Kamis, November 03, 2016

Sejarah Demonstrasi di Indonesia: Kebebasan Pers Awal Mula Berdemokrasi; Demonstrasi Kali Pertama Dilakukan Tahun 1952



Tiga tokoh demonstran: Nasution, Lubis dan Siregar
Di era penjajahan kolonial Belanda tidak pernah ditemukan demonstrasi, yang ada adalah perang. Demonstrasi bukanlah perang yang ingin menghancurkan satu dengan yang lainnya. Di era penjajahan colonial Belanda domonstrasi dianggap penguasa sebagai perang. Di masa damai di era kemerdekaan Republik Indonesia adalah wajar (meski belum diundangkan). Demonstrasi adalah intrumen alternatif di masa damai untuk memberikan koreksi bagi yang satu terhadap yang lainnya. Demonstrasi selalu dikaitkan dengan pengerahan massa, mengambil tempat di ruang terbuka (halaman, jalanan atau lapangan) untuk menyampaikan pendapat atau tuntutan.  Demonstrasi memiliki garis ‘demarkasi’ yang jelas. Melewati garis dapat berpotensi untuk memicu kekacauan dan bahkan timbulnya ‘perang’. Demonstrasi adalah instrumen koreksi dalam bernegara..

Kebebasan Pers 1951

Munculnya demonstrasi selalu dimulai dari adanya masalah, suatu perbedaan penafsiran apa/bagaimana yang yang terjadi dengan apa/bagaimana yang seharusnya (normative). Demonstrasi dilakukan jika protes (tertulis atau lisan) yang mendahuluinya tidak memenuhi harapan. Demonstrasi yang baik adalah menyuarakan pendapat/tuntutan rakyat banyak (bukan segilintir orang yang mengerahkan massa). Demonstrasi yang bernuansa massa dengan arti demonstrasi itu sendiri.

Gejala serupa inilah yang menimbulkan adanya demonstrasi pada tahun 1952, suatu demonstrasi yang kali pertama ada di Indonesia. Situasi saat itu, situasi dan kondisi sosial-ekonomi sangat buruk (ketersediaan pangan kurang) tetapi pemerintah (baca: penguasa) tidak sejalan dengan harapan rakyat banyak. Saat itu yang menjadi presiden adalah Sukarno. Saat itu roda pemerintahan baru mulai berjalan setelah perang. Pasca perang dengan adanya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, situasi dan kondisi tidak mengalami perbaikan yang signifikan di bidang ekonomi (pangan), politik (munculnya disintegrasi) dan tatacara bernegara yang dipandang sebagian pihak tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Para jurnalis melihat situasi dan kondisi mangalami krisis dan semakin kritis. Mochtar Lubis menyindir Sukarno lewat tulisan di surat kabar Indonesia Raya. Maksud Mochtar Lubis untuk menjaga tidak terulang pada masa pendudukan Jepang dimana rakyat banyak cukup menderita dan bahkan tidak sedikit mati sia-sia untuk kepentingan penguasa (baca: pemerintah militer Jepang). Tulisan Mochtar Lubis tampaknya telah menyinggung perasaan Sukarno. Pemerintah mulai melakukan tindakan represif.

De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden, diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang Indonesia selama pendudukan (Jepang)’.

Sukarno pada masa pendudukan Jepang adalah pemimpin dewan yang mengerahkan romusa untuk kerja paksa untuk kepentingan instalasi umum militer Jepang di berbagai tempat di Indonesia. Mochtar Lubis di era pendudukan Jepang adalah jurnalis yang direkrut untuk bekerja di radio militer Jepang. Boleh jadi Mochtar Lubis mengatahui seluruh sepak terjang Sukarno selama pendudukan Jepang.

Tekanan pemerintah terhadap Mochtar Lubis ternyata tidak membuatnya jera. Malah Mochtar Lubis mengambil kesempatan untuk studi jurnalistik dan kebebasan pers ke Amerika Serikat dan Eropa. Situasi saat itu seakan mengindikasikan bahwa pemerintah mulai menarik jarak ketika kesadaran mengemukaan pendapat mulai tumbuh.

De nieuwsgier, 17-05-1951: ‘Pemimpin redaksi dari koran Indonesia Raya, Mochtar Lubis, Jumat ada undangan dari Deplu Amerika Serikat berangkat cuti untuk ke New Fork. Setelah tur orientasi di AS, Pak Lubis akan mengunjungi beberapa negara di Eropa’.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-02-1952: ‘Atas prakarsa surat kabar Merdeka, Pedoman, Abadi dan Indonesia Raya, hari Selasa di Jakarta dibentuk sebuah komite untuk International Press Institute. Komite ini terdiri dari: Mr. Mochtar Lubis (Indonesia Raya) sebagai ketua, S Tasrif (Abadi) sebagai sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara dan Rosihan Anwar (Pedoman) sebagai auditor hokum. International Press Institute (IPI) bertujuan, antara lain, mendorong untuk adanya kebebasan pers. IPI berkantor pusat berada di Paris dan mengadakan pertemuan tahunan dan menawarkan bagi wartawan Indonesia untuk turut hadir. Organisasi ini telah telah menerima undangan’

Mochtar Lubis tidak sendiri dalam menyuarakan kebebasan pers. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari para kolega (sesama insan pers). Mochtar Lubis juga telah menyambung (kembali) riwayat para jurnalis pribumi pemberani pada masa lampau (di era local) dengan semangat kebebasan pers di level internasional (di era global).

Dja Endar Moeda adalah pionir dalam kebebasan pers pribumi di era penjajahan kolonial Belanda. Dja Endar Moeda mulai melakukan perang opini dengan pers asing/Belanda tahun 1901 karena pers asing/Belanda mendukung kelompok Transval di Afrika Selatan dalam pemberian bantuan uang yang sangat banyak sementara penduduk pribumi sangat menderita, kekurangan pangan dan kemiskinan. Dja Endar Moeda yang melaporkan kekejaman apparatus pemerintah Belanda di Kajoetanam, Sumatra Barat terhadap penduduk dikenakan pasal delik pers dan mendapat hukuman cambuk lalu diusir dari kota Padang.

Parada Harahap pada tahun 1916 melaporkan kekejaman para planter di Sumatra Timur dengan mengirim tulisannya ke surat kabar Benih Mardeka di Medan. Parada Harahap dipecat dari jabatannya sebagai krani tetapi malah bergabung dengan Benih Mardeka dan menjadi editor. Ketika surat kabar Benih Mardeka dibreidel tahun 1918, Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan lantas mendirikan surat kabar baru bernama Sinar Merdeka. Selama mengasuh surat kabar radikal ini Parada Harahap belasan kali terkena pasal delik pers dan beberapa kali masuk penjara, Setelah hijrah ke Batavia, Parada Harahap dengan surat kabarnya Bintang Timoer (didirikan tahun 1926) masih kerap tersandung dengan pasal delik pers. Setelah pulang dari Jepang, Parada Harahap juga beberapa kali dimejahijaukan karena pasal-pasal delik pers untuk membungkam Parada Harahap. Sepanjang perjalanan jurnalistik Parada Harahap sebanyak 101 kali terkena delik pers.

Presiden Sukarno telah mengingkari kebebasan pers. Padahal Sukarno di era Belanda juga sangat menginginkan kebebasan pers. Di era Belanda, Sukarno ditangkap dan dibuang karena menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah, seperti halnya yang telah dilakukan oleh para pejuang pers. Sukarno sendiri pada waktu itu adalah insan pers yang juga menginginkan adanya kebebasan pers. Tapi kini, Sukarno ketika menjadi presiden tidak menginginkan adanya kebebasan pers (lagi). Saluran pers mulai dikebiri.

Demonstrasi 1952

Pers mulai tidak berdaya dan daya juangnya telah dihalangi. Semangat menyuarakan pendapat melalui kebebasan pers bergeser menjadi ajang demonstrasi. Kini demonstrasi tidak tanggung-tanggung para militer melakukan demosntrasi bahkan hingga ke depan halaman istana. Demosntrasi ini konon dipimpin oleh Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat. Peristiwa demonstrasi ini dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952 dimana kelompok Kolenel Abdul Haris Nasution tidak menginginkan pemerintah dan parlemen mencapuri urusan teknis militer. Saat itu pemerintah dan parlemen adalah bagaikan dua sisi mata uang: pemerintah adalah kekuatan di parlemen dan mayoritas parlemen adalah pemerintah.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel Abdoel Haris Nasution dan kawan-kawan seperti Kolonel Gatot Soebroto, Kolonel Tahi Bonar Simatupang dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di satu pihak dan di pihak lain Kolonel Bambang Supeno dan Kolonbel Zulkifli Lubis. Kelompok Nasution melakukan demonstrasi dengan pengerahan masa yang konon sampai 30 ribu orang yang pada pokoknya menuntut pembubaran parlemen yang dianggap terlalu jauh mencampuri urusan teknis militer. Gelombang massa kemudian bergerak ke ke istana yang di damping para militer dan persenjataan militer seperti tank. Inilah debat Sukarno dan Nasution saat itu.

Abdul Haris Nasution memimpin demnstrasi di depan istna
Presiden Sukarno: ;Engkau benar dalam tuntutanmu, tapi salah dalam caranya. Soekarno tidak sekali-kali akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalion TNI!;. 
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada kekacauan di dalam negeri, orang hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tapi si prajurit yang harus mati. Adalah sewajarnya apabila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung’. 
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Akan tetapi mengancam bapak Republik Indonesia, jangan! Sekali-kali jangan!’.

Atas kejadian itu, Kolonel Abdul Haris Nasution diberhentikan sebagai Kepala KASAD dan Jenderal Simatupang yang menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) juga ikut mengundurkan diri. Ini menambah daftar tokoh-tokoh yang menyuarakan pendapat semakin bertambah setelah Mochtar Lubis dan kawan-kawan.

Demonstrasi Kebebasan Pers 1953

Di era kemerdekaan ini, kebebasa pers telah dihalangi oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah melindungi hak-hak azasi manusia. Namun pers juga terus bergerak. Lantas para jurnalistik bereaksi dan melakukan demonstrasi.

Mochtar Lubis memimpin demonstrasi kebebasan pers
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-08-1953: ‘Para wartawan memprotes, soal kebebasan pers dan perlindungan hak asasi manusia. Pada demonstrasi, seperti yang sudah dilaporkan kemarin, wartawan Indonesia yang diadakan dalam aksi mereka untuk perlindungan sumber berita. Dalam demo ini yang berpartisipasi dalam PWI adalah reporter, klub, SPS dan organisasi mahasiswa akademi untuk jurnalisme. Ketua panitia aksi demonstrasi adalah  Mochtar Lubis. Dalam dialog dengan pemerintah saat demo ini, Mochtar Lubis kemudian mengucapkan terima kasih kepada Jaksa Agung yang telah mendengar aspirasi mereka’.

Mochtar Lubis seakan tanpa surat kabar tetapi organisasi pers internasional yang dipeloporinya semakin menguat. Mochtar Lubis yang seakan kapten tak bermain dalam tim sepakbola dilihat Parada Harahap sebagai sesuatu yang naïf. Parada Harahap lantas memfasilitasi Mochtar Lubis.

De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal saham ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen Pendidikan. Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan koran dan majalah non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal Januari isu percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada Februari akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru koran dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April. Selanjutnya, NV juga akan menerbitkan The lndonesia Times. Staf editorial adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di percetakan The Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.

Hubungan Parada Harahap dengan Mochtar Lubis sangatlah dekat. Parada Harahap (lahir 1899) adalah mentor dari Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik). Jangan lupa: Parada Harahap juga adalah mentor dari Soekarno dan M. Hatta (di bidang politik). Parada Harahap adalah orang pribumi pertama ke Jepang (1932), selama pendudukan Jepang, aktivitas Parada Harahap tidak diketahui tetapi besar kemungkinan sangat dekat dengan pimpinan pendudukan Jepang. Yang jelas menjelang kemerdekaan, Parada Harahap adalah anggota BPUPKI (Badan Penyilidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dirancang oleh  Jepang.

Burhanuddin Harahap dan Parada Harahap: Sukarno dan Abdul Haris Nasution versus Mochtar Lubis dan Zulkifli Lubis

Pada tahun 1955 Kabinet Ali Satroamidjojo mengundurkan diri karena tidak tahan tekanan dan digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap Masyumi). Pada tahun ini juga diadakan pemilu pertama dan Masyumi mendapat suara terbanyak. Salah satu anggota cabinet yang diangkat adalah Abdul Hakim Harahap sebagai menteri Negara tetapi secara defacto juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan.;

Abdul Hakim Harahap mantan Gubernur Sumatera Utara diperintahkan Burhanuddin Harahap untuk membenahi tentara. Saat itu tidak ada komandan, tetapi ada tentara maka perlu dipilih komandan baru. Dalam suatu pertemuan antara kolonel-kolonel se Indonesia, Abdul Hakim Harahap  memutuskan agar mereka mau bersatu. Kandidat pimpinan tentara yang menguat adalah Kolonel Nasution atau Kolonel Lubis. Kolonel Nasution terpilih, setelah Abdul Hakim melapor ke Burhanuddin Harahap, Kolonel Nasution kembali menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Zulkifli lubis dibebaskan dari tuduhan bahwa ia melawan Sukarno.

Pertikaian antara Sukarno dan Kolonel Abdul Haris Nasution selesai. Di belakang sukses mempertemukan Sukarno-Nasution adalah Parada Harahap, Burhanuddin Harahap dan Abdul Hakim Harahap. Dalam perkembangan selanjutnya keduanya (Sukarno-Nasution) menjadi sangat dekat satu sama lain. Namun di sisi lain muncul kerenggangan antara Sukarno dan Zulkifli Lubis yang sehaluan dengan Mochtar Lubis. Meski begitu posisi Presiden Sukarno tetap terjaga. Parada Harahap dan Kolonel Abdul Haris Nasution dapat menengahinya.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: