Jumat, November 11, 2016

Sejarah Kota Medan (44): Orang-Orang Jepang di Medan Sejak 1900; Mendapat ‘Teman Duduk’ Selama Pendudukan Jepang



Orang-orang Jepang di Medan sesungguhnya sudah ada sejak doeloe. Mereka ini jauh lebih awal datang ke Medan dibandingkan para serdadu Jepang yang datang kemudian (semasa pendudukan Jepang). Orang-orang Jepang generasi pertama ini bahkan telah menyebar ke berbagai kota di Sumatra Timur dan Tapanuli jauh sebelum masa pendudukan Jepang. Orang-orang Jepang generasi pertama ini datang dari Singapura (suatu pelabuhan yang sangat popular bagi pelaut-pelaut Jepang ketika berlayar ke Asia Tenggara).

De Sumatra post, 21-01-1903
Orang-orang Jepang yang awalnya stay di Singapura mulai tertarik menuju Sumatra Timur karena kota Medan sudah menjadi kota penting tempat dimana banyak orang Eropa.Belanda berbisnis (perkebunan). Arus orang-orang Jepang ini semakin massif sejak 1900. Mereka terbagi dalam dua grup: perdagangan (bisnis) dan pelayan (service) baik di café maupun hotel yang begitu banyak di Medan. Dalam hal berbisnis, orang-orang Jepang kalah gesit jika dibandingkan dengan orang-orang Tionghoa yang sudah sejak lama ada dan telah membangun jaringan bisnis yang kuat antara Singapura/Penang dan Medan.

Orang Jepang Semakin Banyak di Medan

Orang-orang Jepang datang ke Medan mengikuti orang-orang Tionghoa. Kedua bangsa dari timur Asia ini menganggap Singapura adalah pelabuhan transit terpenting di Asia Tenggara, khususnya yang menuju ke Sumatra Timur. Kala itu, daya tarik Sumatra Timur khususnya kota Medan bahkan telah melampaui daya tarik Singapura sendiri.

RS Prostitusi di Medan (Peta 1895)
Sebagaimana diketahui orang-orang Tionghoa awalnya di Medan bekerja sebagai kuli yang didatangkan dari daratan Tiongkok seperti Swatow (era Jong Jong Hian). Oleh karena populasi kuli asal Tiongkok sudah mendekati 10.000 orang pada akhir 1870an, situasi dan kondisi ini dimanfaatkan para germo di Singapura untuk mendatangkan para pelacur asal Tiongkok ke Medan. Saat itu kebutuhan pelacur normal dan praktek prostitusi juga normal. Begitu hebohnya bisnis prostitusi ini di Medan dan sekitarnya, rumah sakit khusus untuk prostitusi juga dibangun (lihat Peta Kota Medan 1895)..

Setali tiga uang, prostitusi di kalangan Tionghoa di Sumatra Timur dan khususnya di Medan, lambat laun juga diikuti oleh para germo di Singapura untuk mengikuti orang-orang Jepang yang telah lebih awal ada di Medan. Pelacur-pelacur asal Tiongkok kalah kelas jika dibandingkan pelacur-pelacur yang didatangkan dari Jepang. Pelacur-pelacur asal Jepang lebih berkelas, lebih mampu menghias diri jika dibandingkan pelacur-pelacur asal Tiongkok. Jika pelacur asal Tiongkok pelanggannya adalah para kuli, maka pelacur-pelacur Jepang pelanggannya orang-orang Eropa/Belanda. Jika pelacur asal Tiongkok banyak terdapat di sepanjang jalan dari Laboehan hingga ke Medan, maka pelacur-pelacur asal Jepang lebih terkonsentrasi di café dan hotel yang ada di Laboehan dan Medan.

Nama jalan Jepang di Medan (Peta 1915)
Sebagaimana orang-orang Tionghoa, orang-orang Jepang datang ke Deli dan Medan sebagai pedagang yang kemudian disusul para pelacur dan germo, lambat laun populasi orang-orang Jepang semakin banyak. Orang-orang Jepang juga piawai mengelola hotel, sesuatu kegiatan yang tidak dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Begitu kuatnya pengaruh Jepang di Medan, sehingga pada awal tahun 1900 nama Jepang ditabalkan sebagai nama jalan yakni Japansch straat (Peta 1906). Bahkan ketika Medan diubah statusnya menjadi ibukota Province Sumatra’s Oostkust (1915) juga konsul Jepang ditempatkan di Medan.

Permasalahan prostitusi asal Jepang di Medan semakin merebak. Persoalan juga sudah mulai terkait dengan perdagangan anak. Persoalan serupa ini menjadi ranah hukum. Itulah yang terjadi di tahun 1918 ketika polisi menemukan gadis Jepang yang masih 18 tahun berada di dalam sebuah kamar hotel di Medan.

De Sumatra post, 06-04-1918: ‘Pelanggaran prostitusi. Sebelumnya  datang HT, gadis Jepang. Dia berusia 19 tahun tinggal dengan sepupu lain di rumah mereka. Dia datang dari Pontianak dan melakukan perjalanan melalui Singapura ke Medan. Di Singapura dia sendirian lalu bibinya membawanya… Tidak ada profesi.. Untuk apa wafat tujuan kamu datang dengan pengunjung di lantai atas? -Saya Tidak tahu apa yang ia inginkan… di kamarnya di lantai atas sudah telanjang… setelah intervensi oleh adat Jepang telah diberikan sehubungan penyediaan usia, kekayaan get usia. ini sekitar 18 tahun. kata ini kemudian sampai ke jaksa untuk menahan… dilaporkan ke polisi bahwa Takegawa, coate. Ini Suami, telah tiba dengan dua gadis muda. Berpikir dari kasus trafficking dan pemantauan ketentuan perjanjian pada perdagangan perempuan…Tapi gadis itu menggelengkan kepala dan berkata bahwa dia sesuai dengan orangtuanya dari Nagasaki telah melakukan perjalanan ke Hindia Belanda untuk melacurkan diri di sini, berharap untuk mendapatkan banyak uang sampai mendukung orangtuanya sangat miskin… apakah pamannya, yang bertindak sebagai panduan, telah memberikan orangtuanya eenig muka. Dia sendiri belum bisa mengirim uang ke Jepang…Kami menerima sekitar f 300 sebulan, tetapi harus membayar untuk melawan biaya yang dikeluarkan segala sesuatu paman. Selain itu, salah satu gadis menjadi sakit dan meninggal menuntut Paman banyak pengorbanan berupa uang…’.

Parada Harahap, editor Benih Mardeka semakin gelisah dengan semakin mewabahnya bisnis asusila ini di Medan. Parada Harahap secara terbuka menyoal prostitusi yang terus marak di hotel-hotel yang dianggapnya kebal hukum meski kerap terjadi pelanggaran. Hotel Jepang dianggapnya lebih pada tempat prostitusi daripada tempat penginapan. Parada Harahap merasa perlu menyuarakan ini agar orang-orang muda terhindar dampak buruk prostitusi yang sudah sejak lama ada di Medan.

De Sumatra post, 25-07-1919: ‘Harahap (maksudnya Parada Harahap) dari Benih Merdeka menyoroti soal prostitusi di Medan: ‘Harahap memberikan protes keras terhadap bahaya besar prostitusi, seperti yang saat ini berlaku di Medan. Dia menunjukkan bahwa hukum pidana mengancam untuk menghukum mereka yang enzoovoort, objek publik terhadap moralitas, tetapi dalam hal ini di Medan tampaknya tidak mengganggu mereka di sana. Hotel Jepang disebut hanya kesempatan untuk prostitusi dan baboes dari pemilik pelacur. Ini adalah berlimpah di jalan-jalan dan dengan kelimpahan mereka menyebabkan bahaya besar, pertama untuk penyakit, dua sarang sebagai godaan untuk anak muda, karena wanita layak melalui tergoda untuk tersesat, empat sarang karena wanita layak keliru untuk pelacur dan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Penulis berpendapat bahwa diinginkan agar intelijen menginvestigasi izin untuk hotel dan menuduh menyelidiki pejabat yang terlibat, investigasi serius harus dapat mengungkapkan apa yang sebenarnya yang terjadi. Harahap juga meuntut dewan untuk menyatukan semua pelacur dan kemudian memberikan pembinaan terhadap perilakunya  


De Sumatra post, 03-06-1930
Orang Jepang sendiri yang ada di Medan adalah bagian dari orang-orang Jepang yang ada di Hindia Belanda. Pada tahun 1920 jumlah orang Jepang di Jawa sebanyak 1,266 laki-laki dan 468 perempuan, sementara di luar Jawa terdapat sebanyak 1.359 laki-laki dan 1.055 perempuan. Di luar Jawa terkonsentrasi di Sumatra Timur, Atjeh dan Bangka. Jumlah perempuan terkesan relative lebih banyak dibandingkan di Jawa. Hal ini terkait dengan eksploitasi wanita. Di Sumatra Timur terdiri dari 373 laki-laki dan 416 perempuan Jepang, di Atjeh sebanyak 78 orang lakiu-laki dan 90 perempuan dan Banka sebanyak 18 laki-laki dan 45 perempuan. Menurut Departemen Koloni dan Emigrasi Hindia Belanda pada tahun 1929 orang Jepang yang masuk di kantoor imigrasi untuk Tandjoengpriok sebanyak 21 orang Jepang sementara sebanyak 4.900 Dutchman, 950 orang yang bukan Belanda, 9.900 Chineezen dan 1.200 orang Arab. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, orang Arab yang masuk mengalami peningkatan sebesar 13 persen sedangkan orang Jepang yang masuk meningkat sebesar 30 persen, mungkin karena kemakmuran orang-orang Jepang di Hindia Belanda telah meningkat (lihat De Sumatra post, 03-06-1930).

Orang Jepang di Padang Sidempuan

Tsukimoto, bukan seorang Tionghoa tetapi seorang Jepang yang telah lama bermukim di Padang Sidempuan. Tsukimoto pemilik perusahaan J. Tsukimoto & Co. Tsukimoto sangat terkenal di Padang Sidempuan dengan nama tokonya ‘Toko Japan’ (Bataviaasch nieuwsblad, 04-01-1934)...

Pada tahun 1931, Tsukimoto dan Tjioe Tjeng Liong termasuk anggota komisi dalam membantu korban bencana di Pakantan (De Sumatra post, 16-07-1931). J. Tsukimoto kemungkinan hijrah tahun 1935 ke Batavia di Pasar Besar (Pasar Baru?).

Tsukimoto kemungkinan adalah salah satu keluarga Jepang di Padang Sidempuan sebelum terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia. Tsukimoto kemungkinan besar datang (migrasi) dari Medan. Sejak akhir abad kesembilan belas sudah banyak orang-orang Jepang di Medan (yang waktu itu konsentrasi mereka banyak di Singapoera).
Pada tahun 1971 ketika saya masuk sekolah dasar di Padang Sidempuan ada beberapa murid Tionghoa di sekolah tersebut. Dari murid-murid yang satu kelas dengan saya terdapat satu murid yang merupakan keturunan Jepang. Namanya tidak lagi berbau Jepang, tetapi parasnya masih Jepang (yang bisa dibedakan dengan paras keturunan Tionghoa).
Orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan sudah ada sejak doeloe

Awal orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan bukan dari Medan, tetapi dari Singapura. Pada tanggal 19 Maret seorang pembaca (mungkin seorang Tionghoa) menulis di Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-04-1884 bahwa telah terjadi perselisihan antara sesama orang Tionghoa. Surat ini pada intinya mengungkapkan suatu keluhan terhadap putusan yang dibuat pengadilan yang memberatkan salah satu pihak dan dianggap tidak adil. Atas hukuman yang dijatuhkan agar perlu ditinjau kembali demi keadilan.

Sumatra-courant: 08-04-1884
Surat pembaca ini mengindikasikan banyak hal. Pertama populasi orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan bukanlah sedikit sehingga diantara mereka telah terjadi persaingan yang ketat dalam bidang perdagangan dan bisnis. Kedua, orang-orang Tionghoa tampaknya sudah cukup terpelajar dan memiliki kemandirian yang baik yang ditunjukkan dengan komunikasi tulisan di dalam surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Padang (Onder adfeing Angkola, Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust beribukota di Padang, tempat dimana Sumatra Courant diterbitkan). Ketiga, tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Tingkat kesadaran hokum yang bersifat public terkait erat dengan dunia intelektual (tulis menulis).

Ibukota afdeeling Mandheling en Ankola pindah ke Padang Sidempuan dari Panyabungan tahun 1870. Pada tahun 1879 dibuka sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempuan. Terdapat tiga sekolah dasar negeri: di Batunadua, di Hutaimbaru dan di Padang Sidempuan. Sekolah negeri yang berada di Padang Sidempuan ini letaknya di jalan Sutomo (SD N 2 dan SD N 10 yang sekarang, seberang pabrik es). Sedangkan Kweekschool Padang Sidempuan terletak di jalam Merdeka yang menjadi gedung SMA N 1.

Keempat, Padang Sidempuan saat ini adalah kota kecil tetapi di masa itu, Padang Sidempuan adalah kota besar dan masih lebih besar daripada Kota Medan. Kota Medan menjadi ibukota afdeeling Deli pada tahun 1879, sedangkan Padang Sidempuan sudah sejak 1870. Hal lain keutamaan kota Padang Sidempuan saat itu adalah Kota Padang Sidempuan sudah memiliki sekolah guru dan sekolah dasar negeri sudah ada sejak 1950 (sementara Kota Medan pada tahun 1879 belum ada sekolah dasar).

Ini menunjukkan bahwa warga kota Padang Sidempuan antara 1870-1890 secara sosial lebih terpelajar dibandingkan warga kota Medan. Dengan kata lain, orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan lebih terpelajar jika dibandingkan orang-orang Tionghoa di Medan. Tokoh penting Tionghoa di Medan, yakni Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie tentu saja belum ada apa-apanya jika dibandingkan tokoh-tokoh Tionghoa yang sudah sejak lama ada di Padang Sidempuan.

Surat-surat pembaca ini (di luar orang-orang Eropa/Belanda) sangat banyak antara tahun 1882-1884 yang berasal dari Padang Sidempuan di Sumatra Courant yang terbit di Padang. Bahkan surat-surat pembaca dari Padang Sidempuan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan yang berasal dari daerah Minangkabau. Ini suatu indikasi bahwa warga Padang Sidempuan sudah sejak lama pula terlibat secara intens dalam dunia pers. Pada kala itu kota Padang Sidempuan adalah kota special Sumatra Courant dalam pemasaran (oplah).

Parada Harahap, Memimpin Orang Indonesia Pertama ke Jepang 1933

Parada Harahap hijrah dari Padang Sidempuan ke Batavia tahun 1923. Dalam tempo singkat bisnis media Parada Harahap sukses sejak surat kabar Bintang Timoer didirikan tahun 1926. Parada Harahap tidak hanya sukses di media, juga di bidang percetakan dan perdagangan. Pada tahun 1927, Parada Harahap yang telah mendirikan asosiasi pengusaha pribumi (semacam KADIN) menggagas didirikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia). Parada Harahap duduk sebagai sekretaris dam sebagai ketua MH Thamrin. Parada Harahap juga menjadi penggagas diadakannnya Kongres Pemuda yang mana sebagai bendahara adalah anak Medan bernama Amir Sarifoeddin Harahap.


Surat kabar di P. Sidempuan, 1919-1923
Parada Harahap memulai karir di bidang media pada tahun 1918 sebagai editor surat kabar Benih Mardeka di Medan. Kisahnya dimulai ketika tahun 1917 Parada Harahap membongkar kasus poenale sanctie yang banyak jadi korban kuli asal Tiongkok. Atas upayanya membongkor kasus kekejaman kuli di perkebunan di Simatra Timur, Parada Harahap lalu dipecat sebagai krani dan kemudian bergabung dengan Benih Mardeka. Oleh karena Benih Mardeka dibreidel, Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka tahun 1919. Di Padang Sidempuan, Parada Harahap juga mengasuh surat kabar Poestaha.

Pada tahun 1929 jumlah media Parada Harahap di Batavia sudah mencapai tujuh buah. Saat ini Parada Harahap adalah pemegang portofolio tertinggi dari kalangan pribumi di Batavia. Parada Harahap tidak hanya piawai berbisnis, tetapi juga berorganisasi dan membangkitkan ruang politik bagi pribumi. Bahkan Parada Harahap adalah mentor politik Sukarno (kerap datang dari Bandung ke kantor PPPKI di gang Kenari). Parada Harahap dan Sukarno adalah dua penulis yang handal kala itu, keduanya sangat cerdas berpolemik melalui tulisan.

Parada Harahap sudah sejak di Medan mengenal orang-orang Jepang. Ketika Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan sudah juga kerap bertemu dengan keluarga-keluarga Jepang yang tinggal di Padang Sidempuan. Kini, di Batavia Parada Harahap juga semakin intens berinteraksi dengan orang-orang Jepang.

Pada awal tahun 1933 tertarik untuk memenuhi undangan konsul Jepang di Batavia untuk mengunjungi Jepang. Lantas Parada Harahap membentuk grup radikal untuk berkunjung ke Jepang. Pers dan pemerintah Belanda tidak percaya. Namun pers Belanda keliru, bahwa Parada Harahap tidak omong kosong. Parada Harahap yang tidak memiliki ‘utang’ terhadap Belanda merealisasikan keinginannya. Lawatan Parada Harahap membuat Hindia Beladna bergetar,

Abdullah Lubis dari Medan ke Jepang (pimp. Parada Harahap)
Parada Harahap berhasil membentuk tujuh orang pertama ke Jepang (The Magnificient Seven). Grup ini terdiri dari wartawan, akademisi, pengusaha perdagangan, pengusaha manufaktur, guru dan pelukis. Salah satu wartawan yang direkrut adalah Abdullah Lubis, pemimpin Pewarta Deli di Medan dan Mohamad Hatta yang baru pulang ke tanah air setelah selesai kuliah di Belanda.

Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Parada Harahap dan kawan-kawan diterima oleh para pemimpin Jepang, diajak mengunjungi berbagai tempat yang berguna seperti pabrik-pabrik, area-area pertanian, akademi-akademi. Sementara pers Belanda melihat sambutan yang hangat kepada Parada Harahap dan kawan di Jepang menjadi cemburu dan bercampur sinis dan mulai memprovokasi yang dianggap memusuhi negara (Belanda). Parada Harahap tidak peduli, malah sepulang dari Jepang menulis buku berjudul ‘Menuju Matahari’.

Parada Harahap, The King
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian pemerintah! Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di tempat lain, di belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas mereka, dan mereka seharusnya telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan [salah satu Parada Harahap], seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta] dan mahasiswa adalah penamaan orang sebuah ‘commissionnall’. Apakah Anda punya jawaban yang memuaskan untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang menyatakan baik di meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara (ini tidak dikonfirmasi) Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin membantu membangun hubugan antara masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain maka kita ingin (adat) masyarakat di Jawa di negara Anda dapat terhubung. Selanjutnya, berbicara tentang jutaan Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang harus Parada Harahap dapat dilakukan. Terbaik melalui pers Melayu Karena Pemerintah Nederiandsche juga Hindia Belanda dan untuk kepentingan mereka mewakili Pemerintah Jepang melalui duta besar untuk Tokyo, Parada Harahap memberikan jaminan pada penciptaan hubungan harmonis antara bangsa-bangsa (sic) dari Jawa dan Jepang meskipun penting untuk melakukan, namun maksud terselubung dari seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini komite perdagangan tidak ada pejabat, adalah murni pribadi, agak transparan, hobi. Dan bahkan jika beberapa ‘acara resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan misi dagang untuk membuat hubungan ramah antara masyarakat’

Sepulang dari Jepang, Parada Harahap ditangkap lalu diadili. Ketika konsul Jepang di Batavia dijadikan saksi, Parada Harahap terbukti tidak melanggar hukum (Belanda). Parada Harahap dibebaskan. Pers Belanda semakin gerah. Inilah bukti Parada Harahap sebagai seorang patriot bangsa, seorang revolusioner yang dimulai dari Medan.


Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan Indonesia

Selama pendudukan Jepang, orang Jepang yang sudah sejak lama ada di Medan tentu saja mendapat angin dan menjadi ada teman duduk. Mereka merasa lebih dekat dengan pribumi, selain sesama Asia, juga memiliki musuh yang sama: Belanda. Serdadu-serdadu Jepang juga mungkin merasa at home, banyak orang-orang Jepang. Anehnya ketika dikabarkan tentara Jepang terlibat banyak kasus wanita budak seks di berbagai tempat di Asia, termasuk Indonesia, ternyata kasus serupa ini belum pernah ditemukan di Medan.

Pendudukan Jepang di Indonesia tidak lama, meski demikian, korban diantara pribumi tidak sedikit. Pribumi banyak yang mati kerja paksa romusa. Para pemimpin Indonesia ada yang terlibat dalam kasus ini tetapi ada juga yang keras menentangnya seperti anak Medan, Amir Sjarifoeddin Harahap. Akibatnya Amir dibui.

Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia, pemerintah Jepang memfasilitasi untuk menuju kemerdekaan dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu anggotanya adalah Parada Harahap. Badan ini dibubarkan tanggal 7 Agustus 1945 karena dianggap telah selesai menyusun dasar Negara dan undang-undang dasar (UUD). Selanjutnya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk melanjutkan tugas-tugas BPUPKI dan mengatur proses pemindahan kekuasaan dari Jepang ke Indonesia. Salah satu anggota PPKI adalah Mr. Abdul Abbas Siregar.   

Jepang lalu takluk kepada sekutu setelah Nagasaki dan Hirosima hancur. Situasi ini dimanfaatkan pribumi untuk memperoleh kemerdekaan. Soekarno dan Hatta ke Saigon menemui pimpinan militer Jepang di Asia Tenggara, sementara Amir tetap di dalam penjara.

Akhirnya atas desakan para pemuda revolusioner seperti Adam Malik memaksa Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Inilah hari-hari yang sudah sejak lama diimpikan oleh rakyat Indonesia dan para pemimpinnya. Para pemimpin itu diantaranya Parada Harahap, Amir Sjarifoeddin Harahap, Abdul Abbas Siregar dan Adam Malik Batubara. Keempat tokoh ini adalah anak-anak Medan sejati.   

Namun kemerdekaan itu tidak diterima oleh Kerajaan Belanda sementara Kerajaan Jepang tidak mengiyakan juga tidak melarang. Hanya para pemimpin dan takyat Indonesia yang betul-betul menginnginkannya. Apa boleh buat, ketika Belanda membonceng sekutu ke Indonesia termasuk di Medan, tidak ada pilihan dan perang adalah jawabannya.

Akan tetapi seperti di banyak tempat, juga di Medan tidak semua pemimpin dan rakyat menolak kerjasama dengan Belanda malahan diam-diam melakukan kolaborasi dengan Belanda untuk menghacurkan perlawanan republic. Belanda semakin kuat di Medan, Negara Sumatera Timur juga muncul. Para penghianat bangsa di Medan bersukaria. Kehidupan yang hampir satu abad glamour di Medan seakan sudah di depan mata kembali. Bangsa Indonesia di Medan dan Sumatera Timur terbelah oleh Belanda.

Wanita Belanda di Kamp Jepang di Singapura (1945)
Para pendudukung RI menyingkir ke luar kota sambil melakukan perlawanan. Tentara-tentara Jepang yang dalam posisi mati langkah ada juga yang melihat sisi patriotism bangsa Indonesia dan sangat membenci terhadap para penghianat di Medan. Sejumlah tentara Jepang ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dan juga turut membantu para republiken sejati untuk mengusir penjajah. Semakin tidak mudah, karena Belanda semakin kuat karena penghianat bangsa ikut menjadi mata-mata. Boleh jadi Tionghoa dan Kling di Medan abstain, tetapi Belanda yang di atas angin didukung para penghianat bangsa, lantas tentara Jepang terharu dan ikut mendukung republic. Situasi menjadi berimbang: Belanda dan penghianat bangsa vs Republiken dan patriot Jepang.

Kemenagangan RI akhirnya datang setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Para penghianat bangsa yang tetap berada di Medan dan Sumatera Timur menjadi mati langkah. Para penghianat ini lantas diabaikan. Sementara itu, patriot Jepang yang ikut mendukung republiken dan yang gugur dalam perlawanan terhadap Belanda dihargai republiken sebagai manusia yang lebih berguna jika dibandingkan para penghianat yang jumlahnya sangat banyak.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Para republiken yang terus berjuang di Medan diantaranya Mr. GB Josua Batubara lewat lembaga pendidikannya (Josua Institute) mendidik anak-anak republic ketika militer Belanda terus mendesak tentara RI hingga ke Padang Sidempuan. Republiken berikutnya adalah Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front Nasional di Medan yang berkeliling setiap hari di Medan dan Sumatera Timur untuk mengobati anak-anak republic yang kurang gizi dan yang sakit. Di Tapanuli ketua Front Nasional Indonesia adalah M. Nawi Harahap berperang melawan Belanda yang terus membabi buta. Masih di Tapanuli, Mr. Abdul Abbas Siregar (anggota PPKI) terus mengkonsolidasi para republiken di pengungsian termasuk di hutan-hutan dekat kampong Sipirok (kampong halaman GB Josua dan Abdul Abbas Siregar), kampong Pasar Matanggor (kampong halaman Amir Sjarifoeddin), kampong Pargarutan (kampong halaman Parada Harahap) dan kampong Batunadua (kampong halaman Djabangoen Harahap).

Itulah kisah nyata bangsa Indonesia, kisah nyata repebliken di Medan dan kisah nyata warga dan tentara Jepang di Medan. Para warga dan tentara Jepang ini kemudian lebih memilih menjadi warga Negara Indonesia dari pada tanah leluhurnya Jepang. Jumlah mereka tidak sedikit. Inilah bukti Jepang juga memiliki pepatah ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Orang-orang Jepang dan orang-orang Tapanuli dalam hal ini benar-benar mebuktikannya. Gozaimasu!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: