Jumat, September 09, 2016

Zainul Arifin Pohan (4): Penggagas Pembangunan Masjid Istiqlal; Arsiteknya F. Silaban

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Zainul Arifin Pohan dalam blog ini Klik Disini



Zainul Arifin Pohan adalah figur yang lengkap dan kuat. Mantan Panglima Perang di era perang (masa agresi militer Belanda) yang pintar berdiplomasi dan santu berkomunikasi. Zainul Arifin Pohan yang pernah santri di Pesantren Purba Baru, Kotanopan adalah tokoh yang disenangi di kalangan NU karena mampu mengakomodir keingingan NU di dalam kiprahnya sebagai parlementer. Zainul Arifin Pohan adalah pemimpin politik yang utama di kalangan NU. Zainul Arifin Pohan sebagai tokoh Islam di level pemimpin tinggi Republik Indonesia menggagas dibangunnya masjid besar di Jakarta (yang kelak disebut Masjid Istiqlal). Zainul Arifin Pohan adalah tokoh Islam yang tegas tetapi memiliki toleransi yang tinggi.

Pendirian Akademi Hukum Militer, Pembangunan Masjid Istiqlal dan Awal Mula Pembebasan Irian Barat

Dari kasus pemberontakan di Aceh dan peran militer dalam menumpas gerakan, untuk mengantisipasi ke depan, dipandang perlu untuk membentuk Akademi Hukum Militer. Pengurus dan dosen akademi tersebut telah ditetapkan (De nieuwsgier, 30-10-1953). Dalam pembentukan akademi ini hadir Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan. Juga hadir Kepala Staf AD Jenderal Simatupang. Direktur akademi ini ditetapkan Mr. Basaruddin Nasution.

Sebagai tokoh Islam dan pemimpin politik NU, peran Zainul Arifin Pohan sangat menentukan didirikannya masjid besar di Jakarta yang beralamat Wilhelmina. De nieuwsgier, 30-11-1953 melaporkan Jumat telah diadakan pertemuan dan dibentuk komite pembangunan masjid besar di Jakarta. Dalam pertemuan itu hadir tokoh Isalam dan dan perwakilan organisasi. Pertemuan tersebut dipimpin Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin. Susunan komite pembangunan masjid besar Jakarta ini adalah Anwar Tjokroaminota (ketua) dan anggota Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Assaat dan KH Taufiquarrahman.

Masjid besar Jakarta ini kemudian diberi nama Masjid Istiqlal. Sebagaimana diketahui masjid itu dirancang oleh arsitek Fredrerich Silaban. Penetapan F. Silaban karena berhasil dalam sayembara pada tanggal 5 Juli 1955. Peletakan batu pertama dilakukan Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Masjid besar Jakarta itu selesai tahun 1978.

Dalam hubungannya dengan pengakuan kedaulatan RI (hasil KMB), disebutkan bahwa Irian Barat akan diserahkan pada waktunya. Namun sebelum waktunya Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan kedatangan tamu dari Irian Barat. De waarheid, 06-01-1954 melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan telah menerima Sultan Machmud Rumagessan yang menceritakan situasi dan kondisi terkini di Irian Barat.  Dalam penerimaan ini juga hadir Menteri Luar Negeri dan Menteri Pendidikan. Sultan menyatakan bahwa penduduk menuntut langkah-langkah lebih aktif untuk Irian Barat yang kembali ke Republik Indonesia. Rumagessan telah beberapa kali ditangkap oleh imperialis Belanda sehubungan dengan dirinya sebagai oposisi untuk pemerintahan kolonial.

Sebagaimana diketahui Zainul Arifin Pohan adalah pejabat tinggi Negara yang selalu mengusung NKRI harga mati. Tampaknya Sultan Machmud Rumagessan tahu persis kepada siapa dia harus melaporkan situasi dankondisi terkini di Irian Barat sebagai bagian dari NKRI (hasil KMB, 1949). Zainul Arifin Pohan segera pula ke Makassar dan pemerintah merespon positif dan mendirikan Biro Irian Barat.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 09-01-1954: ‘Hari Kamis tiba di bandara Mandai di Makassar, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dia dan rombongan, termasuk sekretarisnya, Mr. Sumardi tiba di Makassar menggunakan pesawat GIA.

Algemeen Handelsblad, 27-01-1954: ‘Pemerintah Indonesia membentuk Biro Irian Barat yang terdiri dari  Perdana Menteri, Mr. Ali Sastroamidjojo. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, Menteri Luar Negeri, Mr. Sunarjo, Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin dan Menteri Pendidikan, Mr. Moh. Yamin’.

Zainul Arifin Pohan dan Burhanuddin Harahap

Zainul Arifin Pohan adalah mantan Panglima Perang di era perang kemerdekaan, mantan ketua komisi pertahanan parlemen RI dan kini menjadi Wakil Perdana Menteri II (urusan dalam negeri termasuk bidang pertahanan). Peraturan dan keputusan pemerintah di bidang pertahanan mulai diuji. Sang penguji adalah Burhanuddin Harahap.

Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 28-01-1954: ‘Parlemen Rabu pagi ini mengadakan sidang paripurna publik membahas draft gerakan Mr. Burhamuldin Harahap et al. Rancangan resolusi berusaha pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 35 dan pencabutan semua peraturan, keputusan dan tindakan dari menteri pertahanan, termasuk yang telah dibuat staf umum tentara. Dalam Sidang ini dihadiri oleh 134 anggota. Dari pihak Pemerintah hadir Pertama Perdana Menteri I, Mr Wongsonegoro, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin dan Menteri Informasi, FL. Tobing’.

Ini berarti Zainul Arifin Pohan akan berhadapan dengan Burhanuddin Harahap. Sebagaimana diketahui keduanya pada awalnya adalah tokoh penting di Partai Masyumi. Dalam perkembangannnya NU keluar dari Masyumi. Kini, Zainul Arifin Pohan sebagai pemimpin politik NU akan berhadapan dengan Mr. Burhanuddin Harahap, pemimpin politik Masyumi. Apakah ada ‘perang’ diantara dua tokoh politik dari kalangan Islam asal Sumatera Utara? Burhanuddin Harahap kelahiran Medan (Sumatera Timur) dan Zainul Arifin Pohan kelahiran Baros (Tapanuli). Sumatera Utara sendiri terdiri dari Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.

Mr. Burhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri RI (menggantikan Mr. Ali Sastroamidjojo) sejak tanggal 12 Agustus 1955. Pada masa jabatani Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yang pertama kali sejak masa kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, Pemilu 1955 adalah satu-satunya penyelenggaraan Pemilu yang pernah dilaksanakan semasa Pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno.

Setelah kunjungan Zainul Arifin Pohan ke Aceh (tidak sempat ke Medan, hanya transit saja) di awal pengendalian pemberontakan Aceh, di Jakarta, Zainul Arifin Pohan sungguh sibuk menghadapi banyak masalah, seperti Sulawesi Selatan, rekonstruksi nasional. Masalah teranyar adalah menerima desakan (demonstrasi) untuk membebasakan Irian Barat dan ekstradisi Westerling) serta demonstrasi yang menuntut pemerintah DKI Jakarta menjadi daerah yang penyelenggaraannya mengikuti demokrasi (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-02-1954). Tentu saja soal mosi dari Burhanuddin Harahap tentang pertahanan di parlemen yang menyita waktu banyak dari Zainul Arifin Pohan. Kini, Zainul Arifin Pohan berkunjung ke Medan (tempat kelahiran Burhanuddin Harahap, Zainul Arifin Pohan sendiri adalah BTL). Anehnya, kunjungan Zainul Arifin Pohan ke Medan tidak diketahui persis agendanya: Apakah urusan internal NU?

Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-03-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II, Zainal Arifin tiba di Medan. Kemarin sore pukul tiga tiba Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, dengan pesawat dari Jakarta ke Medan. Awalnya, Mr Zainul Minggu sudah diharapkan di Medan. Ia menyatakan bahwa ia harus menunda kedatangannya sehubungan dengan kunjungan yang sangat penting untuk Soerabaja. Mr Zainul Arifin dikatakan telah datang ke Medan untuk memeriksa situasi keamanan di daerah ini. Dia menambahkan bahwa dia tidak mengartikan bahwa hal itu tidak aman di Sumatera Utara. Namun menurutnya lebih baik untuk mengunjungi daerah langsung daripada menerima laporan dari jauh. Wakil Perdana Menteri II ketika ditanya, ia menyatakan bahwa, tidak mengagendakan untuk mengunjungi Aceh. Mr Zainul mengatakan bahwa ia akan membiarkan keadaan tergantung pada berapa lama dia tinggal di Medan’.

Sebagaimana diketahui di Aceh sudah kondusif atas usaha keras dari Gubernur Sumatera Utara, SM Amin Nasution. Juga, Zainul Arifin Pohan tidak dalam posisi berseteru dengan Burhanuddin Harahap (yang mosinya ditolak di parlemen). Zainul Arifin Pohan juga tidak dalam rencana pulang kampong, sebab kampungnya jauh berada di Tapanuli.

De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Militer merupakan perpanjangan dari "bantuan militer" tidak lagi dibutuhkan di Aceh, kata gubernur SM Amin Nasution. Namun demikian, ia diminta untuk memberikan bantuan militer ini sampai akhir April. Amin mengingat kurangnya senjata dan amunisi membuat pemberontak melemah dan tidak ada bukti ada pasokan dari luar negeri. Menurut Amin, pemberontak dapat dibagi menjadi dua groep, orang yang ingin menyerah, dan satu yang akan bertahan dalam perlawanan. Terutama di kalangan pemimpin junior, ada banyak yang sudah muak dengan pemberontakan. Tapi juga di antara para pemimpin penting ada yang ingin menyerah. Gubernur menilai bahwa seruannya pada pemberontak untuk menghentikan perlawanan bersenjata melalui pamphlet 20.000 lembar yang dikeluarkan telah berbuah hasil. Hal ini menunjukkan kecenderungan meningkat dari pemberontak untuk menyerah’.

Lantas untuk tujuan apa, apalagi tenggat waktu di Medan tidak ditentukan (hanya sesuai dengan yang diinginkannya). Boleh jadi Zainul Arifin Pohan dalam agenda mengunjungi konstituen. Sebagaimana diketahui di Sumatera Utara ada tiga tokoh NU: Muda Siregar (Residen Sumatera Timur) dan AM Jalaluddin (Walikota Medan) serta Ketua NU Padang Sidempuan (Sjech Mustofa Husin). Tentu saja mengunjungi sanak keluarga di Medan yang berasal dari Tapanuli utamanya dari Baros (Tapanuli Tengah) dan Kotanopan (Tapanuli Selatan).

Sebelum ke Medan, Zainul Arifin Pohan telah membentuk komite untuk melakukan misi ke sembilan negera Islam di Asia dan Afrika. Ketua komisi muhibah itu dipimpin oleh Harsono Tjokroaminbito. Setelah usai kunjungan, rombongan muhibah ini melapor ke Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-04-1954).

Di Jakarta, demonstrasi semakin marak dari waktu ke waktu. Berbagai isu bisa muncul kapan saja dan diimplementasikan melalui demonstrasi. Pemerintah Kabinet Ali makin lama makin tertekan. Secara pribadi, mungkin tidak terlalu berat bagi Zainul Arifin Pohan. Perbedaan penafsiran tentang demostrasi pun menyeruak diantara para pemimpin. Zainul Arifin Pohan mungkin merasa tidak urgen mengatasi demonstran jika dibandingkan dengan masalah pertahanan Negara. Mantan Panglima Perang ini menganggap NKRI lebih penting dari segalanya.

De nieuwsgier, 06-04-1954: ‘Larangan Demonstrasi. Wakil Perdana Menteri Zainul II, Arifin, atas pertanyaan PIA, mengatakan bahwa demonstrasi dan pertemuan massa tidak dilarang. (tetapi di pihak lain) Setelah demonstrasi dari Badan Kontak Organisasi2 Islam Jakarta, dimana insiden terjadi, Kantor Kepala Kejaksaan telah mengeluarkan larangan pengorganisasian demonstrasi’.

De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Pemerintah meminta Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan untuk mengendalikan provinsi Sunda Ketjil (Nusa Tenggara) dan melakukan inspeksi langsung’.

Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 09-04-1954: ‘Untuk keselamatan Sulawesi Selatan tiga ratus juta dialokasikan. Zainul Arifin Pohan mendapat kritikan dari parlemen karena dianggap terlalu besar. Menurut Zainul alokasi tidak hanya untuk menjaga tahanan tetapi juga untuk menangani para tahanan  yang jumlahnya mencapai 20.000 orang untuk ditransmigrasikan plus keluarga mereka. Biaya itu untuk meminimalkan perang namun  pemerintah telah demikian tidak diabaikan kebutuhan daerah lain. Dari tiga ratus juta rupiah disahkan oleh Departemen Keuangan. Ketika rencana ini dilaksanakan, pemerintah berharap bahwa "cadangan kontingensi’ ini akan memulihkan situasi keamanan dan akan terus memiliki kemajuan di Sulawesi Selatan. Namun, pemerintah harus mengakui dengan penyesalan bahwa situasi keamanan saat ini di Sulaivesi Selatan, pada kenyataannya, belum sepenuhnya normal’.

De vrije pers: ochtendbulletin, 03-05-1954: ‘Infiltrasi di Sumbawa. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, yang baru saja kembali ke Jakarta pada kunjungan orientasi ke Sumbawa, Minggu sebagian pengikut Kahar Muzakkar di Pulau Sumbawa. Sekitar dua atau tiga bulan lalu menyusup elemen Kahar Muzakkar dari Sulawesi (Celebes) ke Sumbawa melalui Bima. Infiltrasi kata Wakil Perdana Menteri II masih menunjukkan tahap awal. Sudah ada menangkap beberapa orang untuk penyelidikan’.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: