Kamis, November 24, 2016

Sejarah Kota Medan (52): Banjir Besar 1910, 1925 dan 1931; Pemerintah Kota Membuat Master Plan



Menara air kota Medan baru setahun (1909) selesai rampung dibangun. Tiba-tiba pada Februari 1910 reservoir  Waterleiding-Mij. Ajer Beresih di Roemah Soemboel di Sibolangit jebol, akibat batu besar jatuh. Ini terjadi Februari 1910. Di Medan sempat dikhawatirkan akan terjadi banjir akibat kecelakaan tersebut. Namun segera dapat ditanggulangi: banjir tidak terjadi dan aliran air bersih segera dapat tersambung kembali (lihat De Sumatra post, 17-02-1910).

Sungai Belawan, 1878
Pada bulan Januari surat kabar berbahasa Melayu, Pewarta Deli di Medan. Surat kabar kedua berbahasa melayu di Medan ini dipimpin dan merangkap editor Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Surat kabar ini muncul untuk mengambil posisi surat kabar berbahasa Melayu yang pertama di Medan, Pertja Timor yang tengah goyah. Surat kabar investasi Belanda dan terbit sejak tahun 1902 tersebut kini tanpa jiwa, setelah meninggalnya Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe tahun 1908. Mangaradja Salamboewe adalah editor Pertja Timor sejak awal pendiriannya.  Sedangkan Dja Endar Moeda adalah pemilik surat kabar Pertja Barat di Padang sejak 1897. Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe adalah sama-sama alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempuan.

Berita jebolnya reservoir Ajer Beresih di Sibolangit, warga yang sempat cemas boleh jadi karena Medan sudah sejak lama rawan banjir. Sudah beberapa kali terjadi banjir sejak kota Medan didirikan tahun 1875. Meski kerap banjir tetapi banjir yang ada selama ini masih dapat ditanggulangi dan air menyusut segera.

Ibukota Deli pindah ke Medan dari Laboehan karena alasan banjir. Pada tahun 1873 terjadi banjir besar di Laboehan. Detasemen militer yang bermarkas di Laboehan pindah ke Medan sekaligus untuk melindungi Deli Mij. Pada tahun 1875 dibentuk kecamatan (onderafdeeling) Medan dan menempatkan seorang controleur di Medan. Rupanya, pemerintah juga tidak nyaman di Laboehan karena sering banbjir lalu merencanakan akan pindah ke Medan. Pada tahun 1879, ibukota Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan. Ini berarti Asisten Residen Deli berkedudukan di Medan dan di Laboehan hanya ditempatkan seorang controleur (tukar tempat).

Laboehan tetap menjadi langganan banjir, sementara Medan adakalanya kota mengalami banjir tetapi tidak sampai mengkhawatirkan seperti di Laboehan. Dengan semakin tingginya aktivitas di Medan tindakan preventif banjir terus ditingkatkan. Kota Medan pada tahun 1887 ditingkatkan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust (menggantikan ibukota Bengkalis). Upaya-upaya penanggulangan banjir terus ditingkatkan seperti perencanaan drainase, pembuatan gorong-gorong, dan sebagainya seiring dengan penataan kota dalam bidang pembangunan jalan dan jembatan.

Banjir Besar 1910 di Medan

Sistem drainase kota Medan hingga tahun 1910 terbilang cukup baik untuk mencegah munculnya banjir. Oleh karenanya, berita banjir di Medan sudah agak lama tidak terdengar dan nyaris tidak ada surat kabar yang memberitakan. Pembangunan kota terus berlangsung cepat: pembangunan gedong-gedong pemerintah dan swasta serta fasilitas umum lainnya. Juga pembangunan pemukiman juga terjadi seiring dengan terjadinya urbanisasi: para kuli Cina dan kuli Jawa tidak kembali dan menetap di Medan. Demikian juga urbanisasi semakin kencang dengan semakin banyaknya para migran dari Tapanoeli khususnya dari Afdeeling Padang Sidempuan yang memilih Medan sebagai tujuan akhir.

Haagsche courant, 02-04-1906: ‘Suatu peraturan diadopsi oleh Afdeelingsraad Deli untuk pembangunan dengan mengalokasi uang tunai dari kas umum untuk bagian tersebut. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April. Disebutkan dialokasikan sebesar f 20.000 untuk meningkatkan jalan antara Medan dan Laboean’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-12-1907: ‘Dalam Deli Courant, pesan mengenai lengkungan air di Pang kalan Brandan terjadi banjir. Ini adalah munculnya air yang tinggi lebih dari satu meter selama hujan lebat. Pangkalan Brandan dan sekitarnya benar-benar banjir. Kantor pos dan stasiun tidak dapat dicapai dengan berjalan kaki. Air terus meningkat; salah satu ketakutan terburuk bagi penduduk kampung lalu melarikan diri dengan barang-barang rumah tangga dan ternak. Rel antara Medan dan Tandjoengpoera sejak Minggu pagi tanggal 22 rusak. Tandjong Poera dan Pangkalan Brandan di luar jangkauan. Banyak jembatan hanyut’.

Ketika semua warga Medan  tidak memikirkan banjir lagi, namun tiba-tiba pada tahun 1910 terjadi banjir besar. Banjir ini tidak hanya mengagetkan pemerintah kota tetapi banjir ini telah menyebabkan pemukiman penduduk banyak yang tergenang, jalan-jalan kota terendam, bangunan-bangunan beton swasta dan pemerintah juga mengalaminya. Semua warga kota larut dalam kesedihan, korban manusia, kehilangan barang-barang, kualitas lingkungan kota drastic menurun. Semua pihak menanggung akibat banjir. Suatu banjir yang sungguh sangat besar untuk ukuran kota Medan.

Pada tahun 1909 kota Medan dibentuk menjadi kotamadya (gemeente). Kini yang menjadi pemimpin kota adalah seorang walikota, Baron D Mackay. Saat walikota Medan pertama inilah banjir besar di Kota Medan terjadi.

Banjir kota Medan tersebut dilaporkan oleh berbagai surat kabar. Banjir kemudian muncul lagi di Medan tahun 1913 (lihat De Sumatra post, 20-12-1913). Banjir kali ini, yang paling parah terjadi di Kampung Kling. Seorang peternak babi berduka karena semua ternaknya hanyut di bawah banjir. Perkampungan terendam banjir karena banyak selokan tidak memadai. Kantor Landraad bahkan terkena banjir delapan hingga 15 cm. Warga Kampung Kling meminta kepada pemerintah kota untuk memperhatikan perbaikan drainase. Banjir tidak hanya di Medan tetapi juga di kota-kota lain di Jawa.

De Preanger-bode, 25-01-1916: ‘Banjir besar di Batavia dan tinggi air lebih dari satu meter. Sejauh mata memandang rata hanya kelihatan air. Banyak tanggul yang jebol. Daerah kering yang tersisa hanya di Tanah Tlnggi dan Kampoerg Boengoer. Semua orang menyelematkan diri kea rah itu, baik Eropa maupun pribumi. Orang pribumi datang membawa barang-barang mereka di atas kepala berjalan di dalam air setinggi dada. Rumah Mr Van Hal di Goenoeng Sahari, di halaman bangunan luar seluruhnya dihuni oleh pengungsi. Itu adalah pemandangan menyedihkan, kita melihat seorang wanita kemarin melahirkan dalam kesengsaraan…’.

Bajir telah menjadi momok di mana-mana. Warga kota Medan selalu waspada karena termasuk kota langganan banjir. Pemerintah kota terus membenahi kota, drainase, selokan dan sebagainya. Di dewan kota bekerja terus untuk merumuskan berbagai peraturan terkait atau yang dapat dikaitkan dengan banjir. Banjir juga terjadi di Noord Holland. Juga di Amsterdam dan kota lainnya. Persoalan banjir adalah persoalan yang sangat luas.

De Sumatra post, 28-04-1916 (iklan): ‘Sabtu 29 April 1916 di Medan akan diputar di bioskop oleh kami, Banjir di Belanda Utara pada 13 dan 14 Januari 1916’.

Di Medan, banjir sudah merasuk di semua jiwa warga kota. Tidak hanya warga dan pemerintah. Perusahaan Ajer Beresih juga selalu waspada, apalagi dengan kejadian tahun 1910 yang mana reservoir jebol karena kaecakaan batu jatuh. Kini, Ajer Beresih mengantisipasi dengan menanam pohon penguat di setiap sisi baik reservoir maupun saluran yang dipandang rentan terhadap genangan air atau gerusan air yang terjadi akibat seringnya hujan yang lebat yang menimbulkan banjir. Air bersih harus selalu aman dan tersedia meski kerap banjir di dalam linngkungan kota (lihat De Sumatra post, 01-02-1918).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: