Rabu, Desember 30, 2015

Sejarah Kota Medan (10): Tjong A Fie alias Tsiong Tsiok Fie, Pemilik Banyak Nama dan Kerajaan Bisnisnya Dibangun dari Hasil Perdagangan Opium

Baca juga:

Sejarah Kota Medan (41): Pemilu di Era Belanda; Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Dewan Kota Medan
Sejarah Kota Medan (32): Hari Jadi Kota Medan, Suatu Interpretasi yang Keliru; Untuk Pelurusan Sejarah, Ini Faktanya!


Para komandan koeli Tjina di Deli, 1870
Tjong A Fie adalah salah satu orang kaya yang menerima peruntungan di Deli. Jika Janssen menjadi kaya raya, karena Nienhuys datang ke Deli karena keberuntungan. Setali tiga uang, Tjong A Fie menjadi kaya raya karena Tjong Yong Hian. Pada masa ini orang hanya mengetahui Tjong A Fie seorang dermawan, seperti halnya Janssen. Akan tetapi tidak pernah dijelaskan sisi lain dari kehidupan Tjong A Fie yang sebenarnya. Bagaimana Tjong A Fie menjadi seorang dermawan adalah satu hal, tetapi bagaimana Tjong A Fie menjadi kaya raya adalah hal lain. Untuk mendapatkan gambaran seutuhnya, artikel ini coba menelusuri dua sisi kehidupan Tjong A Fie sekaligus.
***
Pada bulan Februari 1863 di Deli sudah terdapat sekitar dua puluh orang Tionghoa (catatan Residen Riou, Netscher). Mereka ini berbaur dengan berbagai penduduk yang bermukin di Laboehan Deli: Melayu, Atjeh, India berdarah campuran dan Batak. Orang-orang Tionghoa ini tidak diketahui darimana datangnya: Apakah sisa penduduk Cina era tempo doeloe (Boeloe Tjina) atau pendatang baru yang merantau dari Penang atau pesisir pantai timur Sumatra (Riaou). Yang jelas mereka hidupnya berdagang.

Pada bulan Maret 1863 Nienhuys tiba di Laboehan Deli untuk tujuan membuka perkebunan tembakau. Disepakati dalam suatu perjanjian: Sultan Deli menyediakan lahan dan Nienhuys akan bebas sewa sepuluh tahun pertama dan 10 tahun berikutnya dengan sewa f200 pertahun. Disamping itu disepakati: Sultan mengumpulkan lada (ekspor) dari penduduk Batak dan Nienhuys mendatanngkan barang (impor) dari luar. Untuk urusan distribusi opium dan garam menjadi monopoli Sultan.

Untuk menyediakan tenaga kerja, Nienhuys, satu-satunya orang Eropa di Deli bersama temannya seorang kepala suku Batak berkeliling di Deli untuk mencari orang Batak dan orang Melayu yang bersedia bekerja di kebun tembakau. Beberapa tenaga kerja yang didapat oleh Nienhuys hasil pekerjaannya tidak memuaskan: cenderung bermalas-malasan, ceroboh dan kurang hati-hati soal pekerjaan yang memerlukan penuh perhatian. Kepala suku Batak angkat tangan terhadap keluhan Nienhuys.

Nienhuys berinisiatif pergi ke Penang untuk mencari tenaga kerja. Ditemukan selusin pekerja yang berasal dari Jawa. Namun sang pimpinan tenaga kerja, malah lebih konsentrasi menjadi guru agama buat orang-orang Melayu daripada mengawasi anggotanya yang bekerja di kebun. Nienhuys kembali lagi ke Penang mencari tenaga kerja dan berhasil membawa sebanyak 120 orang kuli Cina. Sangat memuaskan Nienhuys dan sesuai yang diharapkan untuk bekerja di perkebunannya.
***
Keberhasilan Nienhuys memproduksi tembakau dan dikirim ke Eropa ternyata diapresiasi sangat baik. Para ahli tembakau memusatkan perhatian melihat Deli. Sejak itu investor berdatangan dan semakin banyak lahan kosong yang dibuka menjadi kebun tembakau. Dan semakin banyak pula kuli Cina yang dibutuhkan dan semakin banyak pula kuli Cina yang didatangkan dari Penang, Malaka dan Singapora..Pada tahun 1869 jumlah kuli Cina di Deli terhitung sebanyak 900 orang. Jumlah ini terus meningkat. Perputaran uang telah memicu berdatangannya pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka. Pertemuan dua kelompok pedagang ini tidak hanya di Laboehan Deli tetapi juga telah terjadi di sejumlah kampong-kampung besar. Lambat laun kebutuhan sehari-hari penduduk makin tersedia dan untuk mengamankan kelebihan pasokan dikirim ke Penang dan munculnya pelayaran reguler (Laboehan Deli-Penang). Sementara itu kuli semakin banyak yang didatangkan dari Cina, Siam, Kling dan Java dengan perjanjian kerja. Melihat apa yang tengah terjadi di Deli, memicu minat Sultan Langkat dan Sultan Serdang agar investor juga datang ke daerah mereka masing-masing. Praktis pada tahun 1875 (ketika ibukota Deli pindah ke Medan), jumlah kuli Cina di Deli sudah mencapai 6.000-7.000 orang. Sementara itu kuli dari Jawa hanya terdapat di beberapa titik, mereka itu berasal dari Bagelan.
.
Pada tahun 1865, Deli ditetapkan masuk Residentie Riaou dan menempatkan seorang controleur di Laboehan Deli sebagai ibukota. Pada tahun 1869 didirikan Deli Mij oleh Nienhyus dan Janssen dengan dukungan NHM dengan menetapkan pusat aktivitasnya di kampong Medan Poetri. Pada tahun 1870 status controleur di Laboehan Deli menjadi Asisten Residen dan di Medan ditempatkan seorang Controleur. Pada tahun 1875 ibukota Deli dipindahkan dari Leboehan Deli ke Medan. Pada tahun 1879 status Asisten Residen ditingkatkan menjadi Residen, ibukota Sumatra’s Oostkust dipindahkan dari Bengkali ke Medan.
.
Lalu persoalan lain pun muncul. Ini bermula ketika Mr H, pemilik perkebunan tembakau di Sungai Pertjoet (empat jam jarak dari kota utama, Medan) dengan dua Eropa yang tengah berada di rumahnya, terjadi kerusuhan oleh 70-100 dari kulinya (kuli Cina) memberontak dan membunuh orang Eropanya dan sejumlah pegawainya dari Melayu. Dengan bantuan militer dibawah komando Letnan Muller dengan satu detasemen yang dikirim, para pemberontak dapat diamankan, efek domino terhadap ribuan kuli-kuli Cina dapat terhindarkan.
.

Gubernur Jenderal Loudon di Batavia mulai menerapkan undang-undang kolonial di Tanah Deli. Di satu sisi untuk mengamankan para pengusaha di sisi lain, alasan pemerintahan kolonial untuk lebih intens di Tanah Deli (kekuatan militer yang jumlahnya terbatas selama ini tidak sebanding dengan 6000-7000 kuli Cina di dalam perkebunan-perkebunan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-05-1875). Untuk mengamankan wilayah, terjadi perubahan yang cepat dalam organisasi militer di Deli. Ini semua cepat terjadi karena eskalasi sosial yang semakin meningkat utamanya dari kalangan Tonghoa seperti perdagangan opium, perampokan, dan kerusuhan.
.

Kebutuhan militer di Deli berbeda dengan di daerah lain. Di Jawa maupun di Sumatra’s Westkust (termasuk Tapenoeli), kebutuhan militer meningkat karena ada pemberontakan atau perlawanan dari pemimpin masyarakat terhadap kehadiran Belanda. Di Deli, yang terjadi adalah, kebutuhan militer meningkat karena eskalasi ekonomi dimana pekerja dari kuli Cina meningkat (hampir semua kuli perkebunan adalah kuli Cina). Para kuli Cina ini banyak yang memberontak karena para planter yang kejam terhadap kuli (aturan ordonasi). Banyak para kuli Cina yang desersi dan berbaur dengan komunitas Tioghoa yang berdatangan ke Deli untuk tujuan berdagang. Para mantan kuli Cina ini banyak yang melakukan gangguang social, seperti mabuk-mabukan, perampokan dan penodongan. Karena itulah kebutuhan militer semakin diperlukan apalagi atas permintaan para planter (demi menjaga ketertiban dan ordonansi) dan permintaan Sultan (atas pengaduan masyarakat).
.

Pada fase inilah pemerintah (controleur dan asisten residen) memerlukan para pemimpin Tionghoa untuk diangkat sebagai letnan. Jabatan letnan ini pertamakali diterima oleh Tjong Yong Hian. Letnan Cina ini berfungsi sebagai pemimpin Tionghoa dengan diberi gaji, sebagaimana Sultan yang juga diberi gaji seperti halnya para koeria di Mandailing dan Angkola (Tapanoeli). Di Deli pemerintah (controleur atau asisten residen) berpartner dengan Sultan (pimpinan masyarakat asli) dan letnan (pimpinan komunitas Tionghoa). Letnan Cina sangat efektif untuk mengatasi akibat-akibat yang muncul di perkebunan yang dilakukan oleh para kuli Cina. Dengan meningkatnya populasi Tionghoa (migrant baru dan mantan kuli yang tidak pulang lagi ke kampungnya dan menetap di Deli) kebutuhan pimpinan Tionghoa juga semakin diperlukan lebih banyak. Ketika di Medan ditempatkan seorang Letnan Cina untuk menambah kekuatan Letna yang ada di Laboehan Deli maka Letnan Tjong Yong Hian ditingkatkan statusnya dari Letnan menjadi Kapiten. Letnan Cina yang diangkat di Medan adalah Tjong A Fie (adik dari Tjong Yong Hian).


Tjong A Fie, Dibimbing oleh Abangnya (Tjong Yong Hian)

Tidak diketahui persis bagaimana Tjong A Fie tiba di Medan. Dikabarkan Tjong A Fie datang ke Medan tahun 1875 untuk mengadu nasib. Saat itu ia baru berusia 18 tahun, dengan berbekal sedikit uang. Ia datang menyusul abangnya, Tjong Yong Hian, yang sudah beberapa tahun di Medan. Pada saat itu sanga abang sudah menjadi pemimpin Tionghoa di Medan dengan pangkat kapitan.

Pemerintah colonial Belanda dalam mengatur system pemerintahannya di suatu wilayah tidak hanya terdiri dari aparatur Belanda/Eropa, tetapi di dalam pemerintahan juga melibatkan para pemimpin masyarakat. Melalui para pemimpin yang dibentuk ini roda perekonomian dijalankan. Kandidat pemimpin masyarakat yang dibentuk (boneka) adalah pemimpin masyarakat yang dianggap mau berkolaborasi, tidak berseberangan dengan kepentingan colonial. Pemimpin masyarakat asli diberi gelar sesuai gelar setempat, seperti Sultan. Pemimpin masyarakat pendatang diberi gelar ala militer, seperti letnan, kapten dan mayor. Level pangkat ini tergantung pada luasnya territorial dan besar kecilnya skala ekonomi di wilayah tersebut.

Pengangkatan Tjong Yong Hian Kapten, Tjong A Fie Menjadi Letnan, 1893
NamaTjong Yong Hian baru muncul ke permukaan awal tahun 1890an. Pangkatnya dimulai dari letnan. Dalam kapasitasnya, para pemimpin masyarakat ini diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berbisnis, sebagai perpanjangan tangan bisnis kolonial. Tjong Yong Hian menjadi salah satu vendor pengadaan di Medan. Ketika pangkat Tjong Yong Hian ditingkatkan menjadi kapten, Tjong A Fie direkrut dengan pangkat Letnan Cina.

Bataviaasch nieuwsblad, 25-07-1892: Untuk tgl 11 ini, oleh daerah tampaknya Intendant ke Medan pasokan makanan, bahan bakar, kain, dll atas nama Departemen Perang di Deli selama tahun 1893 dan juga untuk tahun 1894 dan 1895 telah didaftarkan oleh: Mohamed Jusouf, Tjong Yong Hian, Lie Sin Seng, dan Hattenbach & Co

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-06-1893: ‘Hari ini Letnan Cina, Tjong A Fie, disini, sekitar Soenggal, sarang dari kejahatan’.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-09-1894: ‘Di Medan didirikan perusahaan air minum dengan modal telah f 20.000 dengan investor sekaligus direktur KD van Assendelft. Anggota komisaris P. de Klerk dan Tjong Yong Hian’.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 30-12-1895: ‘Di Perusahaan Semebah Maatschappij di Patumbah, Deli baru-baru ini terjadi keributan kuli, sehingga controller dari Medan, Asisten Controleur Breukink dan letnan Cina, Tjong A Fie harus datang ke TKP, disertai oleh beberapa polisi di bawah pimpinan sersan’

Keberadaan Tjong Yong Hian semakin menguat di Medan. Tidak hanya sebagai pengusaha tetapi juga menjadi komisaris di berbagai perusahaan. Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie semakin diperhitungkan karena menjadi bagian dari sindikat opium Hokkian (Keh-Kongsi) di Penang, Singapura, Batavia, Padang dan Medan.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1896: ‘Opium di Pantai Timur Sumatera. Untuk leasings opium mendatang untuk wilayah ini di abu September dapat dilihat menuju persaingan ketat. The Hokian Cina di Penang, Singapura, Batavia dan Padang; persiapkanlah diri untuk menguatkan diri terhadap sekarang di sini tenancy memiliki Keh-Kongsi yang dikenal Tio Tiaaw Siat, sebagai kepala. Untuk perwakilan pantai timur Sumatra oleh bersaudara Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie’

Tjong A Fie Naik Pangkat Menjadi Kapten, Tjong Yong Hian Menjadi Mayor

Tjong A Fie bukanlah Robin Hood, Tjong A Fie adalah manusia biasa yang oportunis. Paham betul arti menumpuk kekayaan, bagaimanapun itu caranya. Dan dengan kekayaan itu, kekuasaan akan terbentuk. Dengan kekayaan tak terbatas, sisi pedang yang tajam akan menjadi lebih tajam dari pedang yang benar-benar pedang. Garis nasib Tjong A Fie mulai bersinar beberapa tahun sebelum berakhir abad ke 19. Posisinya di Medan menjadi orang yang ditinggikan di kalangan Tionghoa karena pengaruh abangnya, Tjong Yong Hian.

Jauh sebelumnya, Tjong Yong Hian tidak hanya sukses dalam bisnis, juga sebagai tokoh di dalam masyarakat Tionghoa. Interaksinya dengan orang-orang pemerintah boleh jadi membuat jalan Tjong Yong Hian lempang tanpa hambatan. Di dalam pergaulan Eropa juga Tjong Yong Hian aktif seperti pacuan kuda. Kapasitas Tjong Yong Hian semakin kompleks, sehingga status Tjong Yong Hian ditingkatkan dari kapten menjadi major, sedangkan Tjong A Fie menjadi kapten. Peran Tjong A Fie juga telah mulai menonjol.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-11-1898: Dari Cina di sini adalah lebih dari 500 kontraktor tiba untuk bekerja sebagai kuli di beberapa perkebunan. Mereka disambut di sini dan khawatir dengan linmigrantenasyl, Dewan Pengawas terdiri dari Mr. PJ. Kooreman, Resident, GM Herekenrath, Administrator van Deli Spoorweg-mij, Tjong Yong Hian, Mayor dari  Cina dan Dr. HG W. Utermöhlen. Tuan-tuan ini memberikan jaminan bahwa nasib para koeli tidak lagi seperti sebelumnya yang disamakan dengan binatang’.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-04-1899: ‘Kapten Cina, Tjong A Fie untuk memberikan kehormatan bahwa ia akan mengadakan penerimaan atas kematian ibunya pada kesempatan Tahun Baru Cina’.

Dalam Dana Kota (Gementeefond) Tjong A Fie aktif sebagai anggota. Komisi Dana Kota adalah suatu inisiatif pemerintah membentuk kepanitiaan untuk melibatkan swasta dalam ikut berpartisipasi dalam pembangunan kota. Kepanitiaan ini terdiri dari swasta dimana panitia dikepalai oleh Presiden (ibarat pada masa kini Komite Sekolah). Presiden dalam hal ini adalah Resident.

Jumlah pengusaha di Kota Medan pada tahun 1898 sudah sangat banyak. Selain plantation sebagai sector utama, juga diiikuti dengan berkembangnya perusahaan lainnya, seperti listrik, transportasi, dan perdagangan serta lainnya.

Kepanitiaan ini mengumpulkan uang dari para anggotanya untuk dianggarkan ke dalam berbagai pembangunan kota seperti perbaikan jalanm drainasi, selokan dan lain sebagainya. Selain anggota memberikan uang juga didorong untuk secara independen melakukan inisiatif sendiri. Komisi Dana Kota menjadi semacam embirio Dewan Kota.

Sebagaimana anggota-anggota yang lain, Tjong A Fie juga berinisiatif untuk membangun taman dan jembatan. Tjong A Fie tidak hanya kaya dan mampu berpartisipasi tetapi juga telah memiliki rumah baru yang megah.

De Sumatra post, 19-04-1899 (Cremeentefonds): ‘pertemuan diadakan 30 Maret 1899 di di rumah Presiden.. dilaporkan anggaran tahun 1898 sebesar 18 700 telah membnegkak sebesar 2500. Anggaran ini telah digunakan untuk pembangunan gorong-gorong, drainase…inisiatif swasta sangat diharapkan.. Hcrckenrath pembangunan pasokan air, melalui filter pasir disaring air sungai yang akan dipompa ke reservoir tinggi,.. penerangan jalan oleh Perusahaan Listrik Medan.. Presiden menginformasikan niat anggota Tjong A Fie untuk menyumbangkan taman kota antara kantor hoofdmantri dengan  dan jembatan di atas Deli- sungai dekat penjara polisi..’

De Sumatra post, 21-02-1901: ‘Kemarin malam berkumpul di rumah Mayor Cina, Tjong Yong Hian, kemudian secara bersama-sama menuju rumah baru Kapten Cina, Tjong A Fie. Banyak otoritas yang hadir, Sultan diwakili oleh Toengkoe Bandahara yang mewakili unsur asli, sementara pejabat tinggi adalah Residen, Assisten Resident dan Sekretaris. Selain itu, banyak tokoh-tokoh lainnya, pekebun dan individu, juga beberapa petugas. Setelah Mayor Cina memuji Taoen Baru, mereka menuju rumah baru Kapten Cina yang berada di Kesawan. Bertempat di aula besar sebanyak 120 orang tamu yang datang. Ruangan dan sudut-sudut lain tampak terang benderang atas bantuan dari Electriciteits Maatschappy yang mana lampu-lampu yang menyala besarnya tujuh belas tenaga kuda energi. Cukup untuk memberikan gambaran tentang lautan cahaya dari bangunan luas yang menyinari. Pengunjung disediakaan makanan minuman melimpah di beberapa meja yang dilayani oleh istri dan dan dua putrinya. Acara berakhir sekitar seperempat jam setelah pukul delapan’.

Tjong A Fie Memiliki Banyak Nama dan Banyak Sumber Pendapatan, Sumber Penghasilan  Utama Tetap dari Opium

Tsiong Tsiok Fie, nama lain Tjong A Fie
Tjong Yong Hian memiliki nama lain Chang Yu-nan (Tiongkok) dan Jung-hsuan (Mandarin). Tjong Yong Hian juga dikenal sebagai Chong Yit Nam. Pemuda Chong Yit Nam di Deli dikenal sebagai Tjong Yong Hian. Sementara itu adiknya Tjong Fung Nam dikenal di Medan sebagai Tjong A Fie. Nama lahir Tjong A Fie adalah Tjong Foeng Nam. Tjong A Fie juga memiliki nama lain, Chang Hung-nan (Tingkok) atau Yao-hsuan (Mandarin).Tjong A Fie juga dikenal sebagai Cheung lu Hing. Tjong Moy Hian, Tsiong Tsiok Fie dan Tjong Jiauw Hian.

Pabrik Opium di Batavia, 1900
Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie, keduanya sama-sama membangun kerajaan bisnisnya dari perdagangan opium. Bisnis opium di Deli dan Medan sebagaimana di tempat lain adalah bisnis yang paling menggiurkan. Opium adalah alat tukar yang sangat penting sejak ekonomi (perdagangan barter, lada hitam) di Deli. Para pedagang Cina memainkan peran yang cukup lama dalam perdagangan opium di Deli hingga pada tahun 1863 diambil alih secara monopoli oleh Sultan dengan kesepakatan dengan Nienhuys. Setelah Sultan Deli menjadi makmur karena bisnis lahan konsesi, bisnis ini ditinggalkan dan diambil oleh pemimpin masyarakat Cina, Letnan Tjong Yong Hian. Dari Tjong Yong Hian estafet perdagangan opium ini diteruskan ole Tjong A Fie di dalam kartel Hokkian (Keh-Kongsi).

Ketika pemerintahan colonial terbentuk, pemerintah membatasi pemain perdagangan opium dengan memberi monopoli kepada penawar harga tertinggi. Harga penawaran tertinggi adalah semacam pajak atau retribusi yang menjadi sumber lain pendapatan pemerintah colonial. Pajak atau retribusi opium ini sangat tinggi. Namun setinggi apapun harga yang dibayarkan oleh pengusaha, bisnis opium ini sangat menguntungkan karena permintaannya cukup besar.

De Sumatra post, 14-01-1902: ‘Pagi ini hak penyewaan bukan  untuk penjualan opium skala kecil di Residentie Sumatra’s Oostkust kecuali untuk divisi Bengkaüs. Penyewaab terhitung untuk periode dari i 1 April 1902 sampai akhir Maret 1905. Untuk sewa opium itu penawar tertinggi, Kapten Cina di Medan, Tjong A Fie yang menawarkan jumlah f128.300 untuk periode satu tahun dan selama tiga tahun f147,700 per tahun.

Tjong A Fie juga menarik keuntungan dari akuisisi lahan-lahan penduduk. Entah ada kaitannya dengan dampak opium (penunggakan utang) atau pengakuan lahan kepemilikan lahan yang ditempati oleh warga, banyak warga yang harus dipaksa melepaskan tanah-tanahnya untuk dijual murah. Dengan harga jual yang murah, lahan-lahan beralih kepemilikan dari warga ke beberapa pengusaha besar termasuk Tjong A Fie.

De Sumatra post, 29-08-1902 (Exeoutoriale Verkoopen): ‘Kemarin penyitaan penjualan oleh penduduk asli Hadji Abdul Rachman dilakukan tiga persil lahan terletak di Kampong Sukkah Raja, dekat pabrik es Astana, beserta bangunan yang terletak diatasnya. Pembeli adalah Kapten Cina Tjong A Fie seharga f2550. Hari ini juga dilakukan penjualan lain dengan dipaksa, oleh Arab Sheik Islam Algoebaidi terhadap sebidang tanah di desa Gloegoer beserta bangunan dan barang yang terletak diatasnya yang mana pembelinya adalah Mr. J. van den Brand dengan harga f800’.

Tjong A Fie, Mondar-Mandir ke Singapore dan Bekunjung ke Cina

Tjong A Fie dan putra putrinya, 1905
Pepatah lama mengatakan jangan menyimpan uang di bawah bantal, dan pepatah yang lebih baru mengatakan jangan menaruh uang di dalam satu keranjang. Boleh jadi pepatah ini dipahami betul oleh Tjong A Fie. Apa yang mendasari Tjong A Fie bolak-balik ke Singapoera tentu bukanlah untuk mencari kuli Cina, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nienhuys ke Penang. Selama dua tahun terakhir Tjong A Fie tidak kurang dari lima kali berkunung ke Singapora. Pada tahun 1903 Tjong A Fie dilaporkan telah berkunjung ke Cina. Sebelumnya Tjong A Fie sebagai Kapten Cina diizinkan oleh pemerintah cuti selama enam bulan (De locomotief, 05-09-1902). De Sumatra post, 10-09-1902: dengan kapal s.s. ‘Sumatra’ tiba di Penang. Para penumpang antara lain Tjong A Fie dan keluarga. De Sumatra post, 10-03-1903dan akan kembali ke Medan besok via Singapoera sebagaimana diberitakan oleh Pertja Timor.

Koran Pertja Timor adalah Koran pertama berbahasa Melayu yang terbit di Medan. Koran ini terbit pertama kali tanggal 1 Januri 1902. Koran investor Eropa ini (Jerman) editornya adalah Mangaradja Salamboewe, seorang mantan jaksa yang desersi dan dipecat di Natal (karena tidak tahan melihat ketidakadilan Belanda). Mengaradja Salambowe adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1893), anak dari Dr. Asta (siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Djawa tahun 1854). Mangaradja Salamboewa sebelum menjadi jaksa adalah seorang penulis di kantor residen Tapanoeli di Sibolga. Kecerdasan dan keberanian apalagi berpengalaman sebagai jaksa yang militant menjadi alas an utama investor Jerman untuk merekrut Mangaradja Salamboewe sebagai editor korannya (tentu dimaksukkan untuk lebih meningkat tiras surat kabar yang baru itu).

Meski demikian adanya, pemerintah memberikan penghargaan kepada Kapten Cina, Tjong A Fie berupa tanda penghargaan perak sebagai jasa kesetiaan (Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1904). Kapten Tjong A Fie adalah anggota terlama menjadi Landraad Medan, yakni selama 17 tahun (sedangkan abangnya, Mayor Tjong Yong Hian selama 18 tahun). Ini berarti Tjong A Fie telah menjadi anggota Landraad sejak 1887 (Ibukota residentie pindah ke Medan, 1 Maret 1887).

De Sumatra post, 06-05-1904: ‘Konsul Cina di Penang berkunjung ke Medan dan selama di kunjungan konsul menjadi tamu dari Tjong A Fie.  

Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1904 Datoe lUdja Inlra Moeda, hoofd van het landschap Bogab, afdeeling Batoo Bahra, (Oostkust van Snmatra); Tsioug Tsiok Fie alias Tjong A Fie, luitenant der Cliiceezen met den titulairen rang van kapitein te Medan (Oostkust van Samatra); verder de zilveren en de bronzen ster voor trouw en verdienste san een paar honderd inlanders.

Tjong A Fie, Sejauh ini Hanya Peduli Komunitasnya

Tjong A Fie adalah matahari di kota Medan. Dengan kekayaan berlimpah yang dikumpulkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (dari bisnis opium, permainan, minuman keras, perdagangan produk dan broker lelang plus jabatan di pemerintahan sebagai kapten yang didukung oleh komunitas Tionghoa yang sangat banyak dari kampungnya di Swatow, Tjong A Fie dan abangnya Tjong Yong Hian menjadi dua sekutu super power. Tidak ada yang menandinginya, bahkan Sultan sekalipun, apalagi pejabat tinggi pemerintahan (yang hanya hidup dari gaji). Kemampuan menyogok Tjong A Fie telah lama membungkam para pejabat yang berkarir di Medan. Inilah yang menjadi sumber tambahan para pejabat Belanda yang korup. Para planter hanya sibuk dengan bisnisnya di perkebunan-perkebunan di luar kota.

De Sumatra post, 28-11-1904: Landraad thans ijju de kapitein der Cüineueu Tjong A Fie, die 17, en de maj jor-Cüinces (iiinus iv Cuiaa vertoevend

De Sumatra post, 04-08-1905: Negorij-raad. pertemuan 24 Juli 1905 di rumah Presiden.
Untuk 91 / jam Pertemuan dibuka, hanya Toengkoe gede tidak hadir karena berkabung. Risalah pertemuan voige dibaca oleh Secretaria yang kemudian ca disetujui. Kapten dan Mayor dana yang ditunjuk Cina yang akan digunakan untuk menutupi biaya rumah sakit Cina, yang saat ini rumah lebih dari 200 pasien yang dirawat. permintaan kapten akan diizinkan dengan ketentuan sebagai berikut: le. bahwa iv otorisasi harus menentukan bahwa hasil yang akan selalu digunakan untuk kepentingan Cina rumah sakit. Kemudian bötunield permintaan dari dokter hewan Gouveruements kepadanya oleh sejumlah NLG 100.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 26-09-1905 ditunjuk (kembali): Kapten Tong Siok Fio, alias Tjong A. Fie, sekarang adalah kaptein Cina, .Luitenant So Po Tjoan, sekarang Letnan, dan Lioe En Kou, sekarang Luitenant terhitung 23 April 1905.

Tjong A Fie telah berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Sejauh ini kontribusi Sultan terhadap bidang social belum kelihatan. Namun Tjong A Fie telah menyediakan bantuan untuk pengembangan rumah sakit Cina. Dalam hal ini Tjong A Fie juga meminta pemerintah harus menyediakan dokter. Tjong A Fie meminta agar fasilitas rumah sakit ini hanya digunakan untuk masyarakat Tionghoa.

Siapa yang akan mengisi posisi dokter pribumi di Deli dan Medan tentu saja adalah dokter-dokter alumni Docter Djawa School asal Mandeling en Ankola. Sebagaimana diketahui, pelajar-pelajar dari Mandailing en Ankola sudah sejak 1854 memenuhi Docter Djawa School bahkan yang pertama diterima dari luar Djawa (ayah dari Mangaradja Salamboewe). Mereka ada yang seangkatan dengan Dr. Wahidin dan sekelas dengan Dr. Tjipto. Kini (satu dasawarsa terakhir) ada belasan pelajar-pelajar Mandailing yang telah lulus menjadi dokter dan yang tengah menyelesaikan studinya. Dr. Abdul Hakim (Harahap) sudah di Deli, baru-baru ini datang datang Dr. Muhamad Daoelae di Medan dan Dr. Mohamad Hamzah (di Pematang Siantar). Setelah pension Dr. Daoelae membuka rumah sakit swasta khusus penderita lepra di Pulau Sicanang.

Di awal abad dua puluh ini (awal 1900), dinasti Tionghoa (dibawah ‘komando’ Mafioso Tjong A Fie) di Medan mulai terusik. Di Pemerintahan hanya ada Tionghoa lima orang (satu mayor, satu kapten, dan tiga letnan). Selebihnya hanya terdapat di bidang perdagangan semata. Orang-orang terpelajar dari Mandheling en Ankola telah banyak mengisi pegawai-pegawai di pemerintahan dan krani-krani di perkebunan. Tokoh-tokoh penting Mandheling en Ankola yang sudah mulai menonjol adalah Soetan Goenoeng Toea (jaksa), Dja Endar Moeda (percetakan dan persuratkabaran), Mangaradja Salamboewe (editor Pertja Timor), dokter, guru, mantri polisi dan lainnya. Para pebisnis yang bergerak di bidang perdagangan dari Mandailing en Ankola dari Tapanoeli yang selama ini berbasis di Padang, Sibolga, Padang Sidempoean, Singkel dan Atjeh sudah merangsek dalam beberapa tahun terakhir ke Medan, karena marketnya tengah tumbuh dan berkembang. Mereka datang mengikuti jalur transportasi laut Padang, Sibolga, Kota Radja menuju Penang atau Medan.

Namun pebisnis Tionghoa yang sangat banyak di Medan bukanlah tandingan dari pebisnis Mandailing en Ankola yang belum begitu banyak. Namun kolaborasi antara pebisnis dan pelaku media yang didukung oleh pejabat-pejabat asal Mandailing en Ankola bersatu dengan mendirikan persatuan Sarikat Tapanoeli. Organisasi social ini melahirkan dua program (selain tolong menolong) adalah membentuk klub sepakbola dan menerbitkan surat kabar. Klub sepakbola ditunjukan untuk simpul para pemuda (anak-anak pengusaha) dalam berkompetisi dengan klub Belanda, klub Inggris, klub Sultan Langkat dan klub Tionghoa. Surat kabar ditujukan untuk mencerdaskan bangsa (penduduk Batak dan Melayu), menyuarakan aspirasi, melaporkan berbagai kejahatan dan ketidakadilan di Medan, dan tentu saja ruang promosi untuk produk-produk bisnis para pengusaha Mandailing dan Ankola.

Sukses anak-anak Mandailing en Ankola di Medan beritanya cepat menyebar di Mandailing en Ankola. Umumnya koran berbahasa Melayu yang terbit di Padang, Sibolga dimiliki oleh orang-orang Mandailing en Ankola kerap mengulas tentang kemajuan ekonomi di Medan dan Deli. Migrasi juga terjadi secara besar-besaran ke Deli. Jika doeloe (dua dasawarsa sebelumnbya, migran dari Swatow dari kampong halaman Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie banyak yang datang ke Deli, umumnya kuli), maka kini giliran migran dari Mandailing en Ankola berdatangan (umumnya penduduk terpelajar: tamatan sekolah rakyat) untuk mengadu nasib. Dengan adanya arus migrasi ini secara rutin lambat laun mulai ada perimbangan ‘kekuatan’ di Medan (Tionghoa vs Mandailing en Ankola). Dominasi Tionghoa mulai menyusut, apalagi komunitas Minangkabau dan Atjeh sudah mulai berkembang. Penduduk Melayu dan penduduk Batak lainnya masih terpinggirkan (belum bangkit).

Tjong A Fie Kedua Orangtuanya Meninggal: Kuli dari Swatow Semakin Dikurangi

Tidak hanya Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian yang berada di Sumatra’s Oostkust, tetapi juga orangtuanya. Ibu Tjong A Fie meninggal April 1899. Kemudian ayahnya meninggal pada bulan Februari 1906. Ayah Tjong A Fie adalah bernama Kim Sam Hap, berpangkat letnan dan meninggal di Pangkalan Berandan.

De Sumatra post, 16-02-1906 (Kim Sam Hap): Ini memberitahu kita bahwa letnan dari Cina Kim Sam Hap Pangkalan Berandan setelah sakit singkat hari sebelum kemarin sudah meninggal. Pemakaman akan berlangsung hari ini ada hebbeu, almarhum adalah ayah dari kapten Cina di Medan, Tjong A Fie.

Gemeentefonds,menjadi Landraad, Negorijraad dan Afdeelingraad

De Sumatra post, 13-03-1906. Delische Afdeelinggraad. Di bawah dagteekeaing hari ini ditularkan kepada kita dari Weltevreden, yang ditunjuk sebagai anggota efek nit Deli Chen Afdealingsraad dari 1 April 1906 Dari 21 anggota sehingga 11 petugas milik cabang yang berbeda dari layanan, empat wakil dari Pribumi dan Timur Asing, yakni: Amaloedin, Toengkoe Basar dari Deli, Datu Sri Lela Setia Raja, kepala Sapoaloeh Doawa Kota, Mohaoaad Alie, Ketua det Klingaleezen, Tjong A Fie, kapten Cina di Medan, CLJD Kok, controller untuk urusan Batak di Soenggal. Dari 1 April di akan ada keterbukaan dalam penanganan urusan Delian

De Sumatra post, 25-06-1906 Boikot dan kondisi perdagangan Medis Cina. Dalam edisi 15 kami ini kami melaporkan Boyco "oleh sejumlah besar bahan makanan Cina, dan kedehs mengenakan tali terhadap ETI perusahaan perdagangan di sini gundukan terakhir. Boikot ini sudah peringkat kembali ke masa lalu. Bemiddelirg oleh kapten-Cina Tjong A Fie n). penyelesaian antara pihak getreff-jn, yang disebabkan pencabutan boikot.

Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie sudah kaya raya. Jabatan mereka juga sudah banyak. Mereka berdua tampaknya tidak butuh lagi dukungan kuli yang banyak untuk menjaga posisi mereka di rantau. Pemerintah di Swatow tidak memerlukan uang kiriman dari TKI (tenaga kerja internasional) mereka yang bekerja di Deli. Uang yang diinvestasikan oleh Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie di Swatow sudah lebih dari cukup untuk mengimbangi perolehan devisa melalui TKI. Oleh karenanya, kuli dari Swatow lambat laun mulai dikurangi jumlah tidak hanya ke Sumatra (utamanya ke Deli) tetapi juga ke Semenanjung dan Siam.

De Sumatra post, 25-06-1906 Menurut laporan terbaru dari konsul Inggris ke Swatow poin statistik emigrasi pada pengurangan jumlah emigran Siam, Semenandjung dan Sumatera. The Swatow-kuli adalah situs belangrjjkste ljjke ekspor dan tidak di bawah twjjfel berat atau dengan buiten'slanda yang virtoevendo nas Cina upah dikirim pulang, berdampak besar pada daya beli kabupaten. Jumlah kuli yang datang dari Swatow ke Sumatra tahun 1903 sebanyak  134.421 dan yang kembali sebanyak 104.898, tahun 1904 yang datang sebanyak 107.456 yang kembali sebanyak 91.680 dan pada tahun 1905 yang datang 99.219 dan yang kembali 84.304.

Kuli Swatow (tempat asal Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie) yang datang dan yang kembali sudah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi secara absolut jumlah kuli asal Swatow yang berada di Deli pernah mencapai 150.000 orang.

Masyarakat Bawah Terpuruk di Medan: Buta Huruf dan Berbagai Penyakit

Tidak ada penduduk Melayu dan orang-orang Tionghoa di Medan yang sukses kecuali menunjuk kepada dua tokoh penting: Sultan Deli dan Tjong A Fie. Aset (kekayaan) kedua tokoh ini bahkan telah melampaui semua pengusaha (investor) perkebunan yang dari Eropa. Kedua tokoh ini hanya kalah dari Janssen (orang kedua Deli Mij).

Penduduk Batak telah lama dipinggirkan dan lebih memilih menjadi petani atau berkebun di tengah-tengah hutan di luar kota Medan. Penduduk Melayu dan orang-orang Tionghoa yang tidak terbiasa bertani hidup di kota: menjadi pedagang atau jenis usaha yang lain. Meski ada dua tokoh yang fantastis soal kekayaan, penduduk Melayu (non darah biru) dan orang-orang Tionghoa (utamanya mantan kuli) sangat banyak yang melarat.

Di pasar, pengemis, penyakit kusta dan sebagainya. Penduduk kelas bawah Tionghoa banyak yang ‘gila’ karena opium dan sepanjang jalan antara Laboehan Deli dan Medan di dalam pondok remang-remang terdapat tidak kurang 2.000 perempuan Tionghoa dan Jepang yang menjadi pelacur. Dimana-mana ditemukan penyakit kelamin. Sebagian yang lain penduduk Tionghoa (utamanya mantan kuli) banyak yang desersi karena kekejaman oleh para planter di perkebunan. Eksesnya kerap terjadi perampokan dan melakukan keonaran dari mereka yang mantan kuli (utamanya Tionghoa dan Kling).

Korban Opium (1900)
Pemerintah (controleur), Sultan Deli dan Mayor Cina (termasuk pada kapten da letnan) tutup mata terhadap sebagian besar warga kota yang papa ini. Aparat pemerintah asik berkolaborasi dengan pengusaha perkebunan, Sultan Deli di dalam istana yang megah mabuk kepayang bergelimang kemewahan atas hasil sewa tanah, Tjong A Fie (dan bawahannya) selain masih berbisnis opium dan memiliki berbagai usaha juga menjadi bos (penguasa) bagi pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar.

Ketimpangan mulai terasa. Antara yang kaya sekali dengan yang miskin sekali menjadi sangat menganga. Layanan perumahan penduduk, air bersih, kesehatan, lapangan kerja, pendidikan sangat terabaikan. Yang menonjol adalah kemelaratan, penyakit, prostitusi, perampokan dan gangguan social lainnya. Inilah Medan, Bung! Haterogen dalam komposisi penduduk, tetapi terdapat variance yang besar soal kehidupan.

Dari kalangan penduduk Batak tidak satupun yang menonjol dan tidak pernah muncul ke permukaan (bahkan untuk pemimpinnya harus diwakili oleh seorang Belanda). Mereka yang penduduk asli telah lama disingkirkan dari tanah-tanah mereka. Namun dalam perkembangannya, pada kelas menengah mulai mengisi kebutuhan pemerintahan dan pegawai perkebunan. Mereka ini tidak dari orang-orang Tionghoa atau penduduk Melayu, melainkan orang-orang Batak yang datang (migrasi) dari pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust di Tapanoeli (khususnya dari Mandailing dan Ankola). Untuk yang berpendidikan tinggi mengisi pemerintahan dan untuk yang berpendidikan rendah menjadi krani-krani di perkebunan.

Penduduk Mandailing dan Ankola sudah sejak lama mengecap pendidikan. Sebelum Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857 sudah banyak yang menjadi guru-guru sekolah rakyat. Setelah menamatkan sekolah guru Eropa, Willem Iskander pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato (Mandailing). Sekolah guru ini kemudian diringkatkan kapasitasnya dengan mendirikan sekolah guru yang lebih besar 1879 di Padang Sidempuan (Ankola).

Orang-orang terpelajar inilah yang migrasi ke Medan baik untuk tujuan berbisnbis maupun direkrut Belanda untuk mengisi kekosongan untuk berbagai fungsi dan jabatan di Medan.

Pada tahun 1908, Mangaradja Salamboewe dilaporkan telah meninggal dunia. Seorang wartawan pemberani di Medan yang mengasuh (editor) Koran Pertja Timor sejak 1902 telah pergi selama-lamanya ketiga pikiran dan keberaniannya masih dibutuhkan. Mangaradja Salamboewe meninggal muda. Namun ibarat pepatah hilang satu tumbuh seratus. Penerus Mangaradja Salamboewe ternyata bermunculan seperti Mangaradja Ihoetan, Soetan Parlindoengan dan lainnya yang menggatikan posisi di Pertja Timor. Pada tahun 1910 mantan-mantan editor Pertja Timor (investor Eropa) menerbitkan Koran Pewarta Deli yang dimotori oleh Dja Endar Moeda. Motto Koran Pewarta Deli di Medan persisi sama dengan motto Koran Pertja Barat (milik Dja Endar Moeda yang terbit di Padang) yakni ‘Kemadjoean Ontoek Segala Bangsa. Lambat-laun Perja Timor makin redup dan Pewarta Deli makin popular di Medan sebagai satu-satu Koran berbahasa Melayu yang bertiras sangat besar.

Tidak Ada Politik Etik di Medan: Hanya Kerakusan yang Terjadi

Angin politik etik bukan dimulai dari Medan, meski di Medan gap antara si kaya dan si miskin paling lebar di nusantara (Nederlansch Indie). Implementasi politik etik justru dimulai dari Djawa, di pulau dimana antara penduduk yang kaya dengan penduduk yang miskin tidak terlalu menganga. Istana Sultan Djogja hanyalah bangunan yang bersahaja, tetapi keraton Sultan Deli nyaris menyamai istana pemerintah di Bogor dan istana pemerintah di Batavia.

Kota-kota di Djawa yang mayoritas berpenduduk Islam, masjid-masjid yang dibangun swadaya masyarakat hampir semuanya berlokasi di tengah kota (kauman). Oleh karenanya, masjid-masjid menjadi pusat pertukaran pengetahuan dan munculnya tokoh-tokoh alternative dalam masyarakat. Sebaliknya di Medan, masjid yang super megah dibangun di luar kota di tempat yang sepi dan jauh dari aktivitas kehidupan kota. Masjid ini dibangun baru persis di depan istana Sultan Deli. Masjid ini seakan hanya masjid yang dikhususkan bagi Sultan, bukan untuk rakyatnya. Pertukaran pengetahuan hanya terjadi di mushola-mushola kecil yang terdapat di pasar-pasar dan di belakang pertokoan.

Oleh karenanya, ketika pembangunannya berbagai donator menyerahkan sumbangan yang tidak kecil. Itu bisa dipahami, hanya semata-mata untuk menyenangkan hati Sultan agar keraton Sultan Deli setara dengan masjidnya Sultan. Konon, dikabarkan sumbangan terbesar datang dari Tjong A Fie. Di satu sisi ini tampak sebagai dermawan, tetapi di sisi lain kontribusi berbagai pihak ini tentu tanpa pamrih. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909.

Tidak ada makan siang gratis dan belum dikenal karitas pada masa itu. Semua orang demi uang. Jika anda buang ayam harus dapat kambing, jika anda buang kambing harus dapat sapi. Sebaliknya pada masa kini: berperkara senilai kambing, hilang senilai sapi. Konon, Tjong A Fie juga coba ‘menyogok’ penduduk Mandailing en Ankola dengan memberikan sumbangan untuk pembangunan mesjid di Sipirok. Seperti diketahui, Tjong A Fie adalah oportunis sejati (kedermawanannya masih diragukan?), dengan kekayaan yang melimpuh dan asset ada dimana-mana serta hidup di perantauan, Tjong A Fie perlu mengamankan itu semua. Satu-satunya jalan untuk tetap membuka kebaikan (Tjong A Fie jarang bersifat frontal dan lebih suka berkolaborasi) dengan kerjasama, siapa pun yang harus menjadi toean. Awalnya, toeannya adalah pemerintah Belanda yang korup, kemudian Soeltan yang lemah tetapi hidup dalam kemewahan dan kini mulai melirik dan merangkul tokoh-tokoh pekerja keras, cerdas dan cenderung militant yang sudah mulai banyak di Medan yang berasal dari Mandailing en Ankola.

Guru-guru dari Mandailing en Ankola khususnya alumni Padang Sidempoean yang selama ini digaji dan bertugas di sekolah-sekolah yang didirikan perkebunan untuk para koeli dari Djawa merasakan masih banyak penduduk di luar perkebunan yang buta huruf. Para guru ini membagi waktu dengan membangun sekolah-sekolah swadaya bersama penduduk, tidak hanya di Medan tetapi juga di seluruh Deli. Praktis pada tahun 1915 sudah sangat banyak sekolah rakyat. Pemerintah mulai memperhatikan mutu sekolah-sekolah rakyat ini.

Pada tahun 1915 seorang penilik sekolah di Medan ditempatkan. Orangnya adalah seorang guru yang berpengalaman di Tapanoeli (yang telah banyak menulis buku pelajaran sekolah) yang bernama Kajamoedin (Harahap) gelar Radja Goenoeng. Sebagai tugas yang diberikan, maka dalam temnpo singkat Radja Goenoeng telah berhasil mendesain program pengembangan sekolah rakyat. Namanyapun mulai dikenal secara luas, tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di masyarakat bawah.  

Tjong A Fie Menjadi Mayor: Hidup Sebatangkara

Abang Tjong A Fie yang bernama Tjong Yong Hian telah lama meninggal dunia tahun (1911). Untuk urusan komunitas Tionghoa, Tjong A Fie lantas diangkat menjadi pengganti Tjong Yong Hian dan pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Bawahan Tjong A Fie yang letnan menjadi kapten dan direkrut letnan baru. Namun, mereka itu bukan datang dari saudaranya (ketika Tjong Yong Hian merekrut adiknya, Tjong A Fie untuk menjadi letnan). Orangtua Tjong A Fie juga sudah lama meninggal. Ibunya meninggal di Medan tahun 1899, kemudia ayahnya meninggal tahun 1906. Anak-anak Tjong A Fie masih belum dewasa untuk bisa menggantikannya. Tjong A Fie bagaikan hidup sebatangkara di perantauan.

Namun demikian, Tjong A Fie sudah terlanjur mengakar di Medan. Tjong A Fie adalah warga Medan, tetapi seperti yang lainnya, juga tidak melupakan kampong halaman di Swatow dan menolong kawan-kawan sekampung yang tinggal di Penang dan Singapoera. Tjong A Fie tidak memiliki keluarga atau teman-teman dekat di Jawa ataupun di Batavia. Para perantau Hokkian umumnya berbasis di pantai timur Sumatra, Semenanjung dan Siam (kini Thailand). Tjong A Fie adalah tokoh Tionghoa terpenting di Medan, dan belum ada yang menyainginya dari kalangan Tionghoa. Karenanya perannya di pemerintahan juga belum tergantikan.

Pada tahun 1918 untuk menjadi anggota dewan kota Medan dilakukan dengan format baru: melalui pemilihan (pemilu).Ini untuk kali pertama anggota dewan tidak lagi ditunjuk tetapi harus bersaing melalui pemilihan. Para pemilih dibagi ke dalam kelompok Eropa, pribumi dan timur asing. Untuk pemilih orang Eropa adalah syaratnya dewasa (17 tahun), tetapi untuk orang pribumi dan timur asing mensyaratkan calon pemilih didasarkan pada criteria tingkat pendapatan tertentu. Jadi, tidak semua penduduk dewasa orang pribumi dan timur asing sebagai pemilih.

Di Medan sendiri pada tahun 1918, Kota Medan dipromosikan menjadi Gemeente (Kota). Sebelumnya Kota Medan dianggap masih berstatus Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pembentukan Gemeente ini pemerintah pusat di Batavia mengangkat seorang Walikota (Burgermeester) sebagai kepala pemerintahan kota. Walikota pertama adala Baron Daniel Mackay. Sejak tahun 1918 ketua Gemeenteraad adalah Burgermeester. Gemeenteraad dibawah kepemimpinan burgermeester ini adalah periode gemeeteraad yang ketiga sejak 1 April 1909.

Dalam pemilihaan umum (pemilu) tahun 1918 ini yang terpilih adalah Radja Goenoeng, Dr. Mohamad Sjaf (alumni Docter Djawa School) dan Tan Boen An.

Radja Goenoeng adalah penilik sekolah di Medan sejak tahun 1815. Kajamoedin gelar Radja Doenoeng kelahiran Padang Sidempoean,1883 alumni Kweekschool Fort de Kock (1895) yang telah menjadi guru di Tapanoeli. Atas pengalamannya membuat buku-buku pelajaran sekolah, Radja Goenoeng diangkat pemerintah menjadi penilik sekolah di Medan.Radja Goenoeng adalah salah satu guru asal Mandailing en Ankola yang berada di Deli. Radja Goenoeng tidak hanya penilik sekolah di Medan tetapi juga merangkap untuk penilik sekolah di seluruh Sumatra’s Oostkust.

Dalam perkembangannya Tan Boen An digantikan oleh anggota dewan senior (wethouder) Mayor Tjong A Fie. Salah satu anggota dewan yang menggantikan pada pertengahan 1919 adalah Mr. Alinoedin, hakim di pengadilan Medan. Setelah habis masa jabatan Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi di dewan, melanjutkan studi ke Belanda dan meraih gelar doktor (PhD) di bidang hukum tahun 1925.

Tjong A Fie Digugat: Tjong A Fie Meninggal Dunia

Tjong A Fie, Ultah ke 60
Tjong A Fie adalah seorang yang multifacet. Tjong A Fie harus dilihat dari banyak sisi. Dari sisi pemerintah Tjong A Fie layak untuk menerima bintang perwira Oranye Nassau. Namun hal itu bukan tidak ada kritik. Malah sejumlag pihak dianggap Tjong A Fie tidak pantas. Kekayaannya yang melimpah dan telah banyak menyumbang kepada berbagai pihak di satu sisi telah mengaburkan bagaimana Tjong A Fie mendapatkannya.

De Sumatra post, 17-01-1921 melaporkan bahwa ketidakpantasan ini di satu sisi Tjong A Fie adalah pejabat yang setia tetapi persoalan bagaimana pendapatannya dari penyewaan opium di pantai timur Sumatra dan eksploitasi kuli Cina yang dipekerjakan dengan jumlah jam kerja 20 jam sehari adalah noda. Memang penyewaan opium telah dihapuskan tahun 1911 tetapi dianggap opiumlah yang menjadi sumber kekayaan Tjong A Fie. Namun pendapat orangt-orang Belanda yang dialamatkan kepada Tjong A Fie adalah ‘mengambil hal yang baik dari negara-negara di wilayah kami tidak ada gunanya tapi bahaya’

Namun pendapat serupa itu tidak dihiraukan oleh Tjong A Fie. Dia mengganggap itu layak. Karenanya Tjong A Fie merayakannya secara besar-besaran di mansionnya di Medan. Semua pejabat pemerintah di Medan hadir (lihat De Sumatra post, 22-01-1921). Namun secara tidak terduga dan hanya beberapa setelah pesta perayaan itu usai, Tjong A Fie dilaporkan meningga dunia. Tjong A Fie meninggal dunia di Medan, 4 Februari 1921. Disemayamkan di rumah duka di mansion Tjong A Fie di daerah Kesawan.

Pemakaman Tjong A Fie
De Sumatra post, 04-02-1921: ‘Pagi ini sama sekali tak terduga Tjong A Fie meninggal. Berita ini cepat menyebar  seluruh kota. Sehingga dalam satu jam semua orang penuh. Hari ini, delapan sampai 12 jam tidak sehat dan kehilangan bewusteloos… Gubernur bertindak, Mr. Uijee, onverwgld mengirimkan surat belasungkawa kepada Ibu Tjong A Fie… Mayor telah berusia 60 tahun… tentang bantuan dalam kasus yang tak terhitung banyaknya diberikan kepada masyarakat…. Mayor Tjong A Fie dikenal sebagai salah satu yang paling cerdas, jika tidak orang terpandai di seluruh distrik kami.. Mayor telah melayani pemerintah 34 tahun. Pada tahun 1886, kepala Cina untuk Laboean, 1893 letnan dari Cina untuk Medan, tahun 1898 menjadi kapiteint, dan pada tahun 1905 diangkat lagi menjadi  kapten. Akhirnya pada tahun 1911 menjadi Mayor dari Cina

Perubahan Radikal di Medan Dimotori oleh Anak-Anak Padang Sidempuan: Afdeeling Angkola Mandailing Semakin Miskin

Parada Harahap, The King of Java
Sebagaimana pemerintah kolonial absen di Medan dan Deli pada awalnya, juga sultan-(sultan) dan pangeran-pangeran tidak hadir dalam pergumulan masyarakat bawah. Tjong A Fie tidak terlalu banyak diharapkan karena dirinya lebih banyak berperan di kalangan atas dan komunitasnya sendiri (Tionghoa) baik di Medan maupun di luar Medan. Kekosongan pada level bawah ini diisi oleh semakin banyaknya anak-anak Padang Sidempuan (nama baru afdeeling Mandheling en Ankola) yang migrasi ke Medan.


Pionir Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie telah tiada. Generasi kedua dari keluarga ini tidak muncul. Namun di kalangan Tionghoa di Medan, hilang dua tubuh seratus. Namun mereka generasi kedua tidak sehebat dua bersaudara terdahulu. Bisnis opium sudah sejak 1911 ilegal. Para pengusaha baru Tionghoa mulai dari bawah lagi, selain bergerak di bidang perdagangan juga mulai secara rame-rame memasuki dunia perkebunan. Namun mereka berbeda dengan dua bersaudara yang tanpa saingan, mereka ini sekarang sudah mulai ada saingan dari orang-orang Tapanoeli khususnya dari Mandailing dan Ankola.



Tjong A Fie, The King of Deli
Pada tahun 1918, ketika Radja Goenoeng mengawali karir sebagai anggota dewan kota (Gemeenteraad), seorang anak muda asal Padang Sidempuan tiba-tiba namanya melambung, dan namanya dibicarakan dimana-mana. Anak muda tersebut bernama Parada Harahap yang datang merantau ke Deli tahun 1914.dan bekerja sebagai krani. Namun karena tidak tahan melihat penderitaan para kuli, lalu menulis laporannya secara independen ke koran Benih Mardeka yang terbit di Medan pada tahun 1917. Atas laporan tersebut, Parada Harahap dipecat sebagai krani. Tapi tidak ambil pusing, lalu merantau ke Medan dan melamar sebagai wartawan Benih Mardeka dan kemudian tahun 1918 diangkat menjadi editor koran Benih Mardeka.



Kota Medan mulai terang benderang. Sudah banyak pencerahan dari anak-anak Padang Sidempuan, tidak hanya di bidang pendidikan, juga di bidang pers dan media. Anak-anak Padang Siodempuan juga sudah banyak yang menjadi pejabat (legislatif, eksekutif dan yudikatif) lulusan dari Jawa, seperti alumni kedokteran, sekolah hukum maupun jenis-jenis sekolah lainnya. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan telah banyak yang menjadi krani-krani di perkebunan asing. Ternyata anak-anak Padang Sidempuan ini tidak hanya di Medan, tetapi juga menyebar di Tandjongpoera, Bindjai, Tandjoeng Balai tetapi juga di Pematang Siantar dan Tebingtinggi.



Di bidang ekonomi, anak-anak Padang Sidempuan juga banyak yang bergiat. Tentu saja di antara mereka banyk juga yang masuk ke bisnis perkebunan. Perimbangan antara Tionghoa dan pribumi utamanya dari Mandailing dan Ankola telah terasa, meski belum sepenuhnya anak-anak Padang Sidempuan mampu menbandingi dari kalangan Tionghoa. Sebagaimana pendirian Bank Deli yang dikhususkan kepada kalangan Tionghoa, anak-anak Tapanoeli juga coba memfasilitas pembiayaan dengan mendirikan Bataksche Bank pada tahun 1921 di Pematang Siantar.



Bataksche Bank ini didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan dengan investor antara lain. Dr. Mohamad Hamzah, Soetan Hasoendortan, Soetan Pane Paroehoem. Namun bank ini bukan sekelas Deli Bank dan Java Bank. Gradasinya kira-kira: Bataksche Bank adalah bank kecil, Deli Bank adalah bank menengah dan Java Bank adalah bank besar.


Hal yang membedakan anak-anak Padang Sidempuan (Mandailing dan Angkola) dengan anak-anak Swatow (kampong halaman Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian) adalah anak-anak Padang Sidempuan membawa investasi dari kampong di Padang Sidempuan ke Medan, sebaliknya anak-anak Swatow dari Medan membawa invcstasi ke kampong halamannya. Akibatnya Swatow menjadi makmur (sebagaimana Amsterdam, Rotterdam dan lainnya di Belanda menjadi makmur). Jika di Hindia Belanda penduduk semakin melarat, maka di Padang Sidempuan semakin miskin. Namun bagi anak-anak Padang Sidempuan itu adalah risiko merantau, namun itu soal investasi pindah kantong saja (dari Padang Sidempoean ke Medan). Sebaliknya hal yang kurang lebih sama, perantau dari Minangkaboeu di Medan yang membawa investasinya ke kampong halamannya, hanyalah soal pindah kantong, Berbeda dengan ke Swatow, investasi y6ang mengalir ke Swatow (maupun Penang dan Singapoera) haruslah dipandang sebagai kebocoran ekonomi.



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe (utamanya koran-koran berbahasa Belanda).

Tidak ada komentar: