Minggu, November 20, 2016

Sejarah Kota Medan (50): Penduduk Kota Medan, Kota Melting Pot; Kini, Persentase Tertinggi Etnik Batak



Persentase etnik di Kota Medan, 1930 dan 2010 (diolah sendiri)
Secara dejure, cikal bakal kota Medan dimulai tahun 1875, ketika onderafdeeling Medan dibentuk dan menempatkan seorang controleur yang berkedudukan (rumah/kantor) di Soekamoelia. Sejak itu Medan tumbuh dan berkembang layaknya kota. Pada tahun 1879 Medan menjadi ibukota afdeeling Deli, asisten residen yang sebelumnya berkedudukan di Laboehan (onderafdeeling Laboehan) pindah ke Medan. Pada tahun 1887 Medan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dimana Residen berkedudukan (sebelumnya di Bengkalis). Kota Medan yang terus tumbuh dan berkembang, pada tahun 1909 Medan dibentuk menjadi sebuah kotamadya (gemeente). Pada tahun 1915 Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province dan ibukotanya di Medan.

Era Deli

Kota Medan belum ada ketika di Laboehan dilaporkan terdapat adanya komposisi penduduk. Menurut laporan Netscher (Resident Riaou) yang kali pertama pemerintah datang ke Deli di Laboehan hanya terdapat beberapa ratus penduduk.

Warga Medan pertama: Nienhuys dan asistenya (1865)
Netscher (1863): ‘Masyarakat: Satu pemandangan yang aneh, diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Batakscbe seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah’. Masih di dalam laporan Netscher. ‘Penduduk: Populasi Deli ada di pantai dari Maleijers, di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat.

Dari laporan ini paling tidak sudah terdeteksi, selain Batak ada Melayu, Tionghoa, India dan Atjeh. Jika dibandingkan dengan laporan Anderson (1823) yang hanya menyebut Batak dan Melayu, maka kehadiran Tionghoa, India dan Atjeh adalah suatu yang baru. Komposisi penduduk di Deli semakin bertambah ketika 1864 Nienhuys (pionir perkebunan tembakau di Deli) mendatangkan kuli dari Penang. Kuli pertama yang didatangkan Nienhuys adalah kuli Jawa yang diperoleh di Penang. Kemudian Nienhuys mendatangkan kuli Cina dari Singapore. Kuli lainnya didatangkan dari Siam dan India (Kling). Diantara kuli yang menyusul yang paling banyak didatangkan dari Cina dan kemudian disusul dari Jawa.

Ketika Controleur de Caet 1866 ingin melakukan ekspedisi ke Bataklanden, lebih dahulu berkeliling di sekitar Medan untuk menemukan para pemimpin Batak yang bersedia diajak ke Bataklanden sebagai pemandu. Tidak mudah menemukan karena para pemimpin Batak yang ada di Medan dan sekitarnya (Sukapiring) dan Senembah tidak begitu mengenal para pemimpin Batak di Karo atas. Setelah berkeliling lama de Caet menemukan pemimpin Batak yang sudah lama merantau ke Karo bawah tetapi masih kerap pulang kampung. Dialah yang menjadi pemandu de Caet dan rombongan ke Bataklanden (lihat laporan de Caet, 1875).

Praktis, pada tahun 1870 ketika area di sekitar Medan perkebunan telah berkembang meluas ke Timbang Langkat sudah ada sekitar 6.000-7.000 kuli asal Tiongkok. Ini dengan sendirinya kuli Cina di Deli telah melampaui jumlah populasi Melayu. Pada tahun 1872 kuli Cina di sekitar Pertjoet melakukan pemberontakan yang bahkan membunuh para majikannya. Sementara di Sunggal tahun 1876 para penduduk Batak yang dipimpin oleh para datu melakukan perlawan terhadap kehadiran perkebunan Eropa/Belanda. Salah satu datu Sunggal harus dibuang ke Tjiamis, Djawa.

Para penduduk Batak yang berada di sepanjang DAS Deli yang telah berhasil ditekan Sultan dan Controleur, tergiur untuk menganeksasi wilayah pemukiman Batak di Sunggal. Militer Belanda mendapat dukungan penuh dari Sultan untuk memerangi penduduk Batak. Hasil aneksasi ini Sultan mendapat konpensasi atas hak konsesi tanah yang diberikan kepada para planter. Pola ini dipakai terus dimana para planter menginginkan lahan-lahan subur yang dijaga militer dan didukung dari belakang oleh Sultan. Lambat laun penduduk Batak seakan terusir sendiri ke luar Deli. Sementara di dalam kantong-kantong perkebunan kuli Cina dan dari Jawa semakin banyak. Perlawanan penduduk Batak ini terus berlangsung hingga akhir 1880an, seperti yang terjadi di area Arhemnia di dekat Padang Boelan.

Penduduk Batak yang berada di Kampung Poetri Hidjaoe (Medan Poetri), Kampung Kesawan, Kampung Tebing Tinggi, Kampung Baru bahkan Kampung Deli Toea tidak bisa berbuat banyak. Tanah-tanah ulayat mereka sudah menjadi konsesi perkebunan asing di luar sepengetahuan mereka. Penduduk yang tinggal di kampong-kampung tersebut hanya mengusahakan lahan-lahan kecil secara subsisten. Kebun-kebun tembakau, lada hitam dan tanam-tanaman lainnya yang dulu sangat luas dan banyak hasilnya yang diturunkan dari orang tua dan kakek hilang lenyap berganti dengan perkebunan tembakau oleh Eropa.Belanda.

Penduduk asli Kampung Medan Poetri dan Kampung Kesawan lambat laun juga terpinggirkan dan terdesak dengan semakin banyaknya para pedagang Tionghoa yang berdatangan dari pantai dan eks para kuli yang tidak kembali ke Tiongkok yang berdiam di Kesawan. Sejak 1887 wilayah kota Medan sudah terbagi dua: di sekitar Deli Mij (cikal bakal kota Medan) bermukim orang-orang Eropa/Belanda dan di sekitar Keswan bermukim orang-orang Tionghoa. Tidak lama kemudian, sebelum tahun 1900, Kampong Poetri Hidjaoe juga lambat laun dikokupasi oleh orang-orang Kling (yang dikenal kemudian sebagai Kampong Petisah). Para kuli India, seperti sebagian kuli Cina tidak kembali ke kampong halaman mereka.  

Gemeente Medan

Kampoeng Medan Poetri yang menjadi pusat perkebunan Nienhyus sejak 1870 dan menjadi ibukota onderafdeeling Medan tahun 1875, secara cepat telah berubah menjadi kota. Perubahan ini semakin cepat ketika ibukota afdeeling Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan tahun 1879 dan pada tahun 1887 kota Medan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust (sebelumnya di Bengkalis).

Sejak awal 1870an penduduk afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afdeeling Mandailing dan Angkola) sudah banyak yang merantau ke Deli khususnya Laboehan dan Medan. Mereka datang umumnya sudah berpendidikan sebagai pedagang dan juga untuk bekerja di perkebunan sebagai krani. Pada tahun 1870 dari 10 sekolah negeri yang ada di Residentie Tapanoeli, delapan diantaranya di afdeeling Padang Sidempuan. Kemudian disusul kedatangan gelombang penjabat. Pertama, pejabat yang dipindahkan dari Residentie Tapanoeli untuk membantu Residentie Sumatra’s Osskust di Labuhan dan Medan. Mereka ini datang melalui jalur laut: Sibolga, Singkel, Kotaradja, Tangjoengpoera, Laboehan dan Medan.Kedua, pejabat yang datang dari Bengkalis. Sebagaimana diketahui para pejabat pribumi di Bengkalis umumnya adalah orang-orang Padang Sidempuan. Rute mereka adalah Padang Sidempuan-Bengkalis via darat (sangat dekat) dan dari Bengkalis ke Deli via laut. Rute lain adalah langsung dari Padang Sidempuan ke Medan dengan system navigasi alamiah yang mengikuti kabel telegraf yang baru tersambung (1887) antara Medan dan Padang Sidempuan via Gunung Tua dan Rantau Prapat. Dapat ditambahkan, gelombang ketiga, dari Batavia yang merupakan para migrant Padang Sidempuan yang sudah lama di Batavia sebagai pegawai yang diantara mereka ini beberapa dokter asal Padang Sidempuan lulusan docter djawa school. Gelombang ketiga ini yang datang dari Tapaneoeli ke Deli adalah para guru-guru alumni Padang Sidempuan (sekolah guru di Padang Sidempuan didirikan tahun 1879).

Praktis, pada awal 1900 orang-orang Padang Sidempuan dari Residentie Tapanoeli di Kota Medan sudah sangat banyak. Migran Padang Sidempuan ini semakin banyak sejak 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Gelombang keempat ini sangat diwarnai oleh para pengusaha-pengusaha besar yang selama ini berbasis di Padang, Sibolga dan Padang Sidempuan. Rute yang diambil tetap masih via laut melalui Kotaradja.

Pada tahun 1905 di Medan didirikan Sjarikat Tapanoeli yang dipelopori oleh Hadji Dja Endar Moeda dan Haji Ibrahim. Sarikat ini pada puncaknya tahun 1907 mulai mengimbangi pedagang Tionghoa. Para pengusaha Afdeeling Padang Sidempuan (Mandailing dan Ankola) membentuk Sjarikat Tapanoeli. Sarikat ini pada tahun itu membentuk klub sepakbola yang diberi nama Tapanoeli Voetbal Club dan mempelopori diadakannya kompetisi Deli Voetbal Bond. Sukses orang-orang Padang Sidempuan ini membuat tertarik orang-orang Minangkabau merantau ke Medan.

Perdana Menteri RI: Amir (ke-3), Burhanuddin (ke-8)
Anak-anak para migran Padang Sidempuan ini di Medan kelak banyak yang sukses di tingkat nasional, seperti Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan 1905 (Perdana Menteri RI kedua), Abdul Abbas Siregar, lahir di Medan tahun 1907 (anggota BPUPKI/PPKI), Burhanuddin Harahap lahir di Medan (Perdana Menteri kedelapan). Dalam daftar ini tentu saja dapat ditambahkan Adam Malik Batubara lahir di Pematang Siantar (Wakil Presiden RI) dan Sakti Alamsjah Siregar lahir di Sungai Karang (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung).

Pada tahun 1909 Sarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar Pewarta Deli dengan editor Hadji Dja Endar Moeda. Hadji Dja Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884), mantan guru, pemilik sekolah di Padang dan pengusaha media dengan suratkabar yang terkenal Pertja Barat (di Padang) dan Tapian Na Oeli (di Sibolga). Dja Endar Moeda hijrah ke Medan tahun 1907. Hadji Dja Endar Moeda juga membuka bisnis media dan percetakan di Kotaradja.

Sebagaimana diketahui pada tahun 1909 Kota Medan dijadikan sebagai kotamadya (Gemeente). Walikota pertama adalah Baron Mackay. Sejak saat itu Kota Medan menjadi sebuah daerah otonom hingga sekarang. Kepala kampong (Kampoenghoofd) yang pertama diangkat adalah Hadji Ibrahim sebagai penghoeloe Kampung Kesawan atau Kampong Pekan. Hadji Ibrahim juga merangkap sebagai kepala kampong Sungai Kerah. Ini dengan sendirinya, Hadji Ibrahim van Padang Sidempuan adalah kelapa kampong (kini Lurah) pertama di Kota Medan.

Mohamad Yacoub gelar Soetan Kinajan atau Sjech Ibrahim datang ke Deli pada tahun 1875 sebagai krani Kantor Sultan Serdang (Serdangsche Sultanaatskantoor) di Rantaoe Pandjang. Mohamad Yacoub berasal dari afdeeling Mandheling en Ankola. Pada saat itu umur Mohamad Yacoub baru 15 tahun (tamat sekolah dasar). Mohamad Yacoub pada tahun 1880an pindah ke Medan dan bekerja di toko Huttenbach & Co, salah satu toko pertama Eropa di Medan. Mohamad Yacoub kemudian membuka usaha dan melakukan haji ke Mekah. Sejak kepulangan  Mohamad Yacoub dari tanah suci namanya lebih dikenal sebagai Hadji Ibrahim. Pada tahun 1909 ketika Medan ditingkatkan menjadi kota (gemeete) Hadji Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe (kamponghoofd) Kampong Kesawan. Pusat pasar Medan berada di Kampung Kesawan, Hadji Ibrahim juga dikenal sebagai Penghoeloe Pekan.

Kota Medan terus tumbuh dan berkembang. Pada tahun 1915 Kota Medan menjadi ibukota Provinsi Sumatra’s Oostkust. Namun sejauh ini tidak pernah diketahui berapa penduduk Kota Medan dan bagaimana komposisinya. Yang jelas, orang-orang Padang Sidempuan mewakili etnik Batak yang merantau tentu saja sudah terbilang signifikan jumlahnya.

