Rabu, Januari 13, 2016

Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin
.
Fakta lama, interpretasi baru: Ambuaru (Haru), Dilli (Deli) dan Aru (de Aru atau d'Aru atau Daru) adalah tiga tempat yang berbeda (lihat peta 1619, 1750, 1752 dan 1862). Sementara penulisan nama Dilli (Portugis) menjadi Delli (Inggris) dan kemudian Deli (Belanda) adalah nama tempat yang sama di dalam tiga era yang berbeda (lihat peta 1750, laporan Anderson 1826 dan peta 1862).  Sedangkan tiga bandar penting yang ditaklukkan oleh Majapahit adalah bandar Tandjongpura di Haru (di muara sungai Wampu di Langkat), bandar Sampei (di muara sungai Boeloe Tjina/Hamparan Perak) dan bandar Panai (di muara sungai Baroemoen di Aru). Lantas apa hubungan Kerajaan Aru di Baroemoen dengan Tiongkok dan apa pula hubungan bandar Sampei di Boeloe Tjina dengan bandar 'Kota Tjina' di Maryland/Marelan? Mari kita lacak!.

Kerajaan Aru, menurut laporan Pinto (1539) dibatasi oleh lautan dan laut pendalaman (danau Toba) dan pertambangan Menangkabau (Ophir) ibukotanya Panaju yang berada di sungai Paneticao (sungai Batang Pane). Kerajaan Malaka dan Kerajaan Atjeh berkembang setelah kejayaan Kerajaaan Aru mulai memudar di selat Malaka. Kerajaan Aru yang beribukota di pedalaman sungai Baroemoen di Padang Bolak (river Baroemoen of Paneh) adalah kerajaan besar yang tidak ada melebihinya di Nusantara saat itu (pasca Sriwijaya Jambi/Palembang) memiliki peran besar membesarkan kerajaan-kerajaan di Atjeh melalui koneksi pedagang orang-orang Moor. Keutamaan  bandar-bandar di Atjeh adalah turut menyebarluaskan agama Islam di Baroemoen, jauh sebelum penyebaran agama Islam di Melayu (Malaka). Lalu tiba waktunya, Kerajaan Aru, kerajaan Islam pertama ditaklukkan oleh Madjapahit (beragama Hindu) tetapi tidak mampu menaklukkan bandar-bandar di Atjeh. Pada fase berikutnya, Kerajaan bentukan Atjeh di Deli (Batak) ditaklukkan oleh Malaka (Portugis). Dengan demikian, kejayaan Kerajaan Aru (di Baroemoen) adalah kurun waktu yang berbeda dengan munculnya Kerajaan Deli (Batak) di hulu sungai Deli (Deli Toea). Kerajaan ini lalu dihancurkan oleh Portugis (dari Malaka) yang kemudian Kesultanan Atjeh membentuk Kesultanan Deli (Melayu) di muara sungai Deli (Laboehan Deli). Pada fase berikutnya, Kesultanan Deli bergantian berada di bawah supremasi Kesultanan Atjeh dan Kesultanan Siak hingga akhirnya Kesultanan Deli dibawah jajahan Belanda.
Peta kuno Kerajaan Aru, 1619 (peta Portugis)
Ibarat ketika Medan masih sebuah kampong, Padang Sidempuan sudah menjadi kota besar, hal yang mirip, ketika Kesultanan Deli di muara sungai Deli belum ada, Kerajaan Aru di muara sungai Batang Pane (hulu sungai Barumum) adalah kerajaan besar. Kerajaaan (Aru) dan kesultanan (Deli) muncul atas dasar terjadinya perdagangan yang intens, yakni perdagangan yang secara historis didukung oleh ekonomi komoditi kuno yang diusahakan oleh penduduk Batak di pedalaman, seperti kemenyan, benzoin, kamper, emas, lada dan tembakau. Faktor penduduk Batak sangat sentral dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di wilayah yang kini disebut wilayah Sumatra Utara.

Ada yang menyebut Kesultanan Aru atau Kesultanan Haru cikal bakal Kesultanan Deli. Itu jelas keliru. Yang mungkin benar adalah Kerajaan Deli (Batak) adalah cikal bakal Kesultanan Deli (Melayu). Sedangkan Kerajaan Deli adalah suksesi bandar Sam Pei, suatu bandar (Cina) di teluk Belawan di muara sungai Boeloe Tjina (di wilayah dimana Hamparan Perak kini berada) yang digantikan oleh penduduk Batak lalu kemudian berpindah tempat ke hulu sungai Deli (kini Deli Toea). Lalu Kesultanan Deli dibentuk di muara sungai Deli (Laboehan Deli). Bagaimana itu terjadi? Mari kita lihat fakta-faktanya.

Peta Kerajaan Aru dan Kerajaan Deli, 1818 (Peta Belanda)
Mengidentifikasi dimana letak Kerajaan Aru (Battak Kinggom), ini ibarat mencari sesuatu yang hilang, carilah di tempat yang terang, meski sesuatu itu hilangnya di tempat yang gelap. Ini artinya, jika mencari sesuatu di tempat yang gelap tidak akan menemukan apa-apa. Semakin sulit, apalagi yang dicari itu sesuatu yang hilang di masa lampau. Fakta-fakta baru (yang mungkin masih samar) yang kemudian ditemukan, tidak akan membantu melukiskan gambar yang seutuhnya jika pencarian itu hanya terbatas dan difokuskan di tempat yang gelap. Ibarat, setiap orang buta coba mendeskripsikan secara dekat wujud gajah itu seperti apa. Bagian-bagian yang bisa dilaporkan hanya belalai, ekor dan kaki. Gading tidak terlaporkan karena tempatnya di bagian atas yang tidak terjangkau. Karenanya,  wujud gajah hanya akan terdeskripsikan secara lengkap dan jelas jika mengambil jarak ketika memandangnya di saat terang benderang.

Keberadaan Penduduk Batak sebagai Faktor Terpenting Munculnya Kerajaan dan Kesultanan

Untuk memahami munculnya kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut mulailah memahami pertukaran ekonomi di muara sungai Batang Pane dan muara sungai Sangkilon di Padang Lawas (Tapanuli bagian Selatan). Sungai Batang Pane adalah jalur terawal perdagangan kamper, benzoin, kemenyan dari penduduk Batak. Sungai Sangkilon adalah jalur terawal perdagangan emas dari penduduk Batak. Di sepanjang DAS Batang Pane dan Sangkilon terdapat banyak candi-candi purba. Pusat dari perdagangan ini ada di muara sungai Batang Pane yang kemudian lebih dikenal sebagai Pertibie (Portibi). Hingga ini hari di Portibi masih terlihat jelas candi-candi besar dari era Hindu/Budha.

Selasa, Januari 12, 2016

Sejarah Kota Medan (12): Tjong Yong Hian, Meninggal Mendadak Setelah Ketahuan Memiliki Dua Kewarganegaraan (China dan Nederlandsche Indie)



Tjong Yong Hian diangkat menjadi Kapten, 1893
Tjong Yong Hian lahir tahun 1855 di Kainchew (Canton). Setelah lulus sekolah, awalnya ikut membantu toko ayahnya. Tjong Yong Hian merantau ke Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Posisinya digantikan oleh adiknya Tjong A Fie untuk membantu sang ayah. Tahun pertama Tjong Yong Hian berada di Batavia hingga tahun 1877. Pada tahun itu Tjong Yong Hian di Pulau Onrust (pulau di teluk Jakarta) dan setelah itu pindah ke Penang.

Di kampong halaman, ayah Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie yang membantu ayahnya di toko, berencana menyusul ke Penang setelah mengetahui Tjong Yong Hian sudah pindah ke Penang. Keluarga ini menjual tokonya di kampong halaman dan lalu merantau ke Penang.  

Pada tahun 1880 keluarga Tjong Yong Hian di Penang pindah ke Sumatra’s Ooskust di Laboehan Deli, dimana orang-orang suku Keh (Hokkian) banyak berdiam. Keluarga ini secara bersama-sama mendirikan perusahaan yang diberi nama Ban Yoea Tjong. Empat tahun kemudian (1884) Tjong Yong Hian pindah dan diangkat sebagai letnan Cina di Medan. Oleh karena Tjong Hian mendapat gaji, lalu memilih mundur dari usaha keluarga di Laboehan Deli.

Tjong A Fie sendiri pada tanggal 4 November 1885 oleh controleur Laboehan Deli diangkat menjadi letnan di Laboehan Deli. Pada tanggal 7 Juni 1886 Tjong A Fie diangkat sebagai kepala suku Keh di Laboehan Deli.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya koran-koran berbahasa Belanda).

Surat Kepada Pembaca: Publish or Perish



Blog ini launching 11-1-11. Ini berarti pada hari ini usia blog Tapanuli Selatan Dalam Angka berulang tahun yang kelima. Kepada pembaca, terimakasih apresiasinya. Tepat pada pukul 9-9-9 ini jumlah kunjungan saudara telah mencapai 535 143 kali tayang dari 265 artikel yang diupload. Itu artinya rata-rata 100.000 kali kungjungan tayang tiap tahun, dan rata-rata 54 artikel tiap tahun atau satu artikel per minggu.

Di era internet ini, banyak hal yang bisa ditulis. Akan tetapi waktu sangat terbatas. Saya hanya menulis blog ini jika sempat saja (biasanya jelang tengah malam), umumnya pada saat ‘nonton bola’. Saya tidak benar-benar menonton bola, hanya perlu melihat proses terjadinya gol saja. Jadi, produktivitasnya sangat rendah. Karena itu, saya berharap saudara juga harus mulai menulis dan buat blog sendiri. Sebab di era internet ini angka partisipasi membaca semakin meningkat. Alat membaca yang canggih sudah ada ditangan setiap orang Indonesia. Gunanya blog itu adalah untuk tempat mengembangkan ide yang muncul. Ide biasanya datang secara random. Supaya ide itu tidak hilang segera logkan dalam blog. Jadi tergantung kita: ditulis atau hilang sama sekali (publish or perish). Jangan pikirkan tulisan itu disajikan bagus atau tidak, yang penting ada idenya. Itu intinya. Selamat menulis dan punya blog sendiri. Salam dari Depok.

Sabtu, Januari 02, 2016

Sejarah Kota Medan (11): Sultan Deli, Setiap Berkolaborasi dengan Luar, Penduduk Batak di Deli Selalu Disingkirkan



Kepala suku Batak di Deli, 1870
Sesungguhnya antara penduduk Batak dan penduduk Melayu yang bertetangga di Deli sejak doeloe sudah banyak yang bersaudara (terjadi perkawinan). Kedua belah pihak membangun ekonomi lada hitam. Penduduk Batak di belakang garis pantai aktif dalam produksi lada hitam sementara penduduk Melayu di pantai aktif dalam perdagangan komoditi. Kedua belah pihak bersifat mutualistik, peran masing-masing bersifat komplemen (saling memperkuat). Namun Sultan Deli yang hanya menguasai Laboehan Deli dan Pertjoet memiliki hitung-hitungan sendiri terhadap penduduk Melayu maupun penduduk Batak. Sultan Deli bergerak dengan caranya sendiri berkolaborasi dengan pihak luar yang kerap merugikan penduduk: tidak hanya merugikan penduduk Batak tetapi juga penduduk Melayu sendiri. Bagaimana itu terjadi? Mari kita lacak!  

***
Sultan di Deli, 1870
Laboehan Deli adalah kota penting di Deli yang terletak di muara sungai Deli. Sementara kota lainnya, tidak jauh dari Laboehan Deli terdapat kota kuno bernama Sampei, kota yang berada di pinggir sungai Boeloe Tjina dengan pintu masuk muara sungai Belawan. Pelabuhan Sampei sebagai pelabuhan ekspor lada hitam—yang dibudidayakan penduduk Batak sejak era sebelumnya—lalu digantikan oleh Laboehan Deli.

Kota Sampei kemudian berubah nama menjadi Boeloe Tjina dan kemudian menjadi Hamparan Perak. Tiga pelabuhan penting di pantai timur Sumatra di dalam buku Negarakertagama adalah Panai (muara sungai Baroemoen), Haroe (muara sungai Wampu) dan Sampei (muara sungai Belawan/Boeloe Tjina). Pelabuhan Sampei pada awalnya dihuni oleh mayoritas penduduk Batak.

Sultan Deli Perang dengan Suku Batak: Perdagangan Lada Macet

Popularitas Laboehan Deli semakin kencang ketika Deli yang pernah ditaklukkan Sultan Siak (1770), pada tanggal 8 Maret 1811 pemimpin Deli, Mangedar Alam, oleh pangeran Siak diberi gelar Sultan. Sejak itu, Deli semakin dikenal secara luas  yang mana pemimpinnya adalah Sultan Deli dan beribukota di Laboehan Deli.