Selasa, Oktober 10, 2017

Sejarah Padang Sidempuan (21): Program Membangun Kota Padang Sidempuan; Saya Hanya Mengenal Rusydi Nasution

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini


Kota Padang Sidempuan sesungguhnya adalah kota tua. Secara teknis (planologi) Kota Padang Sidempoean dibentuk pada tahun 1840. Itu berarti Kota Padang Sidempuan sudah berumur 177 tahun. Pada tahun 1870 Kota Padang Sidempoean ditingkatkan menjadi ibukota residentie (setingkat provinsi) hanya dalam tempo 30 tahun. Kota Padang Sidempoean lalu berkembang secara pesat dan tampak begitu besar (lihat Peta Kota Padang Sidempoean 1880). Saat itu Kota Padang Sidempoean sudah menjadi kota besar, sementara Medan sendiri masih sebuah kampong. Hebatnya lagi, pada saat itu bahkan Kota Padang Sidempoean bersanding dengan Kota Padang. Jika Kota Padang sebagai kota terbesar, maka Kota Padang Sidempoean adalah kota terbesar kedua di Sumatra. Ini mengindikasikan bahwa Kota Padang Sidempoean begitu pesat perkembangannya saat itu, hanya dalam tempo 30 tahun dari sebuah kampong Padang Sidempoean telah menjadi kota besar.

Dua kota terbesar di Sumatra tempo doeloe (1875-1880)
Lantas kini, selama 30 tahun terakhir ini (1983-2017) sejak saya meninggalkan kota ini, yang secara spasial (geografis), luasnya tidak berbeda dengan tahun 1880, namun secara sosial (ekonomi) tidak mengalami perubahan yang berarti (signifikan) bahkan dalam beberapa aspek terindikasi telah terjadi kemunduran. Sebagai misal, kini, para orangtua relatif tidak semudah dulu lagi untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Para orangtua terindikasi mengalami kesulitan dalam pembiayaan sekolah anak-anak mereka. Ini satu fakta yang cukup jelas dan nyata untuk menunjukkan bahwa warga Kota Padang Sidempoean sudah sangat mundur tingkat pencapaiannya.    

Kota Padang Sidempuan sudah saatnya bangkit untuk mengejar ketertinggalan jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Namun itu tidak mudah, akan tetapi masih dapat dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Kesesuaian program-program pembangunan inilah yang saat ini memang benar-benar dibutuhkan Kota Padang Sidempuan. Satu hal, terimplementasikannya program-program yang tepat, secara empiris sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin, yang dalam hal ini siapa yang menjadi Wali Kota.

Sabtu, September 23, 2017

Sejarah Kota Medan (56): Sutan Muhammad Amin Nasution, Ahli Hukum Kelahiran Atjeh Memulai Karir di Medan; Gubernur Sumatera Utara Pertama

*Sejarah Kota Medan artikel 1-56 Klik di Sini. (Artikel 57 selanjutnya Klik di Sana)


Kroeng Raba Nasoetion (gelar) Soetan Moehammad Amin adalah tokoh penting dan terpenting dalam awal pembentukan Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Atjeh dan Provinsi Riau. Sutan Muhammad Amin lahir di Atjeh menyelesaikan pendidikan dasar di Sibolga (Tapanoeli) dan Tandjong Pinang (Riau) sebelum melanjutkan pendidikan tinggi di Batavia. Setelah meraih gelar Meester (MR) di Sekolah Tinggi Hukum, Sutan Muhammad Amin memulai karir di Medan sebagai pengacara (1934).

Mendagri Hazairin melantik Gubernur SM Amin (1953)
Pengacara pribumi pertama di Medan adalah Radja Enda Boemi (1918). Atas prestasinya, lulusan Recht School Batavia ini beberapa tahun kemudian melanjutkan pendidikan hukum ke negeri Belanda untuk mendapatkan gelar Mr. Radja Enda Boemi kemudian melanjutkan studi ke tingkat doktoral dan meraih gelar doktor tahun 1925 dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland'. Setelah kembali ke tanah air, Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi diangkatkan menjadi wakil ketua pengadilan di Semarang, Soerabaja dan kemudian diangkat menjadi Ketua Pengadilan (Landraad) di Buitenzorg (kini Bogor). Radja Enda Boemi adalah orang Batak pertama yang menjadi ahli hukum dan orang Indonesia pertama yang meraih gelar Doktor di bidang hukum.  

Riwayat Sutan Muhammad Amin (disingkat SM Amin Nasution) sudah banyak ditulis. Artikel ini ditulis untuk sekadar menambahkan informasi yang belum ada dan dalam beberapa detail untuk memberi catatan sebagai upaya untuk mengoreksi sejumlah kesalahan data yang tertulis dan kekeliruan dalam menafsirkan. Sumber yang digunakan dalam hal ini surat kabar sejaman (berbahasa Belanda). Untuk meningkatkan pemahaman diperkaya dengan situasi dan kondisi sejaman (kontekstual).

Selasa, Mei 30, 2017

Sejarah Padang Sidempuan (20): Sejarah Awal Pergerakan Politik Indonesia, Bermula di Padang Sidempuan; Visi Menjadi Indonesia

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disin


Padang Sidempuan termasuk salah satu pusat pergerakan politik di era Belanda. Salah satu tokoh muda revolusioner Padang Sidempuan adalah Parada Harahap. Setelah merasa cukup untuk berjuang di Padang Sidempuan, kampong halamannya, Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1923 untuk demi cita-cita: Indonesia Merdeka.

Dari Padang Sidempuan Menjadi Indonesia
Pada tahun 1919 surat kabar berbahasa Melayu diterbitkan di Padang Sidempuan yang diberi nama Sinar Merdeka. Surat kabar ini dipimpin oleh Parada Harahap, seorang mantan krani di perkebunan milik investor Eropa/Belanda yang membongkar kasus penyiksaan kuli asal Jawa di Sumatra Timur (1918).

Jauh sebelum Parada Harahap, para seniornya yang sudah mengasah diri di Padang Sidempuan, banyak yang melanjutkan perjuangan di kota-kota lain, seperti Dja Endar Moeda di Kota Padang (sejak 1895), Mangaradja Salamboewe di Kota Medan (sejak 1902) dan Soetan Casajangan di Kota Leiden, Belanda (sejak 1905).

Rabu, Mei 24, 2017

Sejarah Padang Sidempuan (19): Pejuang Ranggar Laoet Melawan Kehadiran Belanda di Angkola; Kampung Asal Kini di Sipirok

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disin


Soetan Mangkoetoer di Mandailing dan Ranggar Laoet di Angkola. Dua pejuang di Afdeeling Mandailing dan Angkola yang terang-terangan melawan Belanda. Mereka berdua menunjukkan perlawanan sejak awal ketika Belanda memulai kolonialisasi di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Keduanya lalu ditangkap dan dibuang ke daerah lain.

Peta (perbatasan) Angkola-Sipirok, 1852
Suksesi Ranggar Laoet di Angkola adalah Soetan Habiaran. Setelah Ranggar Laoet ditawan/dibuang Soetan Habiaran melanjutkan perlawanan dengan melakukan penyerangan terhadap infra struktur di bawah kontrol Belanda yang berpusat di Batangtoroe. Sedangkan Soetan Habiaran melakukan penyerangan terhadap Belanda berpusat di Bila/Simangambat. Kampung halaman Ranggar Laoet dan Soetan Habiaran berada di perbatasan Angkola-Sipirok.

Sejauh ini, kiprah dua pejuang Angkola ini tidak pernah ditulis. Karena itu, kedua pejuang yang terang-terangan menentang kehadiran Belanda tersebut seakan hilang ditelan masa. Artikel ini akan mengkompilasi berita-berita surat kabar masa lampau tentang kiprah keduanya. Intinya, riwayat Ranggar Laoet di Angkola mirip dengan riwayat Soetan Mangkoetoer di Mandailing.

Senin, Mei 22, 2017

Sejarah Kota Medan (55): Medan dan Binjai, Kota Kembar; Peran Moda Transportasi Kereta Api Perkebunan di Deli dan Langkat

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Kota lama di Langkat dan di Deli adalah Tandjongpoera dan Laboehan—kota pelabuhan yang menjadi simpul perdagangan dari pedalaman dan menjadi tujuan perdagangan internasional—sudah berkembang sejak lama, jauh sebelum kehadiran Belanda. Dua kota pelabuhan ini terkenal sebagai pusat perdagangan komoditi lada dan tembakau di Sumatra’s Oostkust. Juga terkenal sebagai eksportir kuda-kuda dari Bataklanden.

Deli Mij, Medan of Medan Poetri (1876)
Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan di Deli pada tahun 1863 dengan menempatkan seorang controleur di Laboehan (Baron de Raet van Cat). Sedangkan di Langkat-Tamiang pemerintahan baru dibentuk kemudian pada tahun 1876 dengan menempatkan controleur di Tandjongpoera (Bataviaasch handelsblad, 20-04-1876).

Controleur Deli di Laboehan adalah C. de Haan yang memulai bertugas pada tahun 1865. Tugas pertama controleur Deli ini adalah melakukan ekspedisi ke Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran controleur).

Sabtu, Maret 25, 2017

Sejarah Masjid Istiqlal, Ini Faktanya (7): Harmoni Antar Umat Beragama di Tanah Batak; Islam Pertama di Indonesia di Baros; Kristen Terakhir di Sipirok

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Masjid Istiqlal dalam blog ini Klik Disin


Masjid Istiqlal adalah Masjid Merdeka, nama masjid yang diinginkan oleh Presiden Soekarno. Meski sejauh ini pembangunannya belum selesai, namun nama masjid yang sesuai (istiqlal) dan lokasi yang sesuai sudah menjadi paten (tidak akan berubah lagi). Sayangnya, Ir. Soekarno tengah berada di dalam kesulitan dan sohibnya Zainul Arifin Pohan telah lama tiada. Singkat kata: untuk sementara pembangunan Masjid Istiqlal terkendala untuk sementara waktu.

Mesjid dan gereja di Sipirok, 1906
Lokasi Masjid Istiqlal yang dipilih Soekarno berdasarkan diskusinya dengan Zainul Arifin Pohan tentu saja berdasarkan pilihan dari Yang Maha Menentukan. Secara vertical (historis) lokasi masjid berada di atas taman Wilhelmina, yang seakan menyiratkan masa lalu colonial telah digantikan oleh masa depan bangsa Indonesia. Secara horizontal (futuristic) lokasi masjid yang berada berhadapan dengan Gereja Katedral (bukan berseberangan dan juga bukan membelakangi) seakan menyiratkan di masa depan harmoni antar umat beragama dapat terus terjaga. Itulah masjid terbesar di Indonesia, masjid merdeka dan masjid lambang persatuan.

Masjid Istiqlal yang akan menjadi lambang agama Islam di alam kemerdekaan akan menaungi siar agama Islam hingga ke masa depan. Agama Islam sendiri adalah agama yang datang kemudian (setelah Budha dan Hindoe) yang kemudian menyusul agama Kristen dan Katolik. Agama Islam di Nusantara diduga bermula di Baros, Tanah Batak, Pantai Barat Sumatra dan kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Ini berarti boleh jadi agama Islam di Nuasantara diterima oleh penduduk Batak. Sebaliknya, seperti yang akan dideskripsikan, di Tanah Batak juga di Sipirok agama Kristen terakhir kali diterima di Nusantara. Ini seakan penduduk Batak di Tanah Batak terbilang yang di satu sisi terawal masuk Islam dan di sisi lain yang terakhir masuk Kristen di Nusantara.