Berdasarkan pendataan jumlah penduduk tahun 1915 di kota Medan terdapat sebanyak 43 ribu orang yang terdiri dari Eropa 409 orang, pribumi 35 ribu orang, Tionghoa 8.269 orang dan Asia lainnya 139 orang. Jumlah penduduk pribumi ini umumnya Jawa, Batak, Melayu dan Minangkabau.

Untuk memperkirakan ini hanya tersedia data para pemilih pribumi di Kota Medan sebagai proksi perkiraan besarnya etnik Batak. Data pemilih baru tersedia pada tahun 1918. Jumlah pemilih pribumi ada sebanyak 26 orang plus satu orang Tionghoa. Dari beberapa kandidat yang terpilih tiga orang diantaranya Radja Goenoeng.

Di Hindia Belanda (baca: Indonesia) pada tahun 1921 hanya terdapat 53 dewan kota/kabupaten (lihat De Preanger-bode, 01-02-1921). Di Province Sumatra’s Oostkut terdapat lima dewan kota (gemeenteraad) yakni selain Medan adalah Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tandjongbalai dan Bindjei dan satu dewan provinsi yakni.Sumatra’s Oostkust. Sedangkan di Residentie Tapanoeli hanya satu buah dewan yakni di Padang Sidempuan. Uniknya dewan ini tidak pada level kota/kabupaten tetapi justru pada level kecamatan (onderafdeeling Angkola en Sipirok). Jumlah anggota dewan non-Eropa/Belanda sebanyak 23 orang lebih banyak jika dibandingkan dengan dewan provinsi Sumatra’s Oostkust yang hanya 21 orang. Untuk anggota dewan non Eropa/Belanda di Medan bertambah menjadi 10 orang.

Radja Goenoeng asal Padang Sidempuan mengindikasikan jumlah pemilih asal Padang Sidempuan sudah banyak. Catatan: para pemilih adalah individu yang secara tingkat pendapatan memiliki pendapatan tertentu (tidak semua penduduk dewasa seperti sekarang). Selain itu, orang-orang Padang Sidempuan tidak hanya menjadi anggota dewan di Medan, tetapi juga Pematang Siantar, Tandjongbalai dan Tebingtinggi. Tentu saja orang-orang Padang Sidempuan menjadi dominan di dewan Angkola en Sipirok.

Jumlah pemilih anggota Dewan Kota Medan, 1912-1826
Pada tahun 1918 untuk kali pertama anggota dewan (gemeenteraad) Medan diangkat setelah melalui proses pemilihan (semacam pilkada). Salah satu dari tiga orang non Eropa adalah Radja Goenoeng (De Sumatra post, 16-07-1918). Ini mengindikasikan bahwa Radja Goenoeng adalah orang pribumi pertama yang berasal dari Sumatera Utara yang duduk sebagai anggota dewan Kota Medan. Dewan Kota Medan sendiri dibentuk dan anggotanya diangkat pertama kali tahun 1912. Hal ini sehubungan dengan telah dibentuknya Medan sebagai sebuah gemeente (kota) yang resmi diberlakukan sejak tanggal 1 April 1909.

Singkat kata, sejauh ini belum pernah dilakukan pendataan di Kota Medan. Oleh karena itu gambaran kependudukan dan komposisi etnik di Kota Medan juga tidak diketahui secara pasti. Ketiadaan data penduduk ini di Hindia Belanda, khususnya di Deli dan Kota Medan semakin memperburuk keadaan ketika muncul krisis ekonomi yang dimulai awal tahun 1920an.

Masa Kini

Sensus penduduk secara keseluruhan di Hindia Belanda baru dilaksanakan pada tahun 1930. Hal ini diselenggarakan boleh jadi terkait dengan krisis ekonomi yang sudah berlalu. Sensus penduduk pernah dilakukan sebelumnya tahun 1920 namun hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu.

Jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 1930 sekitar 75 ribu orang. Jumlah ini telah jauh meningkat jika dibandingkan hasil pendataan tahun 1915 dan SP 1920. Batas-batas kota Medan tidak diketahui secara jelas dan oleh karena penduduk etnik Tionghoa dan Kling cenderung berada di pusat kota, maka penduduk pribumi terkesan jauh lebih sedikit jika dibandingkan etnik Tionghoa. Penduduk etnik Tionghoa merupakan persentase yang tertinggi (35.6 persen), kemudian disusul lumlah penduduk etnik Jawa yang merupakan penduduk terbanyak dari pribumi (24.9 persen). Ini menunjukkan saat itu Kota Medan (terutama di tengah kota) didominasi oleh etnik Tionghoa dan etnik Jawa.

Persentase etnik di Kota Medan, 1930 dan 2010 (diolah sendiri)
Di Kota Medan, penduduk etnik Batak hanya sebanyak 7.7 persen. Persentase yang tidak terlalu berbeda dengan etnik Melayu dan etnik Minangkabau yang masing-masing 7.1 persen dan 7.3 persen. Eropa/Belanda sendiri sebanyak 5.6 persen yang sedikit di atas penduduk Asia lainnya (4.9 persen). Penduduk Asia lainnya terutama India dan Jepang.

Penduduk Batak sendiri terbagi dua yakni penduduk yang tetap berafiliasi sebagai etnik Batak dan yang berafiliasi sebagai etnik Melayu. Mereka yang berafiliasi sebagai etnik Melayu ini adalah penduduk asli Medan (Karo bawah) yang sudah sejak doeloe menjadi penghuni kawasan Medan. Karo atas sampai pada tahun 1930 diduga belum tertarik untuk menetap di Medan, selain factor kedekatan, juga factor surplus pertanian yang masih baik di Karo atas. Memang sebagian penduduk Karo atas telah merantau, namun mereka masih berada di Karo bawah tetapi belum termasuk bagian dari wilayah kota Medan.

Etnik Batak selain yang berasal dari afdeeling Padang Sidempuan (Mandailing dan Angkola) yang datang menyusul kemudian adalah etnik Batak yang datang dari Silindoeng, Toba dan Simaloengoen. Namun demikian, meski lebih dekat ke kota Medan (dibandingkan Padang Sidempuan) jumlah mereka belum terlalu banyak. Sebagaimana etnik Batak yang berasal dari Karo atas, mereka juga bermukim di luar kota Medan. Oleh karenanya penduduk etnik Batak di Medan sejauh ini didominasi oleh penduduk yang berasal dari Padang Sidempuan.

Jumlah penduduk Kota Medan, 1961-2010
Penduduk Kota Medan awalnya terkesan didominasi oleh etnik Jawa dan etnik Tionghoa (kedua etnik ini sekitar 60 persen) dalam perkembangannya etnik Tionghoa seakan menyusut pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini karena di satu sisi adanya perluasan kota (yang menambah populasi etnik Batak), juga karea migrasi masuk Tionghoa semakin melambat. Sedangkan di sisi lain arus migrasi dari Tapanuli makin lama makin deras, apalagi infrastruktur jalan semakin memadai dan pendidikan semakin meningkat pesat khususnya di Toba dan Simalungun.

Penduduk kota Medan yang terus bertambah setelah kemerdekaan tercatat sudah mendekati 500 ribu pada tahun 1960. Jumlah penduduk kota semakin berlipat ganda ketika kota Medan diperluas hingga ke Belawan. Pada tahun 1980 penduduk kota Medan sudah lebih dari 1.3 juta orang. Pada sensus penduduk yang terakhir (2010) jumlah penduduk kota Medan sudah mencapai 2.1 juta orang.

Pada SP 2010 pendataan penduduk menurut etnik dilakukan kembali. Pendataan pertama serupa ini pernah dilakukan pada sensus penduduk yang pertama setelah kemerdekaan pada tahun 1961.

Persentase penduduk menurut etnik di Kota Medan pada tahun 2010 merupakan yang tertinggi yakni sebanyak 34.6 persen. Kemudian disusul etnik Jawa sebanyak 33.2 persen. Sementara etnik Tionghoa hanya 9.5 persen (sedikit di atas Melayu 7.0 persen dan Minangkabau 7.8 peren). Proporsi etnik Jawa tahun 2010 dibanding tahun 1930 terkesan relatif tidak berubah. Migran dari pulau Jawa kemungkinan tidak bertambah lagi, tetapi etnik Jawa masuk ke Medan sebagai migrant local yang datang dari kantong-kantong perkebunan di Sumatra Timur dan Tapanuli.   


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: