Selasa, November 15, 2016

Sejarah Kota Medan (46): Warenhuis, Pasar Modern Tempo Doeloe; Rajanya Huttenbach, Sisa Bangunan Masih Ada Sekarang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini


Nama-nama jalan di Medan (Peta 1895)
Pada tahun 1875 di Medan sudah berdiri perusahaan perdagangan Huttenbach & Co. Perusahaan ini adalah perusahaan (organisasi) bisnis tertua di Sumatra’s Oostkust (Pantai Timur Sumatra). Bisnis perusahaan memusat di lokasi dimana kemudian disebut sebagai nama jalan Huttenbach (lihat Peta 1895). Bisnis Huttenbach semakin berkembang. Tahun 1910 Huttenbach mempelopori pembangunan ritel modern dengan nama Huttenbach Warenhuis. Inilah kali pertama pembangunan department store di Medan.

Jalan Huttenbach, 1915
Pada Januari tahun 1910 surat kabar Pewarta Deli di bawah editor Dja Endar Moeda kali pertama terbit. Surat kabar ini diterbitkan di bawah Sjarikat Tapanoeli yang didirikan oleh Dja Endar Moeda dan Sjech Ibrahim pada tahun 1905. Penerbitan surat kabar ini besar kemungkinan untuk mengantisipasi perkembangan bisnis di Medan yang semakin marak terutama dikaitkan dengan pembangunan dept. store Huttenbach. Pewarta Deli dijadikan sebagai sumber pencerdasan warga pribumi juga untuk media promosi dari pengusaha-pengusaha Tapanuli di Medan.

Sejak 1900, usaha-usaha perdagangan eceran hanya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, Jepang, Jerman dan Tapanuli. Namun dalam perkembangannya, pengusaha Jerman muncul ke permukaan dan menjadin leader untuk bisnis ritel yang mengambil segmen pasar orang-orang ETI (Eropa/Belanda). Sebaliknya, pengusaha-pengusaha asal Tapanuli (yang umumnya dari Mandailing dan Angkola) memfokuskan pada segmen pembeli orang-orang pribumi di Medan.

Perdagangan Eceran Bermula di Laboehan

Sebelum dimulai perkebunan di area Medan, perdagangan eceran sudah berkembang di Laboehan. Perdagangan eceran ini dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang datang dari pantai-pantai Timur Sumatra atau Penang. Mereka ini juga melakukan perdagangan keliling ke berbagai tempat di Deli. Saat itu daerah aliran sungai (DAS) Deli dibawah pengaruh Atjeh dan Batak.

Menurut laporan Netscher ketika melakukan ekspedisi ke Deli pada Februari 1863. Satu pemandangan yang aneh di9lihatnya di Laboean (Deli), diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Batakscbe seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah. Sementara itu populasi (penduduk) Deli ada di pantai oleh orang Maleijers, di pedalaman oleh orang Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung Deli (seperti Laboehan). Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat.

Saat terjadi Perang Batak (Sisingamangardja) dan perang Atjeh (Teoeku Oemar) tahun 1870an ekskalasi militer Belanda semakin meningkat, juga termasuk di Deli untuk mendukung dua perang tersebut. Untuk memasok kebutuhan militer Belanda ini ke Atjeh para pedagang Jerman di Singapoera mendapat order.

Orang-orang Jerman sudah banyak yang membuka bisnis di Singapore. Behn dan Meyer memulai bisnis di Singapore dan membentuk perusahan bernama Behn, Meyer & Co tahun 1840. Perusahan-perusahaan bisnis Jerman terus bertambah dan berkembang. Katz Brother yang didirikan di Singapoera 1860 membuka cabang di Penang 1870. Perusahan ini kemudian mendapat kontrak pengadaan barang untuk militer Belanda dalam perang Atjeh. August Huttenbach memfasilitasi pengangkutan barang Penang dan Atjeh (lihat Salma Nasution Khoo. Areca Books, 2006).

Toko Huttenbach & Co di Laboehan, 1876
Pada tahun 1875 Mr. Huttenbach membuka toko atau kedeh sangat sederhana (ritel kecil) di Laboehan Deli (lihat De Sumatra post, 17-02-1919). Laboehan saat itu (1975) statusnya ditingkat dari controleur (sejak 1863) menjadi asisten residen deli (dan pada saat yang sama (1875) di Medan ditempatkan seorang controleur. Kota Laboehan yang semakin sibuk dan tata pemerintahan di Deli yang sudah kondusif ini Mr. Huttenbach memulai bisnis baru (keluarga Huttenbach pindah dari Singapoera ke Deli).

Hattenbach & Co Pindah ke Medan

Bisnis keluarga Huttenbach terus berkembang di Laboehan. Dengan semangat kewirausahaan yang tinggi dan situasi dan kondisi pertembuhan dan perkembangan perkebunan swasta di Deli yang ‘berpusat di Medan’ mendorong bisnis Huttenbach membuka cabang di Medan (yang mengambil lokasi di tempat dimana kini disebut jalan Huttenbach). Bisnis Huttenbach semakin terkenal di Medan yang bergerak dalam bidang grosir dan ritel. Dalam Peta 1895 lokasi tempat bisnis keluarga Huttenbach berada sudah disebut sebagai jalan Huttenbach. Bisnis Huttenbach ini terus meroket (dan mencapai puncaknya pada tahun 1915).

Salah satu manajer Huttenbach & Co adalah Mohamad Yacoeb yang  datang merantau dari Padang Sidempuan tahun 1875 pada umur 15 tahun ke Deli.  Pada tahun dia datang, pertama kali bekerja sebagai krani di kantor kesultanan Serdang di Rantau Pandjang. Mohamad Yacoub pada tahun 1880an pindah ke Medan dan bekerja sebagai manajer di toko Huttenbach & Co, salah satu jaringan toko pertama Eropa di Medan. Mohamad Yacoub kemudian membuka usaha dan melakukan haji ke Mekah. Sejak kepulangan Mohamad Yacoub dari tanah suci namanya lebih dikenal sebagai Hadji Ibrahim.

NV. Sjarikat Tapanoeli Didirikan

Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatrra). Sejak itu, sebagian pengusaha asal Mandailing dan Angkola yang sukses di Padang, Sibolga dan Padang Sidempuan memindahkan investasinya dan mulai melirik Deli dan kota Medan. Sejak itu, kehadiran pengusaha-pengusaha Tapanuli semakin terasa di Medan, sementara penduduk dari Tapanuli khususnya dari Mandailing dan Angkola di Laboehan dan Medan sudah semakin banyak sejak akhir 1870an.

Pada tahun 1907 untuk mengimbangi pedagang Tionghoa, para pengusaha Mandailing dan Angkola membentuk Sjarikat Tapanoeli. Sarikat ini pada tahun itu membentuk klub sepakbola yang diberi nama Tapanoeli Voetbal Club dan mempelopori diadakannya kompetisi Deli Voetbal Bond. Pada tahun 1907 klub dari Batavia, Docter Djawa Voetbal Club melawat ke Medan yang menjadi tuan rumah Tapanoeli Voetbal Club. Salah satu pemain utama Docter Djawa Voetbal Club adalah Radjamin Nasution yang berasal dari Padang Sidempuan.

Pada tahun 1909 Sarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar Pewarta Deli dengan ketuanya Hadji Dja Endar Moeda dan wakilnya Hadji Ibrahim. Hadji Dja Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884), mantan guru, pemilik sekolah di Padang dan pengusaha media dengan suratkabar yang terkenal Pertja Barat (di Padang) dan Tapian Na Oeli (di Sibolga). Dja Endar Moeda hijrah ke Medan tahun 1907.

Pada tahun 1909 ketika Medan ditingkatkan menjadi kota (gemeete) Hadji Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe (kamponghoofd) Kampong Kesawan. Pusat pasar Medan berada di Kampung Kesawan, Hadji Ibrahim juga dikenal sebagai Penghoeloe Pekan. Sjech Hadji Ibrahim adalah kepala kampong pertama di Kota Medan.

Di sekitar tahun-tahun inilah kota Medan dipenuhi oleh orang-orang terpelajar asal dari Padang Sidempuan baik sebagai pedagang, pebisnis, guru, dokter, jaksa, mantri polisi dan ulama. Anak-anak mereka yang lahir di Medan, antara lain Amir Sjarifoeddi Harahap (Perdana Menteri RI) dan Abdul Abbas Siregar (anggota BPUPKI/PPKI).

Bangunan Ritel yang Tersisa Masa Kini

Huttenbach Warenhuis Medan, 1911
Sementara itu, bisnis Huttenbach & Co terus berkembang dan semakin maju di  bidang ritel. Pada tahun 1911, Huttenbach & Co mulai membangun warenhuis (department store) yang beralamat di Huttenbach straat. Nama depart. Store ini adalah Huttenbach Warenhuis (lihat De Sumatra post, 26-08-1911). Berita ini cepat beredar hingga ke Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-09-1911) dan Bandung (De Preanger-bode, 09-09-1911). Boleh jadi Huttenbach Warenhuis, depr. Store terbesar, terlengkap dan termewah di Hindia Belanda. Ini bisa dimaklumi karena Medan merupakan konsenttrasi terbesar orang-orang Eropa dari berbagai bangsa, seperti Jerman, Italia, Prancis, Inggris dan lainnya yang tentu saja Beligia dan Belanda.

De Sumatra post, 03-04-1916
Pada tahun 1915 Huttenbach & Co merasa perlu membangun gedung baru untuk dept. store yang baru untuk menggantikan Huttenbach Warenhuis dan menyaingi pusat perbelanjaan Maison Duson. Dalam pembangunan gedung baru ini peletakan batu pertama dilakukan oleh Helena Ersthoven, putri Mr. Huttenbach. Arsitek gedung dept. store ini adalah Mr. Metz. Bangunan toko mewah ini begitu besar (saat itu) yang panjangnya 70 meter dan lebar 12 meter (lihat De Sumatra post, 13-12-1915). Dept. store baru ini disebut Medan Warenhuis yang dianggap sebagai pusat perbelanjaan orang-orang ETI (Eropa/Belanda) di Medan (De Sumatra post, 03-04-1916). Jalan Huttenbach menjadi semacam pusat perbelanjaan orang-orang Eropa, sementara Kesawan pusat perbelanjaan yang umumnya dikelola orang-orang Tionghoa. Orang-orang Jepang selain di Huttenbach straat juga terkonsentrasi di Japansch straat. Direksi Medan Warenhuis yang dibawah Handelsmaatschappij Huttenbach & Co adalah Mr. Cornfield (seorang ‘gibol’ di Medan).

De Sumatra post, 13-02-1919
Pada tahun 1919 Huttenbach & Co melakukan pembangunan dept. store yang baru dan lebih mewah dan elegan. Peletakan batu pertama pembangunannya akan dilakukan walikota Medan, Mr D. Baron Mackay (De Sumatra post, 13-02-1919). Yang turut hadir dalam upacara peletakan batu pertama tersebut adalah selain walikota, juga adalah Mr. Cornfield, arsitek Mr. G. Bos. Walikota memulai peletakan batu pertama dengan menggunakan sekop perak.

Warenhuis Medan masa kini
Dalam sambutannya, Mackay mengatakan bahwa sejak sekarang berharap gedung baru ini akan menghiasi lingkungan warga Medan dan menjadi pusat pameran dagang. Warenhuis yang baru ini akan menjadi pusat grocier dan ritel. Mr. Cornfield mengatakan untuk inisiatifnya, mengatakan berharap bahwa gedung baru Medan akan menambah indah dan gambar membentuk kebangkitan Medan sebagai kota bisnis. Dalam acara ini juga disediakan piagam yang akan dibubuhi tanda tangan walikota yang disaksikan semua yang hadir. Piagam ini akan ditempelkan  di dinding. Kemudian tamu berkeliling melihat gambar gedung baru yang dipamerkan (De Sumatra post, 17-02-1919).

Untuk sekadar diketahui, gedung Warenhuis Medan ini hingga ini hari masih dapat dilihat di Kota Medan di kawasan Kesawan (pertemuan jalan Hindu dan jalan Ahmad Yani). Gedung ini masih tampak kokoh dan terlantar dan tidak banyak yang mengetahui riwayatnya. Untuk menyingkat artikel, riwayatnya tidak dideskripsikan lebih lanjut.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: