Senin, Juli 04, 2016

Sejarah Kota Medan (29): Puasa dan Hari Raya Idul Fitri; Awal Puasa Ditandai dengan Tembakan Meriam dari Halaman Istana Sultan



Pada masa lalu terminologi ‘puasa’ sudah umum digunakan. Puasa dalam bahasa Belanda adalah ‘vasten’ (Hetnieuws van den dag: kleine courant, 24-04-1893). Di dalam surat kabar lebih umum digunakan puasa daripada vasten. Akan tetapi terminologi ‘hari raya idul fitri’ belum dikenal. Terminologi yang umum digunakan adalah ‘akhir puasa’ (einde der poeasa) atau ‘akhir bulan puasa’ (eindigen der poeasa). Sementara, di Jawa istilah ‘lebaran puasa’ sudah muncul dan biasanya dirayakan biasa saja (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1886).

Penanda dimulainya puasa berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Di Batavia, awal puasa dimulai dengan pemukulan beduk. Di Medan penanda awal puasa dilakukan dengan tembakan meriam ke udara.

Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1893: ‘Poeasa. Kemarin pukul empat sore mengumumkan dengan memukul bcdoeks oleh masyarakat asli sebagai tanda dimulainya puasa’.

De Sumatra post, 05-11-1937
De Sumatra post, 05-11-1937: ‘Permulaan Poeasa. Tadi malam terdengar dari halaman istana Maimoen (Maimoenpaleis) tiga kali tembakan meriam. Untuk Islamis, khususnya dibawah dari ZH. Sultan Deli ini berarti bahwa tanggal, bulan puasa, Ramadhan telah dimulai. Di kalangan Islam tradisi ini muncul lagi, seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, tetapi ada perbedaan pendapat tentang awal bulan puasa (Poeasamaand). Dengan demikian, ada kelompok Islam di Medan yang mulai puasa kemarin. Almanak Pemerintah menunjukkan awal dari Poeasa tidak disebutkan, tetapi dua hari di akhir Poeasamaand ditunjuk sebagai hari libur resmi, yaitu tanggal 5 dan 6 Desember’.

Selama bulan puasa selain aktivitas berjalan seperti biasa juga terjadi kejadian-kejadian khusus yang dianggap menjadi perhatian publik. Di Jawa hari penobatan Putra Mahkota tetap dijalankan (Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1893). Kompetisi sepakbola di Medan libur selama bulan puasa (De Sumatra post, 04-10-1938). Di Banten, masyarakat non muslim (utamanya orang-orang Belanda) bukan toleran tetapi khawatir timbul gejolak. Di Medan kegiatan di pengadilan juga terjadi perbedaan paham.

Bataviaasch nieuwsblad, 01-04-1895: ‘Di  Bantam bulan poeasa bulan terlihat kurang bahagia. Ini telah menarik tol besar pada kesabaran kita. Malam demi malam, seluruh penduduk kita satu bulan dari tidur kita terganggu dan yang terburuk adalah pada malam tanggal 27 ke tanggal 28 bulan ini ketika sampai pagi suara memekakkan telinga, dengan beduk keras dan berteriak keras dibuat, sehingga mustahil untuk beristirahat dengan baik saat malam. Itu adalah kehidupan neraka seolah-olah semua setan diberi longgar. Semua orang penganut agamanya untuk teguh iman dengan cara serupa itu dengan cara yang membuatnya sangat mengganggu orang lain; ini sama sekali bertentangan dengan konsep kebebasan beragama, yang merupakan hambatan dan gangguan lain tidak mentolerir. bahkan memberi kesempatan pribumi untuk beduk dan doa-doa mereka untuk isi hati mereka dan berteriak sampai tengah malam, tapi dengan lisensi yang bagi semua bangsa malam dari mengganggu; atau akan takut gejolak?’.

De Sumatra post, 31-10-1939: ‘Sesi Landraad di Medan selama bulan puasa..

Di Medan (mungkin juga di tempat lain), perbedaan awal puasa berbeda antar kelompok Islam dan boleh jadi akhir puasa (lebaran puasa) bisa sama atau berbeda. Namun pemerintah telah menanggalkan bahwa akhir puasa telah ditentukan pada tanggal tertentu dimana hari pertama dan hari kedua akhir puasa (lebaran puasa) adalah hari yang diliburkan secara resmi. Untuk tahun baru (Kristen. Islam dan China) tidak dilakukan hari libur resmi, tetapi dianjurkan antar pemeluk agama yang berbeda saling mengunjungi.

Bataviaasch nieuwsblad, 27-08-1904: ‘Tidak resmi kunjungan tahun baru. Kami memiliki warga, pertimbangan bahwa penggunaan pertukaran kunjungan resmi pada kesempatan Tahun Baru Kristen, Garebeg Poeasa dan Tahun Baru Chineesche tentu merindukan makna yang mungkin di tempat lain, dimana para pejabat pribumi dan kepala dari serikat mengunjung, mungkin masih diberikan, sebaliknya Europoesr dan untuk timur asing, sejauh masih diakui kewajiban untuk melakukan atau menerima kunjungan resmi tahun baru’.

Pada saat lebaran atau akhir puasa berbagai aktivitas dilakukan oleh masyarakat. Misalnya, dilakukan permainan tradisional di lingkungan sekitar (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-04-1895), rekreasi ke Borobudur dengan dikutip harga masuk (Bataviaasch nieuwsblad, 21-06-1910). Sebagai bagian dari ibadah ada juga yang memberikan bantuan bagi orang yang tidak mampu.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-06-1888: Kemurahan. Pada kesempatan akhir poeasa pada hari Senin akan dilakukan oleh dua orang Arab di desa Melaijoe dan diajarkan oleh dua Moors terkenal di Pekodjan masing-masing sebesar f500 untuk membeli hadiah untuk mereka yang terbatas (kurang mampu) yang seiman dari orang-orang sebangsanya’.

Satu hal yang khusus pada saat libur akhir puasa antar yang bertikai saling memaklumi. Ini yang terjadi di Aceh dimana ada permintaan kepada Gubernur Jenderal untuk merayakan akhir bulan puasa oleh para hulubalang.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-07-1886: “Tanggal 7 ini diterima Gubernur Jenderal, untuk merayakan akhir dari poeasa serius bagi hoeloebalangs dan kepala lebih rendah dari Aceh Besar dan kepada mereka yang merayakan diberi kesempatan’.

Istilah Idul Fitri baru ditemukan pada tahun 1941. Perbedaan awal puasa dan awal syawal juga tetap terjadi.

De Sumatra post, 23-09-1941: ‘Awal Poeasa mulai dilakukan tembakan dengan meriam pada malam di halaman Maimoenpaleis Medan untuk mengumumkan dimulai hari untuk puasa di Kesultanan Deli. Ini juga terjadi di pemerintahan sendiri Serdang dan Langkat. Minggu dan Senin komisi di Deli dan Serdang serta Langkat pergi menuju ke pantai. untuk melihat bulan tapi belum terlihat munculnya bulan. Udara yang baik pada malam mereka datang menentukan bahwa yang pertama dari bulan Ramadhan (Poeasamaand).  Di Taridjocng Balei dan Asahan selanjutnya juga dilakukan merupakan salah satu penanda mulai puasa, seperti di banyak daerah di Tapanoeli dan di Aceh. Ramadhan pertama ditetapkan 22 September, sebagaimana juga ditunjukkan dalam Almanak pemerintah seperti dalam, tahun-tahun sebelumnya, selalu terdapat perbedaan pendapat pada awal Poeasa dalam Almanak Pemerintah yang memang tidak terdapat hari dimana libur ditetapkan. Yang ada diidentifikasi sebagai hari libur umum untuk menandai awal bulan Sjawal (bulan tidak melakukan puasa) yang juga disebut  Idoel Fitri of Garobeg Poeasa, yaitu 22 dan 23 Oktober’.

Puasa tetaplah puasa, namun yang terus bergulir adalah tanggal awal mulai puasa tetap terjadi perbedaan diantara kelompok penganut agama Islam. Bagi masyarakat itu soal keyakinan, tetapi bagi pemerintah kolonial Belanda (yang beragama Kristen) terjadi permasalahan sendiri yang terkait dengan peran penduduk Muslim dalam pemerintahan maupun dalam pembangunan ekonomi kolonial.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: