukum ini? Mari kita lacak!.

Mr. Abdul Abbas, Anggota PPKI

Tidak ada orang Lampung yang menjadi anggota BPUPKI, tetapi ada orang Tapanuli yang menjadi anggota PPKI. Mr. Abdul Abbas adalah anggota PPKI yang menyampaikan berita kemerdekaan RI yang kemudian diangkat menjadi Residen Lampung. Orang Lampung sendiri tidak terlalu mengenal siapa Abdul Abbas dan darimana asalnya, orang Lampung sendiri hanya mengenal Abdul Abbas pernah sebagai Ketua Shu Sangi Kai Lampung di jaman penduduk Jepang.

Setelah lulus kuliah rechtshoogeschool (sekolah tinggi hukum), Abdul Abbas tidak pulang kampong tetapi lebih memilih berprofesi sebagai  pengacara dan berkiprah di Tandjoeng Karang (Lampong)

Mr. Gele Harun, Anak Dr. Harun Al Rasjid

Pada tahun 1938, Gele Harun baru pulang studi sekolah hukum di Leiden. Gele Harun membuka kantor pengacara di Tanjung Karang. Mr. Abdul Abbas dan Mr. Gelen Harun adalah dua pengacara pemberani di Lampung di era colonial Belanda.

Mr. Abdul Abbas dan Mr. Gele Harun, Dua Tokoh Republik yang Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan

Abdul Abbas dan Gele Harun adalah asal Padang Sidempuan. Abdul Abbas lahir di Medan tahun 1906 dan Gele Harun lahir di Sibolga tahun 1910. Ayah Abdul Abbas, kelahiran Sipirok bernama Mangaradja Siregar yang memulai karir sebagai djaksa di Sibolga lalu dipindahkan ke Medan. Sedangkan ayah Gele Harun, kelahiran Padang Sidempuan, lulusan docter djawa school  (1903) yang memulai karir di Padang, kemudian di Sibolga lalu pindah ke Lampung.

Senin, Oktober 31, 2016

Sejarah Kota Medan (42): Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan (1954); Orang Padang Sidempuan yang Memperkenalkan Bahasa Melayu dalam Pers Belanda (1874)



Orang Padang Sidempuan tidak hanya pionir menjadi guru di Medan (1888), tetapi juga orang Padang Sidempuan pionir dalam pers berbahasa Melayu di Medan (1902). Untuk sekadar diketahui, tatabahasa Melayu justru awal pertama kali disusun di Padang Sidempuan (1883). Untuk sekadar diketahui juga editor pribumi pertama pada surat kabar berbahasa Melayu adalah orang Padang Sidempuan (1897). Uniknya pengajaran bahasa Melayu pertama kali dilakukan di Leiden dan salah satu pengajarnya adalah orang Padang Sidempuan (1910). Uniknya lagi, orang-orang Padang Sidempuan yang mentransformasikan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (1934). Dalam Kongres Bahasa di Medan tahun 1954 ahli bahasa Indonesia paling senior adalah ahli bahasa Indonesia yang berasal dari Padang Sidempuan.

***
Bahasa Melayu sudah lama dikenal. Bahasa Melayu adalah lingua franca. Bahasa Melayu umumnya ditulis dalam aksara Arab. Ketika orang Eropa memperkenalkan aksara Latin, penduduk di Mandailing en Angkola mengadopsinya dan lalu menulis bahasa Melayu dalam aksara Latin. Aksara Latin yang ditulis dari kiri ke kanan lebih sesuai dengan aksara Batak yang bisa ditulis dari kiri ke kanan dan juga dari atas ke bawah. Oleh karenanya di Mandailing dan Angkola menjadi lebih biasa dengan aksara Latin dan aksara Batak. Aksara Latin tidak hanya digunakan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu dan juga mulai digunakan dalam bahasa Batak.

Ketika di Minangkabau masih umum aksara Arab dalam bahasa Melayu (juga bahasa Minangkabau), di Mandailing dan Angkola sudah umum menggunakan aksara Latin dalam berbahasa: Belanda, Melayu dan Batak. Adopsi aksara Latin ini lebih awal di Mandailing en Angkola karena semakin sering mereka berpegian ke Padang sebagai ibukota provinsi (kala itu Residentie Tapanuli masih bagian dari Province Sumatra’s Westkust yang beribukota di Padang). Di Padang sendiri bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Minangkabau, bahasa Melayu dan bahasa Belanda.

Sementara itu di Padang belum ada surat kabar berbahasa Melayu, yang ada hanya surat kabar berbahasa Belanda. Orang-orang terpelejar Mandailing dan Angkola yang bisa menggunakan tiga bahasa: Melayu, Belanda dan Batak. Sejak terbit surat kabar berbahasa Belanda, Sumatra Courant di Padang orang-orang Mandailing en Angkola hanya berlaganan surat kabar Sumatra Courant, karena surat kabar berbahasa Melayu belum ada. Surat kabar ini oleh penduduk Mandailing dan Angkola tidak hanya dipandang sebgai ruang berita tetapi juga ruang promosi dan ruang menyampaikan pendapat sebagai surat pembaca. Anehhnya, orang Mandailing dan Angkola menulis surat pembaca dan memasang iklan tidak dalam bahasa Belanda tetapi dalam bahasa Melayu. Hal ini karena pembaca yang disasar adalah penduduk pribumi yang berlangganan Sumatra Courant. Ternyata redaksi mengabulkannnya. Inilah awal perkenalan bahasa Melayu di dalam pers Belanda.

Sumatra-courant, 08-04-1874
Para pedagang Tapanuli di Padang Sidempoean memasang iklan (awal 1870an) di surat kabar berbahasa Belanda Sumatra Courant yang terbit di Padang. Uniknya iklan-iklan yang di pasang para pedagang asal Tapanuli ini dibuat dalam bahasa Melayu. Tentu saja iklan itu ditujukan untuk para pedagang pribumi atau para pedagang Tionghoa. Pemasang iklan yang dimaksud tersebut berdomisili di Padang Sidempuan. Paket-paket yang diperdagangkan sangat beragam, seperti hasil peternakan (sapi, kerbau, kuda, dan kambing), hasil hutan (kulit manis, rotan), hasil budidaya pertanian seperti beras, kopi, gula aren serta hasil industry kerajinan (lihat Sumatra-courant, 08-04-1874).

Minggu, Oktober 23, 2016

Sejarah Kota Medan (41): Pemilu di Era Belanda; Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Dewan Kota Medan



Pemilihan umum (Pemilu) di era masa kini berbeda dengan di era pemerintahan colonial Belanda. Pada masa ini setiap warga negara berumur 17 tahun ke atas atau sudah menikah memiliki hak pilih satu suara (one man, one vote). Di era Belanda, prinsip ini hanya berlaku untuk orang-orang Eropa/Belanda. Untuk orang pribumi/timur asing aturannya dibuat terpisah yang mana hanya orang-orang tertentu yang memiliki hak pilih satu suara. Kriteria calon pemilih ini didasarkan pada minimum tingkat pendapatan tertentu.

Di Kota Medan Pemilu untuk memilih anggota dewan kota (gemeeteraad) dimulai pada tahun 1912. Untuk anggota dewan kota yang berasal dari pribumi/timur asing baru disertakan pada tahun 1918. Jumlah kursi untuk pribumi/timur asing hanya ada tiga kursi. Pada Pemilu 1918 pribumi yang terpilih adalah Kajamoedin gelar Radja Goenoeng. Ini berarti Radja Goenoeng adalah orang pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota (gemeeteraad) Medan.

De Preanger-bode, 01-02-1921
Radja Goenoeng pada saat terpilih menjadi anggota dewan kota, menjabat sebagai penilik sekolah di Medan dan Sumatra’s Oostkust (Sumatera Timur). Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, kelahiran Hoetarimbaroe, Padang Sidempoean lulus dari sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (Bukitting) pada tahun 1897. Setelah cukup lama mengajar di Padang Sidempuan dan berbagai tempat di Residentie Tapanoeli diangkat menjadi penilik sekolah dan ditempatkan di Medan (1915). Dalam karirnya sebagai guru maupun penilik sekolah Radja Goenoeng telah banyak menulis buku pelajaran sekolah dan diterbitkan.

Jumlah kursi di dewan dari waktu ke waktu bisa berubah (bertambah atau berkurang).

Onde-afdeeling Angkola en Sipirok

Pada masa ini jumlah dewan pada level terendah di Indonesia sesuai dengan banyaknya kabupaten/kota. Di era pemerintahan colonial Belanda, di seluruh Hindia Belanda jumlah dewan tidaklah banyak. Pada tahun 1921 jumlah dewan hanya sebanyak 53 dewan (lihat De Preanger-bode, 01-02-1921). Uniknya, hanya satu dewan yang berada di level onder-afdeeling (kecamatan), yakni Angkola en Sipirok (kini Padang Sidempuan). Sementara di level afdeeling juga hanya terdapat satu yakni di Minahasa (lihat Tabel-1). Selebihnya terbagi ke dalam sejumlah kota (gemeete) dan sejumlah kabupaten (beberapa afdeeling).

Rabu, Oktober 19, 2016

Simpang Siur Sumpah Pemuda, Ini Faktanya (4): Analisis yang Keliru dan Hasil Analisis yang Seharusnya; Sukarno dan Hatta Menghormati Parada Harahap

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Sumpah Pemuda dalam blog ini Klik Disin

Parada Harahap (duduk paling kanan)
Putusan Kongres dari Kongres Pemuda (1928) dan Hari Sumpah Pemuda dari Kongres Pemuda (1953) adalah dua fakta yang berbeda waktu tetapi berkaitan. Sukarno dan Hatta tidak terlibat dalam dua kongres tersebut. Tokoh utama di latar belakang kedua kongres tersebut adalah Parada Harahap baik dalam Kongres Pemuda 1928 maupun dalam Kongres Pemuda 1953. Parada Harahap memfasilitasi Sukarno dan Hatta untuk membuka jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia melalui pembentukan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia). PPPKI membuka ruang untuk diselenggarakannya Kongres Pemuda (1928). PPPKI juga membentuk ruang dalam penyelenggaraan Kongres Indonesia Raya (1833) yang menjadi wadah Sukarno dan Hatta untuk menjadi calon pemimpin Indonesia dalam terwujudnya kemerdekaan. Dalam mempertahankan kemerdekaan Parada Harahap mendukung Sukarno dan Hatta. Ketika dwitunggal Sukarno dan Hatta retak (1956), Parada Harahap tidak bisa berbuat. Parada Harahap menganggap Sukarno dan Hatta sama pentingnya. Parada Harahap tidak memihak (abstain) dalam soal retaknya dwitunggal: Sukarno-Hatta. Parada Harahap meninggal dunia tahun 1959. Sejak itu tidak ada lagi orang Indonesia yang kompetetn untuk pemersatu.

Analisis yang Keliru dan Hasil Analisis yang Seharusnya

Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919); Parada Harahap
Tiga tokoh paling penting (yang selalu muncul) dalam perjalanan kebangkitan bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan RI hingga mempertahankannya adalah Parada Harahap, Sukarno dan Hatta. Parada Harahap adalah senior, sedangkan Sukarno dan Hatta adalah junior. Parada Harahap adalah mentor politik Sukarno dan Hatta. Parada Harahap memahami sepenuhnya realitas, sedangkan Sukarno dan Hatta memahami sepenuhnya teoritis. Kombinasi realitas dan teoritis ini menjadi powerful dalam kebangkitan bangsa. Lantas kombinasi tiga tokoh paling revoluioner ini (Parada Harahap, Sukarno dan Hatta) menjadi powerful dalam proses (percepatan) mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Parada Harahap (berdasarkan perjalanan dirinya melawan kolonialisme sejak 1916) mengembangkan gagasan dan memunculkan ide mempersatukan semua organisasi kebangsaan dan mempelopori terbentuknya Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) sebagai wadah bersama (semacam perahu) bagi semua orang Indonesia baik yang berasal dari organisasi kebangsaan bersifat kedaerahan (seperti Boedi Oetomo, Sumatranen Bond) maupun organisasi (politik) bersifat nasional (seperti PSI dan termasuk PNI).

Senin, Oktober 17, 2016

Simpang Siur Sumpah Pemuda, Ini Faktanya (3): Parada Harahap Turun Tangan Lagi; Putusan Kongres (1928) Diperbarui dan Diperingati Sebagai Hari Sumpah Pemuda (1953)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Sumpah Pemuda dalam blog ini Klik Disin

Parada Harahap bukanlah politisi, juga bukan birokrat (petugas pemerintah Belanda maupun pemerintahan militer Jepang). Parada Harahap murni seorang jurnalis. Meski begitu, untuk soal kebangkitan bangsa dan perjuangan mewujudkan kemerdekaan, tingkat revolusionernya tidak ada yang menandingi (bahkan sekaliber Sukarno pun tidak). Parada Harahap bekerja dengan penanya. Pena yang sangat tajam.

Mochtar Lubis pimpin demosntrasi kebebasan pers (1953)
Parada Harahap memulai karir jurnalistik sebagai editor surat kabar Benih Merdeka tahun 1918 di Medan, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka 1919 di Padang Sidempuan (kampong halamannya). Top performance Parada Harahap sebagai pemilik portofolio tertinggi dari tokoh nasional terlihat sejak mendirikan surat kabar Bintang Timoer di Batavia (1926). Jelang berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia, Parada Harahap mendirikan surat kabar Tjaja Timoer (1938). Pada masa pendudukan Jepang, Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Baroe di Semarang. Sejak kembali Belanda (agresi militer Belanda) Parada Harahap memimpin pers republik di Jakarta dan kemudian mengasuh surat kabar Detik di Bukittinggi (ibukota RI di pengungsian). Pada tahun 1951, Parada Harahap mengakuisisi surat kabar legendaris berbahasa Belanda (sejak 1850an), Java Bode. Di surat kabar ini pada tahun 1925, Parada Harahap mengirim tulisan-tulisannya tentang kebangsaan (tanah air warisan nenek moyang) ketika berpolemik dengan pers asing/Belanda. Sambil mengasuh Java Bode, Parada Harahap tahun 1952 mendirikan perguruan tinggi Akademi Wartawan Indonesia di Jakarta. Parada Harahap yang kini (sejak 1951) menjadi sekretaris Kadin Nasional (pada tahun 1927 mendirikan Kadin pribumi di Batavia), sejak tahun 1953, Parada Harahap adalah Ketua Kopertis (Perhimpuan Perguruan Tinggi Swasta).

Pasca pengakuan kedaulatan RI, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta tidak melupakan Parada Harahap, senior mereka. Sukarno dan Hatta meminta Parada Harahap untuk memimpin misi ekonomi Indonesia untuk studi banding ke 14 negara di Eropa (1954). Laporannya yang dibukukan dan didistribusikan ke publik dijadikan sebagai buku dengan judul Rencana Lima Tahun Pembangunan Ekonomi Indonesia (buku repelita pertama!). Misi ekonomi yang dipimpin Parada Harahap ini (di era republik) seakan menjadi misi ekonomi Indonesia kedua. Pada tahun 1933, Parada Harahap memimpin misi ekonomi Indonesia ke Jepang di era kolonial Belanda (termasuk di dalamnya, M. Hatta sebagai anggota rombongan yang baru lulus sarjana ekonomi di Belanda).