Jumat, November 18, 2016

Sejarah Kota Medan (49): Nama Deli Bukan Berasal dari India? Peta Portugis Menyebutnya Dilli

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Nama Deli yang sekarang tampaknya bukan nama sesuai aslinya. Nama Deli adalah akhir dari suatu proses yang panjang sejak kali pertama dipetakan oleh Portugis (1750). Dalam peta Perancis (1752) nama Deli teridentifikasi sebagai nama Delli. Orang-orang Inggris kemudian mengikuti nama Prancis ini. Pada peta buatan Belanda (1818) nama Delli menjadi Deli. Nama yang disebut Belanda inilah yang digunakan hingga sekarang.

Deli Tidak Ditemukan Pada Peta Kuno

Sejauh yang diketemukan, peta paling tua adalah peta yang disusun pelaut Portugis diterbitkan pada tahun 1619. Dalam peta ini empat tempat yang teridentifikasi adalah: di pantai barat Sumatra adalah Baros (baca: Barus) dan Bathan (baca: Batahan); di pantai timur Sumatra adalah Daru (baca: Ara atau Aru) dan Ambuara (kemudian menjadi Jamboe Ajer/Perlak).

Peta kuno Kerajaan Aru, 1619 (peta Portugis)
Empat tempat ini terhubung dengan jalur perdagangan komoditi kuno ke daerah pedalaman dimana penduduk Batak berada. Baros adalah bandar komoditi kemenyan, benzoin dan kamper (kapor barus) dari penduduk Batak di Silindoeng dan Toba; Batahan adalah bandar komoditi emas (tampaknya Batahan lebih terkenal dari Natal) dari penduduk Batak di Mandailing. Aru (Daru) di sepanjang DAS Baroemoen adalah jalur komoditi emas. kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Angkola. Ambuara atau Jamboe Ajer/di Perlak adalah bandar komoditi kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Alas dan Gajo (Bandar sisi barat adalah Singkel).


Untuk sekadar diketahui nama Batak (sebagai bangsa dan teritori) sudah terpetakan dalam sketsa perjalanan Cornelis de Houtman (1595). Dalam peta ini nama Batak ditulis sebagai Bata (sesuai aksara asli Batak). Peta de Houtman ini besar dugaan menjadi salah satu sumber permbentukan peta Portugis 1611. Sebab peta Portugis ini dicetak dan diterbitkan di Belanda.

Peta-peta buatan Portugis itu (yang menjadi rujukan pembuatan peta-peta selanjutnya) besar kemungkinan didasarkan pada laporan Tome Pires (1512-1515) yang pernah mengunjungi Malacca.

Nama Batak dalam peta de Houtman, 1595
Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Malacca, dimana di dalam laporannya Barros ditulisnya saling tertukar antara Barros dengan Bata, Bara dan juga ditulis sebagai Terra de Aeilabu dan Terra de Tuncoll. Semua nama-nama yang tertukar itu berada di daerah teritori penduduk Batak (Baros). Lalu kemudian Daru tertukar dengan Barros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Ini juga mengindikasikan nama-nama itu berada di daerah teritori penduduk Batak.

Intinya, beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak menonjol.
Peta 1619 (berbahasa Portugis) boleh jadi merupakan peta kuno paling lengkap tentang identifikasi nusantara. Sedangkan buku kono paling lengkap tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia adalah berjudul ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam tahun 1614

Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak dengan huruf gothiek. Pelaut Portugis sudah mendarat di Malacca tahun 1508 dan menguasainya tahun 1511. Sedangkan pelaut-pelaut Belanda baru muncul satu abad berikutnya yang lalu kemudian muncul VOC tahun 1602 yang berkantor di Banten, lalu pindah ke Ambon, kemudian Sulawesi Selatan, lalu ke Banten lagi dan akhirnya menetap di Batavia tahun 1619. Oleh karena itu buku ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ sudah beredar luas sebelum Belanda di Batavia memulai babak baru penguasaan Nusantara. Ini juga berarti peta kuno 1619 bersamaan munculnya dengan Batavia ditetapkan sebagai markas VOC yang baru (dan untuk seterusnya).

Rujukan utama buku ini besar kemungkinan adalah jurnal Belanda tahun 1598 berjudul: ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent,...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta termasuk peta pulau Sumatra dimana dalam peta ini nama Ilhas (pulau) dan Terra (tanah) Daru sudah teridentifikasi. Sebagaimana diketahui, Cornelis de Houtman adalah pimpinan ekspedisi pertama Belanda yang berhasil memasuki nusantara

Dalam Kamus Geografi tahun 1710 daerah penting di Sumatra hanya menyebut Achem, Lamby, Palamban, Pedier, Andragire. Ini berarti Aru tidak dianggap lagi daerah penting.

Muncul Nama Dilli di Hulu Sungai Deli yang Sekarang

Peta lama, Deli, 1750 (peta Portugis)
Setelah lebih dari satu abad, pada peta Portugis yang diterbitkan pada tahun 1750, nama Dilli sebagai nama suatu tempat baru muncul. Tempat ini disebut oleh orang-orang Portugis dengan nama Dilli (adakah relevansinya dengan Dilli di Pulau Timor?). Bandar Dilli ini berada di pedalaman hulu sungai Deli yang sekarang (sebagaimana Pertibie di pedalaman sungai Baroemoen).

Di dekat muara sungai Deli sendiri terdapat satu muara sungai lagi (Sungai Belawan atau Sungai Boeloe Tjina atau sungai Hamparan Perak) yang mana kedua sungai ini airnya masuk ke teluk Belawan. Tampak dalam peta bahwa pulau Belawan sudah ada, tetapi (delta) Pulau Sitjanang belum muncul.

Dalam peta Perancis (1752) nama Deli teridentifikasi sebagai nama sungai Songi Delli. Dalam peta Perancis ini Ambara atau Ambuara berada di sebelah utara Deli.

Dalam kamus ini Ambuara juga disebut Aru (apa maksudnya Haru?). Sementara dalam kamus ini tidak ditemukan bandar Panai tetapi secara lengkap dan eksplisit diterangkan adanya bandar Aru yang lokasi di sungai Baroemoen dan persis berseberangan dengan Malacca.


Peta baru, Aru dan Deli, 1818 (peta Belanda)
Diantara kedua tempat ini di selat Malaka terdapat pulau Aru..Lantas, jika disandingkan dua peta terdahulu (1750, Portugis) dan peta berikutnya (1818, Belanda), Aru dan Dilli masih sama-sama eksis. Dalam peta 1750 Deli disebut Terre de Dilli dan Aru disebut Teree de Aroe dan kemudian pada peta tahun 1818 buatan Belanda, Kerajaan Aru disebut sebagai Het Rijk Aroe, sedang Kerajaan Deli disebut Het Rijk Dilli.

Jika Portugis dan Belanda menyebut Deli dengan nama Dilli, lalu pertanyaan yang muncul adalah kapan nama Deli atau Delhi pertamakali digunakan? Apakah Dilli penyebutan Deli atau Delhi dalam bahasa Portugis atau Belanda? Atau apakah Dilli bukan Deli?

Sejauh peta yang tersedia, nama Deli atau Delhi tidak pernah ditemukan. Dalam peta tahun 1843 buatan Belanda, bahkan nama Deli juga belum ditemukan. Sebaliknya, dalam peta yang sama Rijk Dilli dan Rijk Aroe justru yang hilang dari peta. Yang tetap eksis adalah Rijk Astjien dan Rijk Siak. Hal ini dapat dipahami karena dua kerajaan ini saling bergantian memberi pengaruh di pantai timur Sumatra dan secara internasional Kerajaan Aroe dan Kerajaan Dilli redup di bawah dua kekuatan tersebut (Atjeh dan Siak). Sebagaimana diketahui pada tahun 1824 terjadi perjanjian tukar guling antara Inggris dengan Belanda mengenai Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak perjanjian itu (yang didahului oleh ekspedisi Anderson tahun 1822 di pantai timur Sumatra, namun wilayah pantai Timur Sumatra yang secara dejure adalah Belanda tetapi secara defacto Belanda absen, sebaliknya secara defacto Inggris masih memiliki pengaruh di pantai Timur Sumatra.

Dimana letak Aru ini menurut laporan orang-orang Inggris sebelum Portugis menguasai Malaka tahun 1511 adalah sebagai berikut: Kerajaan Kedah atau Quedah (Lat.6’10’) di daerah sebelah bawah Siam (Thailand). Di sebelah utara semenanjung Malacca ini yang sejajar dengan Kedah di Pulau Sumatra pada posisi 5’5’. Titik penting di pulau ini adalah Cape Diamond pada posisi 4’50’. Tempat berikutnya adalah Pulo Pera, suatu pelabuhan yang berada di lautan (selat Malacca). Lebih jauh di selatan terdapat Pulo Aru (Lat.2’50’), suatu pulau kecil di tengah selat yang mana di sisi lain, di sisi semenanjung Malcca di sebelah tenggara pulau ini terdapat teluk besar, yang kemudian di arah selatannya terdapat Malacca, ibukota semenanjung pada posisi 2’20’. Kota ini awalnya di bawah supremasi India (sebelum Portugis). Pelabuhan ini sangat ramai, selain India, juga dikunjungi oleh kapl-kapal dari Hindustan, China, Philipina, Persia, Arab dan bahkan Afrika. Orang-orang Arab menyebarkan agama Islam. Pelabuhan Malacca ini dikunjungi adminarl Lopez pada tahun 1508 (lihat C. Pennant, 1800).

Nama Deli baru pada peta buatan Belanda tahun 1847 untuk kali pertama muncul dalam peta yang diidentifikasi sebagai Delhi (bukan Dilli lagi). Sementara itu, nama Aru tidak pernah muncul lagi daam peta, tetapi nama Pane dan Bila masih tetap eksis, tetapi letaknya tidak lagi di pantai tetapi berada di hulu sungai Baroemoen dan hulu sungai Bila.

Selanjutnya, dalam peta terbitan tahun 1862 (setelah adanya perjanjian Sultan Siak dengan pemerintah kolonial Belanda tahun 1858) nama Deli dipertegas menjadi Deli (dan untuk kali pertama secara eksplisit nama Deli dipetakan (bukan Dilli dan bukan Delhi lagi).

Sehubungan dengan pergeseran nama-nama Deli itu, sesungguhnya apa yang terjadi? Apakah ada konspirasi antara Belanda, Siak dan Deli ingin menghilangkan kesan Portugis di pantai timur Sumatra, khususnya di Deli?. Entahlah. Hal lain yang muncul dalam peta tahun 1862 adalah bahwa nama Baloe Tjina muncul ke permukaan bersamaan dengan munculnya nama Deli secara eksplisit.

Akan tetapi dalam peta-peta selanjutnya nama Baloe Tjina yang sempat terpetakan pada tahun 1862 lalu hilang dari peta untuk selamanya. Untuk pertanyaan mengapa nama Baloe Tjina hilang dari peta sangat mudah dijawab (lihat artikel sebelumnya). Namun demikian sangat disayangkan hilangnya nama Baloe Tjina dalam peta.

Baru-baru ini ada kesan nama 'Kota Tjina' di tempat kini, dulunya nama Baloe Tjina yang telah diberi nama Kota Tjina oleh Asisten Residen Deli tahun 1879 juga akan mengalami nasib yang sama dengan nama Baloe Tjina.Pertanyaan yang muncul: ada gerangan apa yang terjadi? Sebagaimana diketahui nama Dilli telah berubah menjadi Delli di era Inggris seperti nama Delli yang ditulis oleh Anderson dalam bukunya 1826 yang pernah berkunjung ke Deli tahun 1823. Tampaknya orang-orang Inggris mengikuti Portugis, pergeseran dari Dilli ke Delli hanyalah soal aksen dan mungkin tidak ada kaitannya dengan Delhi di India, tempat dimana gubernur Inggris berada. Bahwa ada yang mengaitkan Delli dengan Delhi adalah masalah lain, tetapi yang jelas di Deli nama Dilli menjadi Delli, sedangkan di pulau Timor Dilli tetaplah Dilli. Ini menunjukkan bawah Dilli, Delli dan Deli adalah soal kontekstual (5W+1H). Hal yang mirip dengan kasus nama Deli ini adalah nama Residentie Tapanoeli (antara preferensi Tapanoeli oleh Inggris dan pereferensi Bataklanden oleh Belanda).

Dengan demikian, dapat diulang kembali bahwa tiga tempat yang disebut secara historis adalah Panai (bergeser menjadi Aru di muara sungai Baroemoen/Panai); Haru di muara sungai Wampu; dan Sampei (bergeser menjadi Dilli).

Dalam perkembangannya ketiga tempat ini menurut peta yang lebih terbaru buatan Belanda yang terbit tahun 1818 nama yang masih disebut hanya tinggal Dilli dan Aru, dimana Deli berada (pindah ke muara sungai Deli) dan Aru tetap berada di sungai Baroemoen.

Nama Ambuaru atau Djamboe Ajer dan Sampei dalam kamus Belanda masih dijelaskan. Djamboe Ajer adalah pelabuhan sedangkan Sampei hanya dideskripsikan sebagai suatu bandar kecil yang berpenduduk lima puluh rumah yang didominasi oleh penduduk Batak. Bandar Sampei semakin menyusut popularitasnya karena semakin terlindung oleh Pulau Sitjanang, sementara Deli baru (Laboehan Deli) semakin popular.

Menurut John Anderson, peneliti Inggris yang berkunjung ke Laboehan Deli dan Boeloe Tjina (Sampei) tahun 1823, rumah Sultan Deli (belum disebut istana) berada di Kampong Alei suatu kampung kecil yang terdiri dari sejumlah rumah (lebih kecil dari Kampung Tangah dan Kampung Besar). Sedangkan menurut laporan Netscher yang pernah ekspedisi ke Laboehan Deli tahun 1863 rumah Sultan Deli berada di Laboehan.

Jumlah penduduk Labohan sekitar 200 rumah yang sebagian besar Melayu dan ditambah orang-orang Atjeh, Cina, India berdarah campuran dan Batak.. Besar kemungkinan perpindahan ini (dari Alei ke Laboehan) setelah perang antara Sultan (melayu) dengan Radja (batak) Pulo Barain (Brayan) yang terjadi saat kunjungan Anderson [catatan: pada saat itu, wilayah kekuasaan Sultan hanya sekitar Laboehan dan Pertjoot, selebihnya adalah kampung-kampung penduduk Batak]. .

Aru dan Haru: Dua Nama yang Berbeda

Kerajaan Aru ini berada di sungai Baroemoen. Sementara Kerajaan Haru (Ambuaru) boleh jadi kerajaan yang bergeser ke muara sungai Wampu. Kerajaan Deli muncul kemudian setelah era bandar Haru, Sampei dan Panai. Besar kemungkinan setelah bandar Sampei memudar muncul bandar Deli di hulu sungai Deli (kini Deli Toe). Dalam perkembangannya, Kerajaan Deli mulai tumbuh dan berkembang, namun Kerajaan Aru di Baroemoen mulai redup. Lambat laun hegemoni, Kerajaan Aru memudar dan muncul kekuatan baru di Siak (akumulasi dari Kampar dan Indragiri). Demikian juga, Kerajaan Pedir dan Pase memudar lalu lebih menonjol Kerajaan Atjeh.

Lalu dua kekuatan ini (Siak dan Atjeh) saling bergantian memperebutkan Kerajaan Deli (Deli Toea), hingga pada nantinya di muara sungai Deli muncul Kesultanan Deli (Laboehan Deli). Tidak ada bukti yang logis bahwa Kerajaan Deli atau Kesultanan Deli adalah Kerajaan Aru maupun Kerajaan Haru. Kerajaan Deli dibentuk di lokasi eks bandar orang-orang India di pedalaman sungai Deli. Besar kemungkinan bandar India ini dibangun oleh orang-orang India yang dulunya berada di bandar-bandar India di sekitar hulu sungai Baroemoen (eksodus ke Deli setelah digantikan oleh orang-orang Moor di Baroemoen). Dalam perkembangan lebih lanjut orang-orang Moor ini digantikan oleh penduduk lokal (Batak dan Melayu).

Logika ini lebih masuk akal ketika hampir semua peneliti (asing maupun local) menyimpulkan bahwa Kerajaan Deli dan Kesultanan Deli cikal bakalnya adalah Kerajaan Aru/Haru. Hal yang tidak logis lainnya bahwa Aru dan Haru dipertukarkan untuk menunjukkan hal yang sama. Hal lainnya Aru disamakan dengan Daru, padahal Daru adalah pengucapan yang lebih simpel dari de Aru atau d’Aru. Kesimpulan yang terbaik adalah Aru dan Haru adalah dua tempat yang berbeda dan Aru bukan di Deli tetapi di Baroemoen.

Dilli, Delli dan Deli: Nama Tempat yang Sama di Tiga Era Berbeda

Ambuaru (Haru), Dilli (Deli) dan Aru (de Aru atau d'Aru atau Daru) adalah tiga tempat yang berbeda (lihat peta 1619, 1750, 1752 dan 1862). Sementara penulisan nama Dilli (Portugis) menjadi Delli (Inggris) dan kemudian Deli (Belanda) adalah nama tempat yang sama di dalam tiga era yang berbeda (lihat peta 1750, laporan Anderson 1826 dan peta 1862).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Artikel ini merupakan revisi dari chapter dalam artikel berjudul: Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli).

Tidak ada komentar: