Senin, April 18, 2016

Rencana Bandara Padang Sidempuan (1935): Ditolak karena Bahaya Imperialisme

*Semua artikel Sumatera Tenggara di Asia Tenggara dalam blog ini Klik Disini


Pesawat pertamakali mendarat di Indonesia adalah di Medan. Dari Medan ke Singapura dan dari Singapura ke Batavia. Itu terjadi pada tahun 1924. Penerbangan pertama ini merupakan langkah radikal dalam transportasi Belanda (Nederland) dengan Indonesia (Nederlandsch Indie). Jalur perdana Medan-Singapoera-Batavia ini kemudian menjadi jalur internasional dari Batavia ke Eropa/Belanda. Namun demikian, penerbangan domestik justru dimulai di Jawa baru kemudian menyusul di Sumatra.

Pembicaraan tentang jalur penerbangan di langit Sumatra baru dimulai pada tahun 1926. Hal ini dimulai dari rencana sebuah maskapai membuat jalur Batavia-Telok Betong. Bandara Telok Betong ini akan menjadi jalur entri memasuki Sumatra yang akan dikembangkan terus ke utara hingga ke Kota Radja via Moeara Bliti, Pajacombo, Padang Sidempoean atau Rautau Prapat atau Gunung Toea lalu ke Medan. Dari Medan diperluas ke Kota Radja. Jalur Medan-Padang Sidempuan secara khusus menjadi prioritas jika Rantau Prapat yang akan dipilih  yang juga akan mencakup wilayah yang luas baik ke Toba maupun ke timur (De Indische courant, 15-07-1926).

Jalur ini direncanakan untuk memenuhi aviation jalur tengah Sumatra, Jalur tengah ini selain untuk angkutan orang juga untuk mendukung pengakutan pos. Juga telah datang usul agar dibuat jalur Padang-Singapoera, namun maskapai baru membatasi jalur Medan-Singapora-Batavia (yang akan beroperasi tahun 1930). Penerbangan Batavia-Medan secara militer sudah dimulai pada tahun 1928.

Pada bulan Agustus 1930 secara resmi akan dibuka penerbangan sipil secara permanen dari Batavia-Medan. Tentang bagaimana kesiapan bandara Medan telah ditinjau oleh Ir. Valkenburg. Untuk merealisasikan ini di Pakan Baru sudah disiapkan bandara pembantu (jika sewaktu-waktu terjadi pendaratan darurat). Juga hal yang sama telah dilakukan di Laboehan Ruku dan Rantau Prapat. Untuk yang di Rantau Prapat lahan yang digunakan adalah lahan jalan raya. Untuk tujuan-tujuan pendaratan darurat ini juga di Kota Pinang tersedia sebuah situs yang cocok tanpa memerlukan upaya pekerjaan yang lebih besar. Sementara ini yang paling memungkinkan adalah di Padang Lawas, di mana sudah terdapat sebuah situs yang berukuran 650-200 meter. Untuk hanggar di Medan masih berproses yang akan diinstal oleh Kantor Teknis dari Bandung. Persiapan ini selesai awal Agustus yang secara keseluruhan menelan biaya f60.000. (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-05-1930).

Setelah Batavia Medan sukses, giliran berikutnya adalah Batavia-Padang. Pada tahun 1934, atas dukungan pemerintah di Sumatra’s Westkust dalam mendukung permintaan bandara di Padang. Pembangunan bandara di Padang ini akan menelan biaya sebesar lima ribu gulden. Kini pembangunan Bandar itu telah dimulai. Bandara ini akan membuka koneksi dengan berbagai daerah di pantai barat Sumatra. Seperti yang kita dilaporkan beberapa waktu lalu sudah ada maskapai yang berminat untuk jalur Batavia, Benkoelen, Padang (dengan koneksi berikutnya melalui Padang Sidempoean, Toba ke Medan). Terkait dengan ini penting untuk menganggap pembangunan bandara di lndrapoera yang layanan berasal dari Sungei Penoeh (De Sumatra post, 18-05-1935).

De Sumatra post, 04-11-1935
Setelah memulai pembangunan bandara di Padang, giliran berikutnya adalah pembangunan bandara di Padang Sidempuan, yang merupakan wujud rencana pengembangan jalur Medan-Padang. Sebagaimana yang dilaporkan Aneta yang dikutip De Sumatra post, 04-11-1935 bahwa bandara Padang Sidempuan ini Dewan Kota (Plaatselijken Raad) sudah membeli lahan di Sihitang yang nilai seribu gulden. Meskipun bandara ini untuk pengembangan bandara transit, tetapi untuk sementara akan digunakan untuk bandara pembantu jika sewaktu-waktu terjadi pendaratan darurat antara Padang dan Medan.

Rencana pembangunan bandara Padang Sidempuan ini ternyata mendapat penolakan dari sebagian penduduk sebagaimana dilaporkan oleh De tribune: soc. dem. Weekblad, 16-12-1935.  Penolakan ini di satu sisi dianggap penduduk lebih pada untuk mempromosikan penerbangan militer dan sipil yaitu untuk persiapan perang terbuka dan rahasia imperialism Belanda, sementara di sisi lain penduduk banyak yang lapar dan kesusahan.

Surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, sejak 1919
Penolakan pembangunan bandara Padang Sidempuan ini sangat khas. Hanya terjadi di Padang Sidempuan. Pada masa itu, kebutuhan penerbangan masih merupakan kebutuhan-orang-orang Eropa baik pejabat pemerintah maupun para wisatawan. Untuk kebutuhan penduduk pribumi jelas belum diperhitungkan (karena dianggap tidak layak secara financial). Namun bukan disitu intinya. Penduduk Padang Sidempuan pada tahun-tahun itu, sudah sangat maju secara social dan secara politik. Bahkan pada tahun 1919 di Padang Sidempuan sudah terbit surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka, surat kabar yang secara harpiah telah memberikan pencerahan bagi penduduk apa implikasinya imperialism dan apa manfaatnya independen (kemerdekaan). Itulah Padang Sidempuan, tempat kelahiran tokoh-tokoh penting Indonesia yang anti imperialis (penjajahan).

***
Rencana pembangunan bandara Padang Sidempuan lambat-laun semakin redup dan hilang dari program pemerintah kota. Pada masa pendudukan Jepang berita-berita rencana pembangunan bandara di Tapanoeli jika tidak terdengar. Pembangunan bandara di Tapanoeli baru muncul dan tiba-tiba semasa agresi militer Belanda. Kebutuhan bandara ini dimaksdukan untuk memperkuat pergerakan militer Belanda yang sudah ada. Jalur darat dari Medan via Pematang Siantar dan Tarutung (tengah) dan Rantau Prapat dan Gunung Tua (timur). Jalur laut dari Teluk Tapanuli di Sibolga. Untuk jalur udara lokasi yang dipilih adalah Pinang Sori. Bandara di Padang Sidempuan baru direncanakan tahun 1975 dan selesai dibangun tahun 1978 di Aek Godang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.  

Tidak ada komentar: