Jumat, Juli 01, 2016

Sejarah Kota Medan (27): Sutan Gunung Tua, Murid Pertama Nommensen yang Menjadi Jaksa di Medan; Kakek PM Amir Sjarifuddin



Amir Sjarifoeddin, semasa remaja di Medan
Orang Medan hanya mengenal Amir Sjarifuddin kelahiran Medan yang pernah menjadi Perdana Manteri Republik Indonesia. Tidak hanya itu. Kakek Amir Sjarifuddin yang bernama Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua adalah jaksa pribumi pertama di Medan. Ayah Amir Sjarifuddin bernama Djamin gelar Baginda Soripada memulai karir sebagai mantri polisi di Medan sebelum menjadi jaksa. Sutan Gunung Tua sendiri sebelum diangkat menjadi jaksa adalah penulis (schrijver) di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempuan. Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua adalah murid pertama Nommensen di Sipirok.

Dari Sipirok ke Medan, Murid Pertama Nommensen

Saat Ludwig Ingwer Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, Sutan Gunung Tua sudah tinggal di Medan. Murid-murid Nommensen tentu saja sudah banyak yang tinggal di Medan. Diantara murid-murid Nommensen di Medan, Sutan Gunung Tua adalah yang tertua. Sebab Sutan Gunung Tua adalah murid pertama Nommensen sejak kehadirannya di Tanah Batak.

Nommensen tiba di Sipirok menyusul dua pendeta Jerman, Heine dan Klammer. Di Sipirok sendiri sudah ada dua pendeta Belanda, Gustav van Asselt dan Betz. Empat pendeta yang pertama mengadakan rapat 7 Oktober 1861 huta Parau Sorat (yang menjadi hari kelahiran HKBP). Hasil rapat itu yang terpenting membagi wilayah misi: Belanda di Angkola dan Sipirok, Jerman di Silindung dan Toba. Keputusan yang kedua adalah dalam fase transisi ini kedua belah pihak mendirikan sekolah rakyat di Parau Sorat karena belum ada sekolah yang dibangun oleh penduduk di Sipirok. Sekolah itu berdiri tahun 1862 yang mana gurunya adalah Nommensen yang baru datang di Sipirok. Salah satu murid sekolah swasta yang dibangun oleh misi ini adalah Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua. Pada tahun yang sama (1862) Willem Iskander yang baru pulang studi di Belanda membangun sekolah guru di huta Tanobato. Besar kemungkinan, Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua melanjutkan ke sekolah guru di Tanobato (asuhan Willem Iskander).

Pada tahun 1841 Afdeeling Mandheling en Ankola dibentuk. Asisten Residen berkedudukan di Panjaboengan. Asisten Residen dibantu dua controleur di Ankola dan Oeloe Pakanten. Pada tahun 1871, ibukota afdeeling dipindahkan dari Panyabungan (onderafdeeling Mandheling en Batang Natal) ke Padang Sidempoean (onderafdeeling Ankola en Sipirok). Kemudian pada tahun 1875, tiga koeria (Sipirok, Goenoeng Bringin dan Paraoe Sorat) dipisahkan dari Onderafdeeling Ankola en Sipirok dan menyatukannya dengan membentuk Onderafdeeling Sipirok.

Sjarif Anwar gelar Sutan Gunung Tua menggantikan Si Gali gelar Dja Alim menjadi penulis pribumi (inlandsch schrijver) yang merangkap sebagai petugas (officer van justitie) di dalam kerapatan di controleur Sipirok (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-12-1875).

Rapat atau Kerapatan adalah suatu dewan (institusi) yang dibentuk pemerintah di bidang peradilan (raad van justitie). Institusi ke(rapat)an ini ada pada setiap level pemerintahan mulai dari Gouvernement, Residentie, Afdeeling hingga onderafdeeling. Anggota dewan merupakan kombinasi Belanda (umumnya pejabat pemerintah) dan pribumi (tokoh masyarakat dan atau tokoh keagamaan).Untuk pimpanan rapat (ketua sidang) biasanya anggota dewan yang berasal dari dewan yang berada di wilayah lain. Jenis kasus yang ditangani sesuai dengan level ke(rapat)an. Untuk posisi jaksa ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah sebagai pejabat pemerintah.

Sebelumnya Sutan Gunung Tua bertugas sebagai penulis pribumi di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempuan. Ketika Sutan Gunung Tua menjadi murid Nommensen tahun 1863 dan kemudian menjadi penulis di kantor controleur Sipirok tahun 1875 itu berarti sudah berselang 12 tahun. Artinya Sutan Gunung Tua sudah mengikuti sekolah rakyat di Sipirok (Nommensen) dan sekolah guru di Tanobato (Willem Iskander) serta diterima sebagai penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempuan. Sutan Gunung Tua sendiri lahir di huta Baringin tahun 1840 (setahun sebelum pemerintahan sipil dibentuk di afdeeling Mandheling en Ankola).

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Sebagaimana diketahui bahwa sekolah guru (kweekschool) Tanobato ditutup tahun 1874 karena Willem Iskander melanjutkan studi ke Belanda tahun 1875. Guru-guru yang telah dihasilkan oleh Kweekschool Tanobato selama 12 tahun (1862-1874) sudah banyak jumlahnya, antara lain: Abdul Azis, Maharadja Soetan dan Sutan Gunung Tua. Soetan Abdul Azis sudah menjadi penulis sejak kantor Asisten Residen di Panjaboengan hingga pindah ke Padang Sidempuan tahun 1870. Besar kemungkinan pengganti Soetan Abdul Azis adalah Sutan Gunung Tua. Sebagaimana diketahui bahwa penulis pribumi pertama di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola adalah Willem Iskander (1855-1857). Maharadja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan; sedangkan Soetan Abdul Azis adalah ayah dari Dr. Haroen Al Rasjid (alumni Docter Djawa School, 1901). Haroen Al Rasjid sama-sama lulus dengan Mohamad Hamzah (saudara sepupu Soetan Casajangan).
.
Sutan Gunung Tua kemudian dipindahkan ke Baros pada tahun 1878. Setelah beberapa kali pindah, Sutan Gunung Tua dipindahkan kembali ke Sipirok pada tahun 1885. Kemudian Sutan Gunung Tua beberapa kali lagi pindah termasuk ke Sibolga dan ke Medan (1892). Setelah dari Medan pindah beberapa kali dan kembali ke Sibolga. Pada tahun 1910 atas permintaannya pension dengan hormat dari layanan Negara sebagai Djaksa dalam Rapat di Sibolga. Dari Sibolga, keluarga Sutan Gunung Tua pindah (kembali) ke Medan agar lebih dekat dengan anaknya yang tinggal di Medan (Djamin gelar Baginda Soripada).

Sutan Gunung Tua, Ayah dari Djamin gelar Baginda Soripada dan Humala gelar Mangaradja Hamonangan

Sutan Gunung Tua memiliki beberapa anak, dua diantaranya laki-laki: Djamin (gelar Baginda Soripada) dan Humala (gelar Mangaradja Hamonangan). Djamin lahir di Sipirok tahun 1885. Djamin mengikuti sekolah dasar berbahasa Belanda, Europeesche Lagere School (ELS) di Medan tahun 1893 dan lulus 1900. Setelah lulus ELS, Djamin Harahap magang di kantor pemerintah di Medan. Pada tahun 1906 Djamin menikah dengan boru Regar bernama Basunu. Setelah menikah Djamin diberi gelar sehingga namanya menjadi Djamin Baginda Soripada. Anak pertama Djamin gelar Baginda Soripada lahir pada tangga 27 April 1907 di Medan yang diberi nama Amir Sjarifuddin.

Humala (gelar Mangaradja Hamonangan) lahir di Padang Sidempuan. Salah satu anak Mangaradja Hamonangan adalah Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (lahir di Padang Sidempuan). Kelak Sutan Gunung Mulia menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadja Dewantoro). Salah satu boru dari Sutan Gunung Tua menjadi istri dari Soetan Martoewa Radja (lahir di Sipirok 1877). Sutan Matua Radja adalah alumni terakhir dari Kweekschool Padang Sidempoean, 1893. Sutan Martua Radja adalah ayah dari MO Parlindungan (penulis buku kontroversi Tuanku Rao).

Setelah beberapa tahun sebagai calon pegawai, akhirnya Djamin gelar Baginda Soripada diangkat sebagai pegawai di kantor Residentie di Medan (De Sumatra post, 27-02-1911). Di lingkungan residenti ini, kemudian Djamin diangkat menjadi mantri polisi. Pada bulan Mei 1914, Djamin diangkat sebagai Adj-hoofddjaksa di Tanjoeng Poera (Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1914). Lalu kemudian pada tahun 1915 Djamin Baginda Soripada dipindahkan ke Sibolga sebagai Hoofddjaksa. Tidak lama kemudian, Djamin dipindahkan lagi ke Sabang.

Dalam manifest kapal s.s. de Weert yang berangkat tanggal 16 Januari 1916, Djamin berangkat dengan istri dan empat orang anak. Kemudian, setelah dari Aceh, Djamin dipindahkan lagi ke Sibolga sebagai kepala djaksa. Sebagaimana diketahui bahwa Djamin Baginda Soripada memiliki tujuh anak, empat diantaranya  adalah Amir Sjarifoeddin, Arifin, Anwar Mahajoedin dan Bachroem. Arifin Harahap adalah Menteri Perindustrian di era Soekarno.

Amir Sjarifoeddin yang sudah memasuki usia sekolah dimasukkan ke sekolah ELS di Medan (1914). Ketika Djamin Baginda Soripada berpindah-pindah tugas sebagai djaksa, Amir tetap meneruskan sekolahnya dan diasuh oleh oppungnya, Sutan Gunung Tua. Amir Sjarifoeddin berhasil menyelesaikan ELS tahun 1921.  Pada tahun itu juga, Amir akan dikirim ayah dan oppungnya untuk mengikuti pendidikan menengah ke negeri Belanda. Hal ini tidak sulit untuk merealisasikannya, karena saudara sepupunya, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, yang berangkat tahun 1911 sudah lulus sarjana (1915) di negeri Belanda dan sudah kembali ke tanah air di Batavia.

Amir berangkat ke Batavia untuk menemui Todoeng Soetan Goenoeng Moelia. Dari Batavia, Amir berangkat ke Belanda dan sekolah di Leiden. Setelah lulus sekolah menengah, Amir melanjutkan ke pendidikan tinggi. Amir masuk perguruan tinggi di Haarlem (1926). Namun baru naik tingkat dua, tahun 1927, Amir pulang kampong karena alasan ada masalah di dalam keluarga.

Djamin gelar Baginda Soripada sudah lama bertugas di Sibolga setelah bertugas di Aceh. Namun tiba-tiba, pada tanggal 10 Desember 1925 Djamin gelar Baginda Soripada yang status sebagai kepala jaksa mendapat cobaan. Polisi menangkap Djamin atas permintaan hakim dan lalu diamankan ke Padang. Djamin masuk bui selama menunggu persidangan. Djamin dituduh karena menangkap luitenant  China (sekarang Tionghoa) bernama Loei Tjoen Tjoea dan dianggap menyalahi procedural.

Pada tanggal 10 Januari 1926, Djaksa Penuntut Umum meminta menghadirkan kepala penjara dan penjaga penjara di Sibolga agar hadir sebagai saksi. Dalam persidangan Mei 1926, Djamin Baginda Soripada membantah, bahwa penangkapan yang dilakukan justru berdasarkan instruksi lisan dari hakim. Total saksi yang dihadirkan dalam persidangan sebanyak 17 orang.

Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Sumatra’s Westkus pada tahun 1906. Meski berstatus residen, namun pemerintahannya langsung di bawah Gubernur Jenderal di Batavia. Sedangkan provinsi Sumatra’s Westkust, gubernur berkedudukan di Padang. Untuk permasalahan yang tidak dapat ditangani di Sibolga harus dibawa ke Padang.

Koran Bataviaasch nieuwsblad, 09-04-1927 memberitakan  bahwa Djamin Baginda Soripada diberhentikan dari layanan negara sebagai Djaksa dalam Rapat di Sibolga yangt berlaku efektif 30 April 1927 karena peristiwa tanggal 10 Desember 1925. Namun dalam perkembangan selanjutnya, nasi sudah jadi bubur (terlanjut dipecat), Djamin Baginda Soripada ternyata tidak terbukti bersalah. Namanya kemudian direhabilitasi.

Koran Bataviaasch nieuwsblad, 30-05-1929 melaporkan bahwa Djamin Baginda Soripada mantan djaksa di Sibolga diangkat menjadi komisi di kantor Binnenlandsch Bestuur Tapanoeli di Sibolga. Selanjutnya dalam Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1939 memberitakan bahwa  Djamin Baginda Soripada diangkat menjadi komisi-3 di Kantor Pelayanan Pegawai Negeri Sipil Luar Jawa (Buitengewesten), yang mana yang bersangkutan sekarang sementara berugas sebagai komisi kelas-3 di kantor tersebut.

Sutan Gunung Tua, Kakek dari Amir Sjarifuddin gelar Sutan Gunung Soaloon dan Todung gelar Sutan Gunung Mulia

Sutan Gunung Tua adalah murid pertama Ludwig Ingwer Nommensen, misionaris terkenal di Silindoeng en Toba. Nommensen memulai tugasnya di Sipirok. Sutan Gunung Tua juga adalah murid dari Willem Iskander di Kweekschool Tanobato. Sutan Gunung Tua tidak hanya berhasil dalam karirnya, tetapi juga mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik, khususnya Djamin gelar Baginda Soripada (menjadi jaksa) dan Humala gelar Mangaradja Hamonangan (menjadi guru).

Seperti kata pepatah Melayu: ‘Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga’. Inilah yang terjadi di dalam keluarga Sutan Gunung Tua. Djamin gelar Baginda Soripada (menjadi jaksa) adalah penerus karirnya sebagai jaksa dan Humala gelar Mangaradja Hamonangan (menjadi guru) adalah penerus karirnya sebagai penulis dengan latar pendidikan guru. Sutan Gunung Tua adalah pribadi yang berhasil, yang dapat menularkan kepribadiannya kepada cucunya: Amir Sjarifoeddin gelar Sutan Gunung Soaloon yang berjuang di bidang keadilan yang kemudian menjadi Perdana Menteri RI; Todung gelar Sutan Gunung Mulia yang berjuang di bidang pendidikan yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan RI.

Itulah Sutan Gunung Tua, jaksa pribumi pertama yang ditempatkan di Medan pada tahun 1892. Sutan Gunung Tua kelahiran Sipirok 1840 adalah oppung (kakek) dari Amir Sjarifoeddin yang lahir di Medan pada tangga 27 April 1907. Amir Sjarifoeddin adalah revolusioner sejati kelahiran Medan.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: